SAKARATUL MAUT, DETIK-DETIK YANG MENEGANGKAN LAGI MENYAKITKAN[1]

Hasil gambar untuk padang pasirOleh: Dr Muhammad bin Abdul Aziz bin Ahmad Al’Ali

Kematian akan menghadang setiap manusia. Proses tercabutnya nyawa manusia akan diawali dengan detik-detik menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini dikenal sebagai sakaratul maut.

Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya”[2].

Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, firman Allah:

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. [Qaaf: 19]

Maksud sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya. Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul maut dengan kematian[3].

Juga ayat:

كَلآ إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ {26} وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {27} وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ {28} وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ {29} إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau”. [Al Qiyamah: 26-30]

Syaikh Sa’di menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadan orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfiman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan menyembuhkan?” artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah. Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun qadha dan qadar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya. Peringatan yang Allah sebutkan ini akan dapat mendorong hati-hati untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran dan penentangan”.[4]

Sedangkan beberapa hadits Nabi yang menguatkan fenomena sakaratul maut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي أخرجه البخاري ك الرقاق باب سكرات الموت و في المغازي باب مرض النبي ووفاته. الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ

“Bahwa di hadapan Rasulullah ada satu bejana kecil dari kulit yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut”. Dan beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiqil A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas”[5]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, berkata:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام وَا أخرجه البخاري في المغازي باب مرض النبي ووفاته.اليَوْمِ َرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ

“Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini…[al hadits]” [6]

Dalam riwayat Tirmidzi dengan, ‘Aisyah menceritakan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أخرجه الترمذي ك الجنائز باب ما جاء في التشديد عند الموت وصححه الألباني

“Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah”.[7]

Dan penderitaan yang terjadi selama pencabutan nyawa akan dialami setiap makhluk. Dalil penguatnya, keumuman firman Allah: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Ali ‘Imran: 185). Dan sabda Nabi: “Sesungguhnya kematian ada kepedihannya”. Namun tingkat kepedihan setiap orang berbeda-beda. [8]

KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERIMAN.
Orang yang beriman, ruhnya akan lepas dengan mudah dan ringan. Malaikat yang mendatangi orang yang beriman untuk mengambil nyawanya dengan kesan yang baik lagi menggembirakan. Dalilnya, hadits Al Bara` bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang proses kematian seorang mukmin:

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ قَالَ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ

“Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari syurga, serta hanuth (wewangian) dari syurga. Mereka duduk di sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan duduk di dekat kepalanya sembari berkata: “Wahai jiwa yang baik –dalam riwayat- jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaannya”. Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, para malaikat lainnya tidak membiarkannya di tangannya (malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misk terwangi yang ada di bumi..”[al hadits].[9]

Malaikat memberi kabar gembira kepada insan mukmin dengan ampunan dengan ridla Allah untuknya. Secara tegas dalam kitab-Nya, Allah menyatakan bahwa para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari berkata):” Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Fushshilat: 30]

Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam amalannya untuk Allah semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan syariat Allah niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala kematian menyongsong mereka dengan berkata “janganlah kalian takut atas amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta atau agama sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka (para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan turunnya kebaikan”.

Kemudian Ibnu Katsir menukil perkataan Zaid bin Aslam: “Kabar gembira akan terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari Kebangkitan”. Dan mengomentarinya dengan: “Tafsiran ini menghimpun seluruh tafsiran, sebuah tafsiran yang bagus sekali dan memang demikian kenyataannya”.

Firman-Nya: “Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat maksudnya para malaikat berkata kepada orang-orang beriman ketika akan tercabut nyawanya, kami adalah kawan-kawan kalian di dunia, dengan meluruskan, memberi kemudahan dan menjaga kalian atas perintah Allah, demikian juga kami bersama kalian di akhirat, dengan menenangkan keterasinganmu di alam kubur, di tiupan sangkakala dan kami akan mengamankan kalian pada hari Kebangkitan, Penghimpunan, kami akan membalasi kalian dengan shirathal mustaqim dan mengantarkan kalian menuju kenikmatan syurga”.[10]

Dalam ayat lain, Allah mengabarkan kondisi kematian orang mukmin dalam keadaan baik dengan firman-Nya:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. [An Nahl: 32]
.
Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…[11]

MENGAPA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDERITA SAAT SAKARATUL MAUT?
Kondisi umum proses pencabutan nyawa seorang mukmin mudah lagi ringan. Namun kadang-kadang derita sakarul maut juga mendera sebagian orang sholeh. Tujuannya untuk menghapus dosa-dosa dan juga mengangkat kedudukannya. Sebagaimana yang dialami Rasulullah. Beliau Shallallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan pedihnya sakaratul maut seperti diungkapkan Bukhari dalam hadits ‘Aisyah di atas.

Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam hadits tersebut, kesengsaran (dalam) sakaratul maut bukan petunjuk atas kehinaan martabat (seseorang). Dalam konteks orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus kesalahan-kesalahannya”[12]

Menurut Al Qurthubi dahsyatnya kematian dan sakaratul maut yang menimpa para nabi, maka mengandung manfaat :

Pertama : Supaya orang-orang mengetahui kadar sakitnya kematian dan ia (sakaratul maut) tidak kasat mata. Kadang ada seseorang melihat orang lain yang akan meninggal. Tidak ada gerakan atau keguncangan. Terlihat ruh keluar dengan mudah. Sehingga ia berfikir, perkara ini (sakaratul maut) ringan. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada mayat (sebenarnya). Tatkala para nabi, mengabarkan tentang dahsyatnya penderitaan dalam kematian, kendati mereka mulia di sisi Allah, dan kemudahannya untuk sebagian mereka, maka orang akan yakin dengan kepedihan kematian yang akan ia rasakan dan dihadapi mayit secara mutlak, berdasarkan kabar dari para nabi yang jujur kecuali orang yang mati syahid.

