TIGA KELOMPOK YANG TIDAK BOLEH DIPERCAYA DALAM URUSAN AGAMA

Fenomena Sungai Pasir di Gurun Arab
Ada tidak kelompok dari kaum muslimin yang tidak boleh dipercaya kalau mereka berbicara dalam masalah agama.

Berkata Marwan bin Muhammad At-Thathiri Al-Asadi rahimahullah :

ثلاثة لا يؤتمنون في دين, الصوفي، والقصاص, ومبتدع يرد على على أهل الأهواء

“Ada tiga (kelompok) yang mereka tidak dapat di percaya dalam urusan agama, Shufi, para pendongeng, Ahlul Bid’ah yang membantah Ahlul Ahwa’.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik Al-Qadhi ‘Iyadh 3/226). Sumber : https://www.alukah.net/sharia/0/90006/

Kelompok Pertama, Shufi

Kelompok shufi adalah kelompok yang suka membuat perkara baru dalam agama. Membuat kreativitas dan inovasi dalam amal ibadah. Kelompok yang sangat malas, banyak makan (kaum besek), pesimis dan suka melakukan sesuatu yang tidak perlu dan tiada guna.

Berkata Ibnu Sha'id rahimahullah :

سمعت الشافعي يقول : أُسِّسَ التصوفُ على الكَسَلِ ".

Aku mendengar Imam Syâfi’i rahimahullah berkata : “Asas tasawuf adalah kemalasan” [al-Hilyah karya Abu Nu’aim al-Ashbahâni 9/136-137].
Sumber : https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=200524&page=3

Berkata Imam Syafii rahimahullah :

لاَ يَكُوْنُ الصُّوْفِيُّ صُوْفِياًّ حَـتَّى يَكُوْنُ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ : كَسُولٌ أَكُوْلٌ شَؤُوْمٌ كثَيْرُ الْفُضُولِ

Seseorang tidak akan menjadi Shufi (tulen) kecuali setelah empat perkara ada padanya: sangat malas, banyak makan, sangat pesimis, dan banyak melakukan hal yang tidak perlu”. (Manâqibu asy-Syâfi’i karya al-Baihaqi 2/207). Sumber : https://subulassalaam.com/articles/articlea.cfm?article_id=123

Untuk itu jauhilah kelompok yang satu ini. Jangan duduk bermajlis dengan mereka. Jangan sampai terjerat dan masuk menjadi shufi, niscaya akan menjadi orang yang bodoh.

فعن يونس بن عبد الأعلى قال سمعت الشافعي يقول : " لو أن رجلا تصوف أول النهار ، لا يأتي الظهر حتى يصير أحمق " .
وعنه أيضا أنه قال : " ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما ، فعاد عقله إليه أبدا " .

Dari Yûnus bin ‘Abdil A’lâ rahimahullah , ia berkata, “Aku mendengar (Imam) Syâfi’i rahimahullah menyatakan:

َ “Kalau ada orang menjadi Shufi di pagi hari, maka tidaklah datang waktu Zhuhur kecuali orang tersebut akan engkau jumpai menjadi manusia yang dungu”.

Dan darinya juga (Imam Syafi’I), bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.” (Manâqib Syâfi’i karya Imam al-Baihaqi 2/207).
Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/179938/هل-ثبت-عن-الامام-الشافعي-مدحه-للصوفية-في-شعره

Kelompok Kedua, Tukang Mengarang Cerita

Orang yang suka bercerita tentang kisah ini kisah itu, tetapi kisahnya penuh dengan kepalsuan. Seperti saya mendengar si pulan bercerita seperti ini, padahal si pulan tidak pernah cerita.

Ada seseorang berkata :

عن الأعمش عن أبي إسحاق عن أبي وائل ,فتوسط الأعمش الحلقة , وجعل ينتف شعر إبطه , فقال له القاص :

يا شيخ ؟ ألا تستحي ؟ نحن في علم وأنت تفعل مثل هذا ؟! فقال الأعمش : الذي أنا فيه خير من الذي أنت فيه , قال : كيف ذلك ؟ قال :لأني في سنَّة وأنت في كذب ,أنا الأعمش ! وما حدثتك مما تقول فلما سمع الناس ما ذكر الأعمش؛ انفضوا عن القاص، واجتمعوا حوله وقالوا: حدثنا يا أبا محمد"

"Dari al-A'masy, dari Abu Is-haq, dari Abu Wa'il.." Lalu al-A'masy langsung beralih ke tengah halaqah sambil mencabut bulu ketiaknya. Sontak si tukang cerita menegurnya:

"Wahai Syaikh..? tidakkah engkau malu..? Kita dalam pengajian engkau malah berbuat seperti itu..?!" Maka al-Amasy berkata, "Apa yang aku lakukan ini lebih baik ketimbang apa yang engkau perbuat." Orang itu berkata, "Bagaimana bisa begitu..?"

Al-A'masy berkata, "Aku sedang mengamalkan sunnah, sedangkan engkau sedang berdusta..! Aku adalah al-A'masy..! Aku tidak pernah menceritakan kepadamu seperti ini..!"

Ketika para hadirin mendengar hal itu, maka mereka meninggalkan tukang cerita tersebut dan berkumpul di sekitar al-A'masy, mereka berkata, "Ceritakanlah kepada kami wahai Abu Muhammad (al-A'masy).." [Al-Hawadits wal Bida' hal. 111-112, Abu Bakr At-Thurthusi]. Sumber : http://islamport.com/w/akh/Web/239/

Kelompok Ketiga, Ahlul Bid'ah Yang Membantah Ahlul Hawa

Ada seorang ahlul bid'ah punya suatu pendapat, lantas pendapatnya ini tidak sesuai dengan pendapat ahlul bid'ah lainnya, saling bantahlah mereka, maka orang yang membantah ini tidak boleh dipercaya kalau bicara perkara agama, sebagaimana ahlul bid'ah yang dibantah.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani:

ولا ينبغي أن يسمع قول مبتدع في مبتدع

“Tidak sepantasnya seseorang mendengar bantahan Ahlul Bid’ah atas Ahlul Bid’ah yang lainnya.” (Muqaddimah Fat-hul Bari hal. 512). Sumber : http://www.aqaed.com/faq/4568/

Nah bagaimana dengan Idrus Ramli? Ketiga ciri tersebut ada padanya, shufi, suka mengarang cerita dan suka membantah ahlul bid'ah lainnya maka tidak boleh dipercaya dalam urusan agama.

AFM

Copas dari berbagai sumber 
Share:

FENOMENA MENGHARUKAN DI PENGADILAN SAUDI :

Ini 7 Hal Bukti Kerajaan Arab Saudi yang Mulai Terbuka Halaman all ...
⚖ Di salah satu pengadilan Qasim, Kerajaan Saudi Arabia, berdiri Hizan al Fuhaidi dengan air mata yang bercucuran hingga membasahi janggutnya...


🔨 Kenapa ?

Karena ia kalah terhadap perseteruannya dengan saudara kandungnya dipengadilan !! 

⚔ Tentang apakah perseteruannya dengan saudaranya ??

Tentang tanah ??

atau warisan yang mereka saling perebutkan ??

👋 Bukan karena harta !!

💝Ia kalah terhadap saudaranya terkait hak pemeliharaan ibunya yang sudah tua renta & bahkan hanya memakai sebuah cincin timah di jarinya yang telah keriput,, 

Seumur hidupnya, beliau tinggal dengan Hizan yang selama ini menjaganya,,

Tatkala beliau telah semakin tua, datanglah adiknya yang tinggal di kota lain, untuk mengambil ibunya agar tinggal bersamanya, dengan alasan, fasilitas kesehatan dll di kota jauh lebih lengkap daripada di desa.

🗣 Namun Hizan menolak dengan alasan, selama ini ia mampu untuk menjaga ibunya.

Perseteruan ini tidak berhenti sampai di situ, hingga berlanjut ke pengadilan!! 

Sidangpun dimulai,, hingga sang hakim pun meminta agar sang ibu dihadirkan di majelis ... 

👥Kedua bersaudara ini membopong ibunya yang sudah tua renta yang beratnya sudah tidak sampai 40 Kg!!