Kedua : Mungkin akan terbetik di benak sebagian orang, mereka adalah para kekasih Allah dan para nabi dan rasul-Nya, mengapa mengalami kesengsaraan yang berat ini?. Padahal Allah mampu meringankannya bagi mereka?. Jawabnya, bahwa orang yang paling berat ujiannya di dunia adalah para nabi kemudian orang yang menyerupai mereka dan orang yang semakin mirip dengan mereka seperti dikatakan Nabi kita. Hadits ini dikeluarkan Bukhari dan lainnya. Allah ingin menguji mereka untuk melengkapi keutamaan dan peningkatan derajat mereka di sisi-Nya. Ini bukan sebuah aib bagi mereka juga bukan bentuk siksaan. Allah menginginkan menutup hidup mereka dengan penderitaan ini meski mampu meringankan dan mengurangi (kadar penderitaan) mereka dengan tujuan mengangkat kedudukan mereka dan memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal. Tapi bukan berarti Allah mempersulit proses kematian mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab (kepedihan) ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan mereka. Maka tidak bisa disamakan”.[13]

KABAR BURUK DARI PARA MALAIKAT KEPADA ORANG-ORANG KAFIR.
Sedangkan orang kafir, maka ruhnya akan keluar dengan susah payah, ia tersiksa dengannya. Nabi menceritakan kondisi sakaratul maut orang kafir atau orang yang jahat dengan sabdanya:

“Sesungguhnya hamba yang kafir -dalam riwayat lain- yang jahat jika akan telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat-malaikat yang kasar akan dari langit dengan wajah yang buruk dengan membawa dari neraka. Mereka duduk sepanjang mata memandang. Kemudian malaikat maut hadir dan duduk di atas kepalanya dan berkata: “Wahai jiwa yang keji keluarlah engkau menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya”. Maka ia mencabut (ruhnya) layaknya mencabut saffud (penggerek yang) banyak mata besinya dari bulu wol yang basah. [14]

Secara ekspilisit, Al Quran telah menjelaskan bahwa para malaikat akan memberi kabar buruk kepada orang kafir dengan siksa. Allah berfirman: ”

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat mumukul dengan tangannya, (Sambil berkata): “Keluarkan nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”. [Al An’am: 93]

Maksudnya, para malaikat membentangkan tangan-tangannya untuk memukuli dan menyiksa sampai nyawa mereka keluar dari badan. Karena itu, para malaikat mengatakan: “Keluarkan nyawamu”. Pasalnya, orang kafir yang sudah datang ajalnya, malaikat akan memberi kabar buruk kepadanya yang berbentuk azab, siksa, belenggu, dan rantai, neraka jahim, air mendidih dan kemurkaan Ar Rahman (Allah). Maka nyawanya bercerai-berai dalam jasadnya, tidak mau taat dan enggan untuk keluar.

Para malaikat memukulimya supaya nyawanya keluar dari tubuhnya. Seketika itu, malaikat mengatakan: “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”.. artinya pada hari ini, kalian akan dihinakan dengan penghinaan yang tidak terukur karena mendustakan Allah dan (lantaran) kecongkakan kalian dalam mengikuti ayat-ayat-Nya dan tunduk kepaada para rasul-Nya.

Saat detik-detik kematian datang, orang kafir mintai dikembalikan agar bisa masuk Islam. Sedangkan orang yang jahat mohon dikembalikan ke dunia untuk bertaubat, dan beramal sholeh. Namun sudah tentu, permintaan mereka tidak akan terkabulkan. Allah berfirman:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Rabbi kembalikan aku ke dunia. Agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. [Al Mukminun: 99-100]

Setiap orang yang teledor di dunia ini, baik dengan kekufuran maupun perbuatan maksiat lainnya akan dilanda gulungan penyesalan, dan akan meminta dikembalikan ke dunia meski sejenak saja, untuk menjadi orang yang insan muslim yang sholeh. Namun kesempatan untuk itu sudah hilang, tidak mungkin disusul lagi. Jadi, persiapan harus dilakukan sejak dini dengan tetap memohon agar kita semua diwafatkan dalam keadaan memegang agama Allah. Wallahu a’lamu bishshawab. Washallallahu ‘ala Muhamaad wa ‘ala alihi ajmain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diadaptasi oleh M. Ashim dari kitab Ahwalu Al Muhtazhir (Dirasah Naqdiyyah) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al ‘Ali, dosen fakultas Ushuluddin di Riyadh. Majalah Jam’iah Islamiyah edisi 124 tahun XXXVI -1424 H.
[2]. Al Maut hlm. 69
[3]. Lihat Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101) dan Fathul Qadir (5/75).
[4]. Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hlm. 833.
[5]. HR. Bukhari kitab Riqaq bab sakaratul maut (6510) dan kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[6]. HR. Bukhari kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[7]. HR. Tirmidzi kitab Janaiz bab penderitaan dalam kematian (979). Lihat Shahih Sunan Tirmidzi (1/502 no: 979).
[8]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/50-51).
[9]. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
[10]. Tafsiru Al Quranil ‘Azhim (4/100-101).
[11]. Adhwaul Bayan (3/266).
[12]. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (11/363).
[13]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/48-50) dengan diringkas
[14]. HR. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).

Read more https://almanhaj.or.id/2570-sakaratul-maut-detik-detik-yang-menegangkan-dan-menyakitkan.html

Share:

Sahabat Rasul Sya’ban RA yang Menyesal Saat Sakaratul Maut

Hasil gambar untuk sya'ban raSeorang sahabat Rasulullah SAW, Sya’ban ra memiliki kebiasaan unik. Dia datang ke masjid sebelum waktu shalat berjamaah. Ia selalu mengambil posisi di pojok masjid pada setiapa shalat berjamaah dan I’tikaf. Alasannya, selalu mengambil posisi di pojok masjid karena ia tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini, sudah dipahami oleh semua orang bahkan Rasulullah sendiri.

Pada suatu pagi, saat shalat Subuh berjamaah akan dimulai, Rasulullah SAW merasa heran karena tidak mendapati Sya’ban ra pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jamaah yang hadir, apakah ada yang melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat Sya’ban ra.

Shalat Subuh pun sengaja ditunda sejenak, untuk menunggu kehadiran Sya’ban. Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat Subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga shalat Subuh selesai pun Sya’ban belum datang juga.

Selesai shalat Subuh Rasul pun bertanya lagi “Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab.

Rasul pun bertanya lagi “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban?” Seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia tahu persis dimana rumah Sya’ban.

Rasulullah sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, memimnta diantarkan ke rumah Sya’ban.  Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki.

Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban pada waktu shalat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Tanya Rasulullah.

“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.” jawab wanita tersebut.

“Bolekah kami menemui Sya’ban ra, yang tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul.

Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra menjawab “Beliau telah meninggal tadi pagi”.

“Innalilahi Wainnailaihiroji’un” jawab semuanya.

Satu-satunya penyebab Sya’ban tidak hadir shalat Subuh di masjid adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Sya’ban ra bertanya “Ya Rasulullah ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia bertetiak tiga kali dengan masing-masing teriakan di sertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.

“D imasing-masing teriakannya, dia berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh kenapa tidak yang baru, aduh kenapa tidak semua,” jawab istri Sya’ban.

Rasulullah SAW pun melantunkan ayat yang terdapat surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”

“Saat Sya’ban ra dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Sya’ban ra (dan orang yang sakaratul maut) tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu Sya’ban ra melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalatb berjamah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban ra diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.

Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat dia berucap “Aduh mengapa tidak lebih jauh” timbul penyesalan dalam diri Sya’ban ra, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Sya’ban ra melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.

Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.

Dia berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid dia bisa membuka baju liuar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Ketika dalam perjalanan menuju masjid dia menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.

Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Sya’ban ra pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Kemudian dia berteriak lagi “Aduh!! Kenapa tidak yang baru” timbul lagi penyesalan dibenak Sya’ban ra. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru.

Berikutnya, Sya’ban ra melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu. Bagi yang pernah ke Tanah Suci tentu mengetahui ukurang roti Arab (sekitar tiga kali ukuran  rata-rata roti Indonesia). ketika baru saja ingin memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban ra merasa iba. Ia kemudian membagu dua rotu tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain memperlihatkan Sya’ban ra dengan surga yang indah.

Ketika melihat itupun Sya’ban ra teriak lagi “ Aduh kenapa tidak semua!!” Sya’ban ra kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis  tersebut, pasti dia akan mendapat surga yabg lebih indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.

Seseungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan ada yang memiunta untuk ditunda matinya, karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia. Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan.

Sumber : republika.co.id
Share:

Kisah Ulama yang Berpura-pura Jadi Pengemis

Hasil gambar untuk andalusia baghdadPakaiannya compang-camping, lusuh, kusam. Ia berjalan dengan bantuan tongkat dan berpura-pura pincang. Rambut dan jenggotnya dibuat semrawut. Dengan tampang meyakinkan, tak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ia adalah pengemis palsu. Benar, tak ada satu pun warga yang menguak identitas aslinya. Ia merupakan seorang ulama dari Andalusia (saat ini Spanyol dan negara sekitar), Imam Baqi bin Mikhlad.

Saat itu ia ingin sekali belajar pada salah satu imam empat, Imam Ahmad. Ia pun berangkat dari Eropa, menyeberangi Laut Tengah menuju Afrika, kemudian melanjutkan perjalanan panjang ke Baghdad, Irak, tempat tinggal Imam Ahmad. Tanpa kendaraan, Baqi yang saat itu masih berstatus penuntut ilmu menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Hanya satu tujuannya, berguru pada sang imam.

Namun, Baqi mendengar kabar mengejutkan begitu tiba di Baghdad. Khalifah yang berkuasa saat itu jauh dari jalan Islam yang hanif. Imam Ahmad yang vokal pada kebenaran pun bereaksi menasihati khalifah. Namun, sang imam yang sangat mengagungkan Alquran dan sunah justru difitnah hingga dikucilkan. Ia juga dilarang mengajar ataupun mengumpulkan para penuntut ilmu. Imam Ahmad dianggap menentang paham yang dianut kekhalifahan. Sedihlah hati Baqi mendengar kondisi Imam Ahmad, guru yang diharapkannya memberikan ilmu barang satu ayat.

                                                                        ****

Kendati demikian, Baqi tetap mencari rumah Imam Ahmad. Tekadnya untuk berguru telah bulat. Ia pun melangkahkan kaki ke rumah sang imam. Saat mengetuk pintu, ternyata Imam Ahmadlah yang membukakannya. "Wahai Abu Abdullah, saya seorang yang datang dari jauh, pencari hadis dan penulis sunah. Saya datang ke sini pun untuk melakukan itu," ujar Baqi antusias.

"Anda dari mana?" tanya Imam Ahmad.

"Dari Maghrib al-Aqsa," jawab Baaqi.

Imam Ahmad pun menebak, "Dari Afrika?"

"Lebih jauh dari Afrika. Untuk menuju Afrika saya melewati laut dari negeri saya," jawab Baqi.

Imam pun kaget mendengarnya, "Negeri asalmu begitu jauh. Aku sangat senang jika dapat memenuhi keinginanmu dan mengajar apa yang kamu inginkan. Akan tetapi, saat ini saya tengah difitnah dan dilarang mengajar," jawab Imam Ahmad.

                                                                  ****

Tak putus asa mendengarnya, Keinginan Baqi untuk berguru pada Imam Ahmad tak mampu dibendung. Ia pun menawarkan berpura-pura menjadi pengemis. "Saya tahu Anda tengah difitnah dan dilarang mengajar wahai Abu Abdillah, akan tetapi tak ada yang mengenal saya di sini, saya sangat asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi rumah Anda setiap hari dengan mengenakan pekaian pengemis. Saya akan berpura-pura meminta sedekah dan bantuan Anda setiap hari. Maka wahai Abu Abdillah, masukkanlah saya ke rumah dan berilah saya pengajaran meski hanya satu hadis," pinta Baqi berbinar.

Melihat tekadnya yang begitu bulat dan amat giat menuntut ilmu, Imam Ahmad pun menyanggupi. Namun, ia meminta syarat agar Baqi tak mendatangi tempat kajian hadis ulama selain Imam Ahmad. Hal tersebut dimaksudkan agar Baqi tak dikenal sebagai penuntut ilmu. Statusnya sebagai penuntut ilmu sementara dirahasiakan.

Mendengar kesanggupan sang Imam, Baqi pun begitu bahagia. Ia segera menyanggupi persyaratan itu. Hati Baqi saat itu benar-benar dipenuhi bunga-bunga mekar nan indah. Keesokan hari, Baqi pun mulai 'beraksi'. Ia mengambil sebuah tongkat, membalut kepala dengan kain, dan pernak-pernik pengemis lain. Sementara itu, sebuah buku dan alat tulis berada di balik baju samarannya itu.

Ketika berada di depan pintu Imam Ahmad, Baqi dengan nada melas akan berkata, "Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat balasan pahala dari Allah," ujarnya. Jika mendengarnya, Imam Ahmad segera membukakan pintu dan memasukkan Baqi ke dalam rumahnya. Di dalam rumah, dimulailah proses pengajaran ilmu yang amat diberkahi Allah itu. Demikian aktivitas itu dilakukan setiap hari oleh Baqi dan sang guru. Dari proses belajar diam-diam itu, Baqi mampu mengumpulkan 300 hadis dari Imam Ahmad.

                                                                ****

Hingga kemudian jabatan kekhalifahan berganti. Seorang Suni yang fakih beragama, al-Mutawakkil, naik menjabat sebagai khalifah. Sejak itu, sunah pun dibumikan kembali, bid'ah peninggalan khalifah sebelumnya segera dihapuskan. Imam Ahmad pun kembali menjadi ulama Muslimin. Kajiannya dibuka, para penuntut ilmu berbondong-bondong datang.

Sejak itu, kedudukan Imam Ahmad makin tinggi dan terkenal. Jumlah muridnya sangat banyak. Jika ia membuka majelis kemudian melihat Baqi, maka Imam Ahmad segera memanggil Baqi dengan gembira. Imam Ahmad akan meminta Baqi untuk duduk di samping beliau. "Inilah orang yang benar-benar menyandang gelar penuntut ilmu," ujar Imam Ahmad kepada para muridnya. Sang Imam pun mengisahkan pengalaman Baqi yang menyamar menjadi pengemis demi mendengar satu hadis. Baqi pun kemudian menjadi murid dekat Imam Ahmad. Ia di kemudian hari menjadi ulama terkenal dari kawasan Andalusia.

Kisah tersebut nyata terjadi dan ditulis dalam biografi Imam Baqi bin Miklad al-Andalusi. Dari kisah tersebut, tampak jelas kegigihan beliau dalam menuntut ilmu. Kegigihan inilah yang patut dicontoh Muslimin, terutama para pemuda. Apalagi menuntut ilmu dalam Islam itu hukumnya wajib. Rasulullah juga pernah bersabda, "Barang siapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga." (HR. Muslim).

sumber :republika
Share:

Pemilik Ikalan Rambut Tali Kekang Kuda (Tauladan Ibu Sholihah)

Hasil gambar untuk abu qudamahDi kota Rosulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, Madinah Munawwaroh, hiduplah seorang lelaki yang bernama “ABU QUDAMAH AS SYAAMI “. Allah telah memberikan rasa cinta yang mendalam kepadanya terhadap Jihad fie sabilillah, dan berperang di negeri Romawi.

Suatu hari beliau sedang duduk-duduk sambil bercengkrama di Masjid Nabawi bersama teman-temannya. Teman-temannya berkata kepada beliau : “Ceritakanlah kepada kami kejadian yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat ketika berjihad.”.

Abu Qudamah berkata, “Baiklah.”

Aku pernah masuk kota RIQQAH untuk membeli onta yang akan aku pergunakan untuk membawa senjata.

Suatu hari ketika aku sedang duduk-duduk, ada seorang perempuan yang mendatangiku, lalu berkata kepadaku, “ Wahai Abu Qudamah! Aku telah mendengar tentang dirimu bahwa kamu suka bercerita tentang jihad, dan senang menghasung orang untuk berjihad. Aku telah diberi Allah rambut yang tidak dimiliki oleh wanita selainku. Rambut itu telah aku anyam dan ikal menjadi tali kekang kuda dan aku lumuri ikalan itu dengan debu biar tidak tampak oleh orang (kalau itu ikalan rambut), dan aku akan sangat bahagia bila kamu mau mengambilnya. Jika engkau telah sampai di negeri orang kafir, dan para pahlawan-pemanah telah melepaskan anak panahnya, pedang telah dihunus dan tombak telah disiapkan maka Jika kamu membutuhkannya maka ambillah, jika tidak maka berikanlah ikalan ini kepada orang lain yang membutuhkan, agar rambutku bisa ikut serta dan terkena debu fie sabilillah. Aku adalah seorang janda, suami dan kerabatku telah syahid di jalan Allah, seandainya jihad diwajibkan atasku sungguh aku akan berangkat berjihad dan ikalan rambut ini aku bawa sendiri.”

Wanita itu melanjutkan, “Perlu kamu ketahui wahai Abu Qudamah ! Bahwa ketika suamiku syahid, beliau meninggalkan anak, dan anak itu sekarang termasuk remaja yang baik, ia telah mempelajari Al Qur’an, lihai mengendarai kuda, lihai memanah, ia selalu Qiyamullail di malam hari dan shoum di siang hari sementara umurnya baru 15 tahun. Ia tidak tahu ketika ditinggal syahid ayahnya, semoga ia mendatangimu sebelum engkau berangkat ke medan perang. Aku persembahkan anakku bersamamu sebagai hadiah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan aku minta kepadamu dengan kemuliaan Islam, janganlah engkau tolak usahaku untuk mendapatkan pahala”.

Aku menjawab, “ Maka ikalan rambut itu aku ambil darinya”.

Wanita itu berkata, “ Pasangkan ikalan rambutku itu pada kendaraanmu biar aku dapat melihatnya dan hatiku menjadi tenang ”. Maka ikalan rambut itu aku pasangkan pada kendaraanku dan aku keluar dari AR RIQQAH. Aku keluar bersama teman-temanku.

Ketika kami telah sampai di samping benteng Maslamah bin Abdul Malik (di Paris), tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang, “Wahai Abu Qudamah ! Berhentilah sebentar untukku –semoga Allah merahmatimu–.” Maka akupun berhenti dan aku katakan kepada teman-temanku, “Majulah kalian agar aku dapat melihat orang yang memanggil namaku. Ternyata ada seorang penunggang kuda yang sudah berada di dekatku “.

Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menghalangiku untuk bergabung denganmu, dan semoga engkau tidak menolakku untuk bergabung.”

Aku berkata kepada anak itu, “Tengadahkanlah mukamu kepadaku, jika engkau sesuai maka aku ikutkan berangkat berperang, jika tidak sesuai maka aku tolak engkau untuk ikut serta.”

Maka iapun menengadahkan mukanya, ternyata ia adalah anak yang baik, seakan-akan wajahnya seperti rembulan pada malam Badar dan terpancar dari mukanya pengaruh kenikmatan (bekas sujud).

Aku katakan kepada anak itu,“Apakah kamu masih mempunyai ayah ?”

“Tidak” jawab anak itu. Ia melanjutkan, “Aku ingin keluar bersamamu untuk mencari jejak ayahku, karena beliau telah syahid. Semoga Allah menganugerahkan syahadah kepadaku sebagaimana yang dianugerahkan kepada ayah.”

Aku tanyakan lagi kepada anak itu, “Apakah kamu masih mempunyai ibu?”

Anak itu menjawab, “Ya”

Aku katakan kepadanya, “Kembalilah kepada ibumu, mintalah izin kepadanya, jika ia mengizinkanmu maka aku akan menyertakan kamu pada perang ini, dan jika ia tidak mengizinkanmu maka dampingilah ibumu, karena ketaatanmu padanya lebih utama dari pada jihad (ketika fardhu Kifayah), karena Jannah itu berada di bawah kilatan pedang dan Jannah juga berada di bawah telapak kaki ibu.”.

Anak itu berkata, “ Wahai Abu Qudamah ! Tidakkah kamu mengenalku ?”

“Tidak” jawabku.

Anak itu berkata, “Aku adalah putra seorang wanita yang telah menitipkan sesuatu kepadamu. Bukannya aku tergesa-gesa, aku tidak akan melupakan wasiat ibuku, si pemilik ikalan rambut itu. Dan aku insya Allah Syahid ibnu Syahid, aku minta kepadamu karena Allah untuk mengikut sertakan aku dalam jihad in). Jangan kau larang aku untuk ikut sarta berjihad bersamamu fie sabilillah. Aku telah hafal Al Qur’an, mengerti sunnah Rasulullah, aku ahli menunggang kuda, ahli memanah, dan tidak ada remaja sebayaku yang lebih lihai dalam mengendarai kuda melebihiku, maka janganlah kamu meremehkanku karena aku masih kecil. Karena ibuku telah bersumpah agar aku tidak kembali pulang. Ibuku berkata kepadaku, “Jikalau kamu bertemu musuh maka janganlah kamu mundur, berikanlah dirimu untuk Allah dan mintalah untuk didekatkan dengan Allah, dan didekatkan dengan ayah dan teman-temanmu yang sholih di dalam Jannah. Jikalau kamu telah diberi syahadah maka berilah aku syafaat karena syafaatmu akan sampai kepadaku. Dan sesungguhnya orang yang mati syahid itu dapat memberi syafaat 70 keluarganya dan 70 tetangganya.” Kemudian ibuku mendekapku, lalu ia menengadahkan mukanya ke langit sembari berdoa, “Ya Ilahy, Tuanku, Pelindungku ! Ini adalah anakku, buah hatiku, penyejuk kalbuku, ia telah aku persembahkan untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya”.

Aku (Abu Qudamah) berkata, “Ketika mendengar perkataan anak itu, aku menangis dengan tangisan yang keras karena melihat kebaikannya, masa remajanya yang indah, dan kasih sayang hati ibunya, serta kagum akan kesabaran ibunya.

Anak itu berkata, “ Wahai paman ! Mengapa engkau menangis ? Jika yang menyebabkan paman menangis itu karena  aku masih kecil, maka sesungguhnya Allah akan mengadzab anak yang lebih kecil dariku jika ia durhaka”.

Aku berkata, “Aku menangis bukankarena melihatmu masih kecil, akan tetapi aku menangis karena melihat hati ibumu yang mulia, dan bagaimana perasaannya setelah kamu syahid nanti”.

Akhirnya, kamipun melanjutkan perjalanan sampai malam hari.

Pada pagi harinya, kami berjalan kembali dan kami melihat anak itu tidak henti-hentinya berdzikir kepada Allah. Dalam pandanganku, ternya dia dia lebih hebat dalam mengendarai kuda daripada kami, jika kami berhenti maka ia selalu melayani kami. Ketika dalam perjalanan ia selalu menguatkan azamnya, meningkatkan semangatnya, selalu membersihkan niatnya dan selalu menampakkan tanda senang (tidak manja kepada kami).

Kami tidak berhenti sampai kami sampai di negri orang-orang musyrik pada waktu tenggelamnya matahari, lalu kami semua turun dan anak itu langsung memasakkan makanan untuk kami buat buka puasa karena kami semua shiyam.

Setelah membereskan pekerjaannya, ia merasakan kantuk yang sangat, akhirnya dia tidur lama sekali. Ditengah-tengah tidurnya aku melihat ia sedang tertawa simpul Lalu aku berkata kepada teman-temanku, “ Apakah kalian tidak melihatnya terseyum dalam tidurnya ? ”.

Maka ketika bangun, aku bertanya kepadanya, “Wahai anakku ! Aku tadi melihatmu tersenyum ketika kamu sedang tidur”.

Anak itu berkata, “Aku tadi mimpi dan melihat sesuatu yang mengherankanku sehingga aku tersenyum.”

Aku bertanya lagi, “ Apa itu ?”

“Aku berasa berada di sebuah taman hijau yang indah, ketika aku sedang berjalan aku melihat istana yang terbuat dari perak, atapnya  dari intan dan permata, pintu-pintunya terbuat dari emas dan para bidadari menyibakkan satir dan aku dapat melihat wajahnya bagaikan rembulan.”

Ketika melihatku bidadari itu berkata, “Marhaban (selamat datang), maka aku pun ingin memegang tangan salah satu diantara mereka.”

Mereka berkata kepadaku, “Jangan tergesa-gesa aku bukanlah untukmu.”

Aku mendengar sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “ Ini adalah suami Al Mardhiyyah.”

Mereka berkata, “Majulah – Semoga Allah merahmatimu – !”. Maka akupun maju ke depan, maka ketika itu aku melihat Istana yang diatasnya ada sebuah kamar yang terbuat dari emas yang berwarna merah, di dalamnya terdapat dipan dari permadani hijau, tiangnya dari perak, dan di atasnya ada seorang bidadari yang mukanya seperti matahari. Jikalau Allah tidak meneguhkan penglihatanku sunguh aku akan buta dan akalku akan lenyap (gila) karena melihat indahnya kamar dan cantiknya wajah bidadari itu.”

Ketika bidadari itu melihatku ia berkata, “Marhaban, ahlan wa sahlan wahai kekasih Allah, engkau adalah untukku (calon suamiku) dan aku adalah untukmu (calon istrimu).” Maka pada saat itu aku ingin memeluknya tetapi ia berkata, “Sabar, sebentar lagi, jangan tergesa-gesa duhai kekasihku, sesungguhnya waktu yang dijanjikan bertemu antara aku dan kamu adalah besok setelah shalat dhuhur, maka bergembiralah.”

Abu Qudamah berkata, “Aku katakan pada anak itu, “ Sungguh kamu bermimpi baik dan kebaikan itu akan terjadi.” Maka sepanjang malam kamipun terkagum-kagum dengan mimpi anak itu.

Ketika pagi hari tiba kami bergegas memacu kuda kami. Maka ada seorang penyeru yang memanggil kami, “ Wahai Kuda Allah, melajulah dan bergembiralan dengan Jannah ! Berangkatlah berperang baik dengan perasaan ringan maupun berat, dan berjihadlah !”. Maka dalam waktu sekejap saja ternyata tentara kafir – semoga Allah menghinakan mereka- telah menghadang kami, dan mereka menyebar seperti belalang yang bertebaran. Maka orang yang pertama kali menyerang musuh dari kami adalah anak itu. Ia yang membelah pasukan kafir dan memporak-porandakan barisan mereka dan menceburkan diri ke tengah-tengah pasukan kafir. Iapun telah membunuh banyak tentara musuh dan membunuh pula pahlawan-pahlawannya.

Ketika aku melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku menarik tali kekang kudanya sembari mengingatkan, “Wahai anakku ! Mundurlah, karena kamu masih kecil dan tidak mengerti tipu daya perang !”.

Ia malah menjawab, “Wahai paman! Apakah kamu belum pernah mendengar firman Allah (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ! jikalau kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kamu lari ke belakang.” (QS. Al-Anfal : 15) Apakah kamu ingin aku masuk ke dalam neraka ?.”

Disela-sela anak itu berbicara kepadaku, tiba-tiba orang-orang musyrik menyerang kami dengan serempak. Mereka bergerak diantara aku dan anak itu, dan mereka menghalangiku dari anak itu, sementara para mujahidin telah sibuk dengan diri masing-masing.

Dalam peperangan, banyak mujahidin yang syahid. Maka ketika peperangan sudah selesai, ternyata yang terbunuh sangat banyak dan tidak dapat terhitung. Maka aku berjalan menunggang kuda untuk meneliti yang syahid, sementara darah mengalir membasahi bumi . Muka para syuhada tidak dapat dikenali dikarenakan banyaknya debu yang menempel dan darah yang mengalir melumuri tubuh mereka. Disela-sela aku berjalan diantara yang terbunuh, ketika itu aku melihat anak tersebut berada di bawah tapal kuda yang telah tertumpuki debu dan dia sedang berlumuran darah.

Dia berkata, “Wahai kaum muslimin ! Demi Allah datangkanlah kepadaku paman Abu Qudamah”. Maka aku menghampirinya. Ketika aku mendengar rintihannya, aku tidak dapat mengenali wajah karena berlumuran darah, dipenuhi debu dan terinjak-injak oleh binatang.

Aku berkata kepadanya, “Aku adalah Abu Qudamah.”

Ia menjawab, “Wahai paman ! Sungguh mimpiku benar, demi Rob Pemilik  Ka’bah aku adalah anak pemilik ikalan rambut itu”. Ketika kejadian itu, aku sangat gelisah dan aku menciuminya diantara kedua matanya dan aku usap debu dan darah yang menempel di mukanya yang tampan.

Aku katakan kepadanya, “Wahai anakku ! Jangan kau lupakan pamanmu Abu Qudamah dalam syafaatmu di Jannah kelak.”

Ia menjawab, “Orang sepertimu tak mungkin akan dapat terlupakan. Janganlah kau usap wajahku dengan pakaianmu, sungguh pakaianku lebih berhak untuk mengusap daripada pakaianmu. Biarlah engkau usap dengan pakaianku biar ia berjumpa dengan Allah Ta’ala dengan debu dan darahku. Paman, sesunguhnya para bidadari yang telah aku ceritakan kepadamu telah berdiri di atas kepalaku menunggu keluarnya ruhku. Dia (bidadari) mengatakan kepadaku, “ Segeralah keluar karena aku sudah sangat rindu ingin berjumpa denganmu”. Wahai paman, jikalau engkau dapat kembali dengan selamat maka bawalah pakaianku yang  bersimbah darah kepada ibuku yang sedang dirundung duka dan kesedihan, dan sampaikan salamku kepadanya agar dia tahu bahwa aku tidak menyia-nyiakan wasiatnya, dan aku tidak menjadi pengecut ketika bertemu orang-orang musyrik. Katakanlah kepadanya bahwa hadiah yang telah ia persembahkan untuk Allah telah diterima-Nya. Wahai paman, aku juga mempunyai seorang adik perempuan yang umurnya baru 10 tahun, setiap aku masuk rumah ia selalu menyambutku dan menyalamiku, ketika aku keluar pergi, ia menitipkan pesan kepadaku , “Kak, Demi Allah jangan melalaikan kami” maka jika engkau berjumpa dengannya sampaikan salamku kepadanya, dan katakana, “Kakakmu memesankan kepadamu, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat”,

Kemudian ia (anak ini) tersenyum sambil mengucapkan ASYHADU ANLÂ ILÂHA ILLALLÂH (Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah) tiada sekutu bagi-Nya, dan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Ini adalah yang telah Allah dan Rosul-Nya janjikan kepada kita dan benarlah janji Allah dan Rosul-Nya. Lalu ruhnya keluar. Maka kami mengafani dia dengan pakaiannya –semoga Alloh meridloinya -.

Ketika kami pulang dari peperangan, dan memasuki daerah Ar-Riqqah, tiada  keinginan yang paling kuat dalam benakku kecuali mendatangi rumah ibu anak itu. Aku mendapati ada seorang perempuan yang mirip mukanya dalam kecantikan dan kebagusannya, ia sedang berdiri di depan pintu rumah, dan ia tanya setiap orang yang lewat di depannya, “Wahai paman, dari manakah engkau?”

“Dari berperang” jawab orang yang ditanya.

Ia bertanya lagi, “Apakah kakakku pulang bersama kalian ?”

“Tidak tau” jawab orang itu.

Ketika aku mendengarnya, aku mendatanginya dan dia bertanya kepadaku, “Wahai paman ! Dari manakah engkau ?”

“Dari berperang” jawabku, kemudian adik itu menangis dan berkata, “Aku tak peduli apakah mereka pulang bersama kakakku, sungguh aku telah mendapatkan pelajaran.” Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai anak perempuan ! Katakanlah kepada pemilik rumah ini bahwa Abu Qudamah ada di depan pintu.”

Maka keluarlah perempuan (pemilik rumah) ketika mendengar suaraku. Maka berubahlah roman mukanya. Aku salami dia dan diapun menjawab salamku. Dia bertanya, “Apakah kedatanganmu membawa kabar gembira ataukah kabar duka ?”

Aku balik bertanya, “Terangkanlah kepadaku maksud kabar gembira dan kabar sedih – semoga Allah merahmatimu – !”

Ia menjawab, “ Jikalau anakkku pulang bersamamu dalam keadaan selamat maka  itu kabar menyedihkan bagiku, dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti kamu membawa kabar gembira”

Aku katakan kepadanya , “Bergembiralah karena hadiahmu telah diterima Allah”. Maka ia menangis dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan pada hari kiamat kelak”. Aku tanyakan kepadanya, “Apa yang dilakukan oleh adiknya itu ?”. Jawab ibu itu, “Dialah yang telah berbincang-bincang denganmu tadi.” Maka anak itu mendekatiku, dan aku katakan kepadanya, “Kakakmu menitipkan salam buatmu dan dia mengatakan, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat ”. Maka berteriaklah anak itu dan jatuh pingsan. Lalu ibunya menggerak-gerakkannya setelah sesaat, ternyata anak itu telah meninggal. Sungguh aku sangat kagum sekali (atas kejadian itu). Kemudian aku serahkan pakaian yang dititipkan  anak itu kepada ibunya. Lalu aku tinggalkan ibu itu dengan perasaan sedih atas anak yang telah syahid dan adiknya yang ikut meninggal setelah mendengar kabar tentang kakaknya. Allahu Akbar !

sumber : http://www.oaseimani.com/pemilik-ikalan-rambut-tali-kekang-kuda.html
Share:

Kisah Zaid bin Haritsah, Tak Gentar Menghadapi 200 Ribu Pasukan Romawi

Hasil gambar untuk zaid bin haritsahBanyak sahabat menjalin kedekatan dengan Nabi shallallahu’alahi wa sallam bukan karena faktor nasab, melainkan atas prestasi yang mereka torehkan dalam Islam. Misalnya, Umar ibnu Khattab atas inisiatifnya yang brilian, Abu Dzar atas keteguhannya, Abdurrahman bin Auf  atas pengorbanannya dan Zaid bin Haritsah atas dedikasinya.

Kisah yang akan kita angkat kali ini dari sahabat Zaid bin Haritsah. Beliu memang tidak ada ikatan darah dengan Nabi shallallahu’alahi wa sallam, namun dia hanya seorang anak angkat sebelum hal itu dilarang oleh syariat.

Orangtua Zaid yang sebenarnya yaitu Su’da dan Haritsah bin Syarahil. Konon, Su’da sudah lama ingin mengunjungi kerabatnya di kampung Bani Ma’an. Tapi Haritsah tak bisa mengantarnya, kebetulan ada rombongan pedagang yang melewati kempung bani Ma’an, sehingga ayah Zaid bisa menitipkan istri dan putarenya tersebut.

Ketika Zaid berada di daerah asal ibundanya, ada gerombolan perampok yang menyerbu dengan tiba-tiba, penduduk kampung bani Ma’an tidak berdaya menghadapinya. Harta mereka dirampas, ternak mereka ambil, bahkan sampai anak-anak mereka culik guna untuk dijual dijadikan budak. Malang bagi Zaid, dia dibawa oleh para perampok tadi.
Pertemuan Dengan Rasulullah

Penculik itu membawa Zaid ke pasar Ukaz di Makkah, yaitu Hakim bin Hizam yang membeli Zaid sampai akhirnya Zaid di hadiahkan kepada Khadijah binti Khuwailid. Benar, dialah istri dari baginda Nabi Muhammad shallallahu’alahi wa sallam. Pada akhirnya Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau Rasulullah.

Nabi Muhammad memerdekakan Zaid, tak hanya itu saja dia juga menjadi anak angkat Rasulullah. Kebaikan dari Rasulullah dan Khadijah membuat Zaid nyaman, karena beliau tidak membedakan antara anak angkat maupun anak kandung.

Zaid dewasa dalam didikan Rasulullah, saat Nabi mulai mendakwahkan Islam, Zaid merupakan angkatan pertama sahabat yang masuk Islam atau biasa disebut dengan assabiqunalawwalun. Saat orang-orang kafir memusuhi Nabi, Zaid dan sahabat-sahabat yang lain melindunginya. Di saat Nabi memerintahkan sesuatu kepada Zaid, beliau pasti mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, sampai-sampai baginda Rasulullah bersabda, “Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat.’’ (HR. Ahmad)
Pernikahan Zaid bin Haritsah

Ketika Zaid hijrah ke Madinah, Rasulullah meminangkan Zainab binti Jahsy untuk Zaid. Semula Zainab dan saudara laki-lakinya tidak menyukai perjodohan itu karena menurut mereka bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan dihormati menikah dengan mantan budak? Lalu Rasulullah menasehati mereka berdua dan menceritakan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga Allah juga menurunkan ayat yang bunyinya :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Pada akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Melalui pernikahan itu Rasulullah ingin menghapus tradisi jahiliyah yang membanggakan status sosial, suku dan keturunan. Beliau menekankan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali ketaqwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Akan tetapi pernikahan ini tidak bertahan lama karena perbedaan mereka yang begitu jauh, Rasulullah sudah menasehati Zaid untuk bersabar, namun pada akhirnya tetap saja pernikahan tersebut kandas.

Setelah Zainab melewati masa iddahnya, Allah memerintahkan Rasulullah menikahinya. Salah satu hikmahnya adalah menghapus tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliyah. Juga untuk meluruskan pemahan keliru tentang anak angkat. Melalui pernikahan itu Allah menjelaskan bahwa ada perbedaan antara anak angkat dan anak kandung. Sedekat apapun anak orangtua dengan anak angkatnya, hukumnya dalam Islam tidaklah sama dengan anak kandung.
Jiwa Kepemimpinan Zaid bin Haritsah

Zaid yang merupakan satu-satunya sahabat yang namanya di sebutkan dalam Al-Qur’an dan bukan dengan kata ganti ini memiliki kelebihan dalam hal kepemimpinan. Ia adalah sahabat yang pandai mengatur strategi perang hingga selalu meraih kemenangan. Sikap itulah yang akhirnya membuat Nabi Muhammad mempercayakan misi-misi penting kepadanya.

Aisyah menceritakan bahwa setiap kali kali Zaid pulang dari sarriyah, tempat pertama yang beliau datangi adalah rumah Nabi. Rasulullah pun langsung memeluknya dan menanyakan kabarnya. Alhamdulillah, berita yang selalu Zaid bawa adalah tentang kemenangan yang Allah berikan kepada pasukannya.

Zaid adalah prajurit yang hebat, hingga Aisyah pernah juga mengatakan,”Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi menjadi pemimpinya. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia akan diangkat sebagai khalifah.”

Pada tahun 8 M orang Romawi membunuh utusan Rasulullah yang bernama Al Harits bin Umair. Rasulullah tidak terima akan hal itu, sehingga beliau menyiapkan pasukan Islam yang akan diberangkatkan menuju perang Mut’ah. Perang ini salah satu perang paling berat karena jumlah pasukan Romawi 200 ribu pasukan sedangkan pasukan muslim hanya 3 ribu pasukan. Melihat hal tersebut lantas tidak membuat pasukan muslim mundur dan bergeming, apalagi peperangan tersebut dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.

Ketika Perang Mut’ah berlangsung, Rasulullah yang duduk di mimbar tiba-tiba mata beliau berkaca-kaca. Tergambar di mata beliau begitu sengitnya pertempuran tersebut, sehingga beliau menceritakan bahwa Zaid dengan gagah berani maju ke tengah pasukan musuh tanpa gentar sedikitpun. Satu tangannya mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, sementara yang lain memegang bendera Islam.

Pasukan Romawi yang melihat Zaid lengah dalam pertempuran menikamnya dengan tombak dari belakang hingga akhirnya meregang nyawa sambil memegang bendera Islam. Rasulullah kemudian melakukan sholat  ghaib untuk Zaid. Beliau juga berpesan kepada kaum muslim yang lain untuk beristigfar atas berpulangnya Zaid kepada Allah.

Baca Juga: Kisah Zubbair Bin Awwam, Sang Pembela Rasulullah

Semoga kisah Zaid bin Haritsah ini mampu menjadi pelecut hati kita untuk terus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Aamiin

sumber:BERANIDAKWAH.COM | 
Share:

Recent Posts

Pages