Sang Hakim bertanya kepadanya, siapa yang lebih berhak tinggal bersamanya.

Sang ibu memahami pertanyaan sang hakim, ia pun menjawab, sambil menunjuk ke Hizan,
"Ini mata kananku !"

Kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata,
"Ini mata kiriku !!

🔎Sang Hakim berpikir sejenak kemudian memutuskan hak kepada adik Hizan,
berdasar pertimbangan kemaslahatan bagi si ibu!! 

🏅Betapa mulia air mata yang dikucurkan oleh Hizan!!

Air mata penyesalan karena tidak bisa memelihara ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjutnya !!

Dan, betapa terhormat dan agungnya sang ibu !! diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti ini,,!! 

💎Andaikata kita bisa memahami, bagaimana sang ibu mendidik kedua putranya, hingga ia menjadi ratu dan mutiara termahal bagi anak-anaknya !!

Ini adalah PELAJARAN MAHAL, tentang BERBAKTI, tatkala DURHAKA sudah menjadi BUDAYA...

Semoga Bermanfaat...
Dari grup telegram

☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum.

                                          

✒ Ditulis oleh _Ustadz Kholid Syamhudi Al-Bantani, _ Lc حفظه الله تعالى

▪┈┈◈❂◉❖ ° ❖◉❂◈┈┈▪ 
Share:

Kisah Nabi Hud

Kisah Nabi Hud As dan Binasanya Peradaban Kaum 'AadAllah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat:

مَنۡ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةًۖ
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰهُودُ مَا جِئۡتَنَا بِبَيِّنَةٖ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata:

إِنِّيٓ أُشۡهِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡهَدُوٓاْ أَنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٥٤ مِن دُونِهِۦۖ فَكِيدُونِي جَمِيعٗا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ ٥٥ إِنِّي تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمۚ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِيَتِهَآۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٥٦
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah subhanahu wa ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata:

هَٰذَا عَارِضٞ مُّمۡطِرُنَاۚ
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman:

بَلۡ هُوَ مَا ٱسۡتَعۡجَلۡتُم بِهِۦ
“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

رِيحٞ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٞ ٢٤ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيۡءِۢ
“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

سَخَّرَهَا عَلَيۡهِمۡ سَبۡعَ لَيَالٖ وَثَمَٰنِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومٗاۖ فَتَرَى ٱلۡقَوۡمَ فِيهَا صَرۡعَىٰ كَأَنَّهُمۡ أَعۡجَازُ نَخۡلٍ خَاوِيَةٖ ٧
“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

فَأَصۡبَحُواْ لَا يُرَىٰٓ إِلَّا مَسَٰكِنُهُمۡۚ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah subhanahu wa ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

وَأُتۡبِعُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَآ إِنَّ عَادٗا كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا لِّعَادٖ قَوۡمِ هُودٖ ٦٠
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).
Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah subhanahu wa ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.
Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan kepada kita.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَقَدۡ أَهۡلَكۡنَا مَا حَوۡلَكُم مِّنَ ٱلۡقُرَىٰ وَصَرَّفۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:

لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٢٧
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam:
أَتَبۡنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةٗ تَعۡبَثُونَ ١٢٨
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya.
Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mendustakan para rasul Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana yang Allah k sebutkan dalam kisah ‘Aad:

وَلَقَدۡ مَكَّنَّٰهُمۡ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمۡ فِيهِ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ سَمۡعٗا وَأَبۡصَٰرٗا وَأَفۡ‍ِٔدَةٗ فَمَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُمۡ سَمۡعُهُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُهُمۡ وَلَآ أَفۡ‍ِٔدَتُهُم مِّن شَيۡءٍ إِذۡ كَانُواْ يَجۡحَدُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ٢٦
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain:

فَمَآ أَغۡنَتۡ عَنۡهُمۡ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِي يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٖ لَّمَّا جَآءَ أَمۡرُ رَبِّكَۖ وَمَا زَادُوهُمۡ غَيۡرَ تَتۡبِيبٖ ١٠١
“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam.



Ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits
Share:

Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al Quran

Kisah dalam Al-Qur'an – Inspiring EducationHikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam al Quran sangat banyak sekali, di antaranya yang paling penting adalah:

Pertama, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al A’raf: 176)

Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Huud: 120)

peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang berfikir.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111)

Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya. Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan hikmah yang telah ditetapkanNya.

Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah RasulNya:

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa: 164-165).



Diterjemahkan dari: http://almuqbil.com/play-4094.html




Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-al-quran.html
Share:

Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Hud AS dan Kaumnya Penyembah Berhala yang Dibinasakan ...
Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah Ta’ala. Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat,

“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah Ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah Ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah Ta’ala,

“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah Ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah Ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata,

“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka, ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah Ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata,

“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah Ta’ala pun berfirman,

“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”

Allah Ta’ala berfirman,

“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah Ta’ala berfirman,

“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah Ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah Ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah Ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).

Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

1.    Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah Ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah Ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.

Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah Ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

2. Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah Ta’ala ceritakan kepada kita.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah Ta’ala,

“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami,

“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

3. Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah Ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah Ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam,

“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah Ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun, bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah Ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

4. Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan para rasul-Nya.

Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah Ta’ala, mendustakan para rasul Allah Ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam kisah ‘Aad,

“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain,

“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam. (Asysyariah.com)

Penulis: Ustadz Idral Harits hafizhahullah
Artikel www.KisahMuslim.com



Read more https://kisahmuslim.com/735-pelajaran-berharga-dari-kisah-nabi-hud-alaihissalam.html
Share:

Alquran Melunakkan Hati Yang Keras

Hasil gambar untuk hati yang membatuKisah berikut ini adalah kisah tentang seseorang yang memiliki hati yang keras, mudah membunuh, zalim, dan sifat-sifat kejam lainnya, kisah ini adalah kisah Hajjaj bin Yusuf.

Hajjaj adalah gubernur Irak di zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, sebelumnya ia adalah gubernur Madinah. Hajjaj dikenal sebagai pemimpin zalim dan sangat mudah menumpahkan darah rakyatnya. Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Dia orang yang sangat zalim, tiran, amibisius, perfeksionis, nista, dan kejam. Di sisi lain ia adalah seorang yang pemberani, ahli strategi dan rekayasa, fasih dan pandai bernegosiasi, serta sangat menghormati Alquran.” Ada yang mengatakan, Hajjaj telah membunuh kurang lebih 3000 jiwa di antara nyawa yang ia hilangkan adalah seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair dan seorang tabi’in Said bin Jubair. Hajjaj wafat pada tahun 95 H.

Dengan rekam jejak yang kelam itu, sangat jarang kita mendengarkan kisah yang baik dari perjalanan kehidupan Hajjaj bin Yusuf. Namun siapa sangka, ternyata ia sangat mudah tersentuh ketika mendengar ayat-ayat Alquran.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata, “Hajjaj pernah berkhutbah di hadapan kami, dia berkata, ‘Wahai anak Adam, sekarang kamu dapat makan, tapi besok kamu akan dimakan’. Kemudian dia membaca ayat, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185). Kemudian ia menangis hingga air matanya membasahi surbannya. Inilah bahasa Alquran, inilah kalamullah, yang mampu menghancurkan gunung yang kokoh, karena takut dan tunduk kepada Allah.

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ

Seandainya Alquran ini Kami turunkan kepada gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (QS. Al-Hasyr: 21)

Tafsir ayat:

Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah kabar umum yang universal dan berlaku bagi seluruh makhluk, bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Dalam firman-Nya disebutkan,

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. Ar- Rahman: 26-27)

Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, yang akan abadi dan kekal, dan Dia adalah Maha Akhir sebagaimana Dia yang Maha Awal.

Ayat ini mengandung peringatan bagi seluruh manusia, karena manusia pasti akan mati. Apabila batas waktunya berakhir, maka manusia akan dikembalikan kepada Rabb mereka dengan amalan mereka masing-masing. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kiamat dan akan membalas seluruh amal perbuatan semua makhluk. Oleh karena itu, setelah berfirman bahwa semua manusia akan mati, Allah lanjutklan firman-Nya

وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran : 185)

Pelajaran dari kisah:

    Orang yang dikenal sangat zalim pun masih menangis mendengar ayat-ayat tentang kematian, bagaimana dengan kita? Apakah hati kita merasa takut dan bergetar ketika mendengar ayat-ayat tentang kematian? Atukah hati kita lebih keras dari pada gunung?
    Tidak boleh men-cap seseorang yang senantiasa berbuat keburukan sebagai penghuni neraka. Sebagaimana Hajjaj -kita serahkan kepada Allah keadaannya di akhirat-, dikatakan Hajjaj pernah berdoa di akhir hayatnya “Ya Allah ampunilah aku, walaupun manusia menyangka Engkau tidak mengampuniku.”
    Allah menjadikan Alquran itu mudah untuk ditadabburi bagi orang-orang yang ingin merenungkan kandungan maknanya.
     Seseorang hendaknya mengamalkan apa yang ia ketahui dan ia dakwahkan. Sebagaimana Hajjaj yang mengetahui bahwa Allah akan menghisab amalan manusia, hendaknya ia berbuat kebaikan sebagai realisasi dari apa yang ia ketahui dan yakini.
    Hajjaj memang pemimpin yang zalim dan mudah membunuh, tapi dari sisi keyakinannya terhadap Alquran ia lebih baik daripada orang-orang liberal yang tampil bersahaja namun mengingkari ayat Alquran yang bertentangan dengan akal mereka dan menafsirkannya sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Sumber: Tangisan Salaf Ketika Membaca dan Mendengarkan Alquran oleh Muhammad Syauman bin Ahmad ar-Ramali

Read more https://kisahmuslim.com/3796-alquran-melunakkan-hati-yang-keras.html

Share:

CARA SUJUD YG BENAR SESUAI DENGAN SUNNAH

Hasil gambar untuk sujudSecara umum, tata cara sujud yang benar telah disebutkan dalam hadis berikut:

Nabi ﷺ bersabda,
_“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: *Dahi dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki.”*_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Berdasarkan hadits, tujuh anggota sujud dapat kita rinci:
a. Dahi dan mencakup hidung
b. Dua telapak tangan
c. Dua lutut
d. Dua ujung-ujung kaki.

Adapun bentuk sujud yang sempurna secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
*1. Menempelkan Dahi dan Hidung di Lantai*
_“Nabi ﷺ *menempelkan* dahi dan hidungnya ke lantai…”._
_(HR. Abu Daud, Turmudzi)_

Nabi ﷺ bersabda,
_*“Tidak ada shalat* bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah.”_
_(HR. Ad Daruqutni dan At Thabrani)_

Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya *wajib.*

*2. Meletakkan Kedua Tangan di Lantai dan Sejajar dengan Pundak atau Telinga*
_“Nabi ﷺ meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) *sejajar dengan pundaknya.”*_
_(HR. Abu Daud, Turmudzi)_

_Dan terkadang “Beliau  meletakkan tangannya *sejajar dengan telinga.”*_
_(HR. Abu Daud dan An Nasa’i dengan sanad shahih)_

*3. Merapatkan Jari-jari Tangan dan Menghadapkannya ke Arah Kiblat*
_“Nabi ﷺ *merapatkan jari-jari* tangan ketika sujud.”_
_(HR. Ibn Khuzaimah dan Al Baihaqi)_

_“Beliau menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih)_

Ibn Umar رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ mengatakan,
_“Nabi ﷺ suka menghadapkan anggota tubuhnya ke arah kiblat ketika shalat. *Sampai beliau menghadapkan jari jempolnya ke arah kiblat.”*_
_(HR. Ibn Sa’d)_

*4. Mengangkat Kedua Lengan dan Membentangkan Keduanya Sehingga Jauh dari Lambung.*
_“Beliau tidak meletakkan lengannya di lantai.”_
_(HR. Al Bukhari dan Abu Daud)_

_“Beliau mengangkat kedua lengannya dan melebarkannya sehingga *jauh dari lambungnya,* sampai kelihatan ketiak beliau yang putih dari belakang.”_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

_“Beliau melebarkan lengannya, sehingga anak kambing bisa lewat di bawah lengan beliau.”_
_(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)_

Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam merenggangkan kedua lengannya ketika sujud, sampai ada sebagian sahabat yang mengatakan, _“Sungguh kami merasa kasihan dengan Nabi ﷺ karena beliau sangat keras ketika membentangkan kedua lengannya pada saat sujud.”_
_(HR. Abu Daud dan Ibn Majah, hasan)_

Catatan:
Membentangkan kedua lengan ketika sujud dianjurkan jika *_tidak mengganggu orang lain yang berada di sampingnya._* Jika mengganggu orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah, maka tidak boleh membentangkan tangan, *_namun tetap harus mengangkat siku agar tidak menempel dengan lantai._* Karena menempelkan siku ketika sujud termasuk tata cara sujud yang dilarang.

*5. Menempelkan Kedua Lutut di Lantai.*
Nabi ﷺ bersabda,
_“Kami diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: salah satunya *bertumpu pada kedua lutut.”*_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Catatan:
Kedua lutut dirapatkan ataukah direnggangkan?

Tidak terdapat keterangan tentang masalah ini. Oleh karena itu, posisi lutut ketika sujud sebaiknya di sesuaikan dengan kondisi yang paling nyaman menurut orang yang shalat. Jika dia merasa nyaman dengan merenggangkan lutut, maka sebaiknya direnggangkan dan sebaliknya, jika dia merasa nyaman dengan kondisi dirapatkan kedua lututnya, maka sebaiknya dirapatkan.

Syaikh Ibn Al Utsaimin mengatakan,
_*“Hukum asal (gerakan shalat) adalah meletakkan anggota badan sesuai dengan kondisi asli tubuh sampai ada dalil yang menyelisihinya.”*_
(Asy Syarhul Mumthi’, 1:574)

*6. Bersikap I’tidal Ketika Sujud*
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud
_“i’tidal ketika sujud” adalah *merenggangkan antara betis dengan paha, dan meregangkan antara perut dengan paha*, masing-masing kurang lebih 90 derajat. Namun tidak boleh berlebihan ketika meregangkan betis dengan paha, sehingga lebih dari 90 derajat._
_(Asy Syarhul Mumthi’, 1:579)_

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ  bersabda,
_“Bersikaplah I’tidal ketika sujud.”_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Dari Abu Humaid رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ beliau menceritakan tata cara shalatnya Nabi ﷺ:
_"…Ketika beliau sujud, beliau renggangkan kedua pahanya, *tanpa sedikit pun menyentuhkan paha dengan perut beliau."*_
_(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh As Syaukani dalam Nailul Authar)_

As Syaukani mengatakan: _Hadis ini dalil dianjurkannya *meregangkan kedua paha ketika sujud dan mengangkat perut sehingga tidak menyentuh paha.* Dan tidak ada perselisihan ulama tentang anjuran ini._
_(Nailul Authar, 2:286)_

*7. Meletakkan Ujung-ujung Kaki dan Ditekuk Sehingga Ujung-ujungnya Menghadap Kiblat*
_“Nabi ﷺ meletakkan dua lututnya dan ujung kedua kakinya di tanah.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih, dinyatakan shahih oleh Al Hakim)_

_“Beliau menegakkan kedua telapak kakinya.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih) Dan “Beliau memerintahkan (umatnya) untuk melakukannya.”_
_(HR. At Turmudzi, Al Hakim)_

_“Beliau *menghadapkan* punggung kakinya dan ujung-ujung jari kaki ke arah kiblat.”_
_(HR. Al Bukhari dan Abu Daud)_

*8. Merapatkan Tumit*
_“Beliau *merapatkan* kedua tumitnya (ketika sujud).”_
_(HR. At-Thahawi dan Ibn Khuzaimah)_

Melaksanakan Gerakan Sujud Sebagaimana di Atas dengan Sungguh-sungguh
Karena demikianlah sunnah yang diajarkan Nabi ﷺ. Agar shalat kita bisa sempurna maka sunnah yang mulia ini harus kita jaga.

Semoga bermanfaat.
إِنْ شَاءَ اللّٰهُ

Sumber : group diskusi WA
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages