Mengenal Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Keajaiban Batu Al Naslaa di Gurun Arab, Terbelah Dua Sempurna di ...Siapa yang tidak pernah mendengar nama Abdul Qodir al-Jailani?

Hampir semua muslim pernah mendengar namanya.

Dari anak SD hingga manusia usia senja, mengenal namanya. Ketika namanya disebut, yang terbayang kesalehan dengan segudang karomah. Lalu siapakah sebenarnya Abdul Qodir al-Jailani itu?

Nama dan Nasab

Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Abdul Qadir Al-Jailani,

“Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani.”

(Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Imad Al-Hanbali, 4/198)

Tempat Kelahiran

Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Dari nama negerinya ini, beliau dinasabkan sehingga disebut “al-Jailani”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.

Jailan sendiri merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobristan.

Kota yang ada di negeri Jailan,  hanyalah perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16)

Madzhab Fiqh Syaikh Abdul Qadir

Beliau termasuk salah satu ulama dan tokoh dalam madzhab hambali. Ad-Dzahabi ketika membawakan biografinya menyatakan,

الجِيْلِيُّ الحَنْبَلِيُّ، شَيْخُ بَغْدَادَ

Beliau dari Jailani, bermadzhab hambali, tokoh di Baghdad.

Kemudian ad-Dzahabi menyebutkan beberapa guru beliau, diantaranya, Abu Ghalib al-Baqillani, Ahmad bin Mudzaffar, Abu Qasim bin Bayan.

Sementara murid beliau, sederet ulama madzhab hambali, diataranya, as-Sam’ani, al-Hafidz Abdul Ghani – penulis Umdatul Ahkam –, dan al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, penulis kitab al-Mughni .

(Siyar A’lam an-Nubala, 20/439)

Aqidah Syaikh Abdul Qadir

Bagian ini sagat penting untuk kita pahami, menyusul banyaknya keyakinan tentang beliau yang banyak bercampur khurafat dan takhayul. Salah satunya, dikatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir mampu mengambil kembali ruh yang sudah dicabut oleh malaikat. Kemudian dikembalikan kepada orang yang baru meninggal.

Ini kisah sangat jelas  kedustaannya. Siapapun manusia, bahkan seorang nabi-pun, tidak mampu melakukan semacam ini.

Yang sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi sekarang, tapi sudah ada di masa silam. Dan para ulama ahlus sunah berusaha melulruskannya. Kita simak keterangan Al-Hafidz Ibnu Katsir,

ولأتباعه وأصحابه فيه مقالات ، ويذكرون عنه أقوالا وأفعالا ومكاشفات أكثرها مغالاة ، وقد كان صالحاً ورِعاً ، وقد صنَّف كتاب ” الغُنية ” و ” فتوح الغيب ” ، وفيهما أشياء حسنة ، وذكر فيهما أحاديث ضعيفة وموضوعة ، وبالجملة كان من سادات المشايخ

“Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”.

(al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/252).

Karena itu, bagian penting yang perllu kita perhatikan ketika kita mengkaji sejarah tokoh adalah memahmi bagaimana aqidahnya, bukan kesaktiannya atau karomahnya. Karena yang kita tiru amal dan aqidahnya, bukan ilmu kanuragannya. Terlebih lagi, beliau sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan, apalagi memlikinya.

Memang beliau memiliki banyak karomah. Namun karomah yang beliau miliki bukan karena beliau mempelajarinya, tapi murni pemberian dari Allah, sebagai bentuk pertolongan dari Allah untuk hamba-Nya yang soleh. Sehingga sekali lagi, yang perlu kita tiru adalah kesalehannya bukan karamahnya.

Diantara cara untuk memahami aqidah beliau adalah dengan melihat karya tulis beliau. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki kitab al-Ghunyah. Dalam salah satu biografi beliau yang disebutkan oleh Ibnu Rajab, di kitab Dzail Thabaqat Hanabilah dinyatakan,

وللشيخ عبد القادر رحمه الله تعالى كلام حسن في التوحيد، والصفات والقدر، وفي علوم المعرفة موافق للسنة. وله كتاب ” الغنية لطالبي طريق الحق ” وهو معروف، وله كتاب ” فتوح الغيب ” وجمع أصحابه من مجالسه في الوعظ كثيرًا. وكان متمسكًا في مسائل الصفات، والقدر، ونحوهما بالسنة، بالغًا في الرد على من خالفها

“Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany memiliki keterangan yang bagus tentang Tauhid, penjelasan sifat  Allah, dan taqdir. Dalam ilmu ma’rifat, ilmu beliau sesuai kaidah ahlus sunah wal jamaah.

Beliau memiliki buku berjudul: “al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq.” Kitab yang terkenal. Beliau juga punya kitab judulnya: Futuh al-Ghaib. Sahabat beliau yang ikut kajian tentang nasehat sangat banyak sekali. Beliau berpegang dengan sunnah (ajaran Nabi) dalam masalah sifat Allah dan taqdir atau aqidah lainnya. Beliau sangat jeli dalam membantah. (al-Ghuntah, hlm. 151)

Ibnu Qudamah menuturkan pengalaman dengan gurunya,

دخلنا بغداد سنة إحدى وستين وخمسمائة فإذا الشيخ عبد القادر ممن انتهت إليه الرئاسة بها علمًا وعملاً ومالاً واستفتاء. وكان يكفي طالب العلم عن قصد غيره من كثرة ما اجتمع فيه من العلوم، والصبر على المشتغلين، وسعة الصدر

“Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.” (Dzail Thobaqot Hanabilah, 1/293)

Pernyataan Syaikh Abdul Qadir tentang Aqidah

Pertama, Allah ber-istiwa di atas Arsy,

Beliau mengatakan,

وهو بجهة العلو مستو ، على العرش محتو على الملك محيط علمه بالأشياء

Dia beristiwa di atas. Dia di atas Arsy, Dia menguasai semua kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. (al-Ghunyah, 1/71)

Kedua, beliau membantah semua sekte selain ahlus sunnah,

وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ، ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء والغلبة كما قالت المعتزلة ، لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك

Selayaknya memahami istiwa Allah sesuai makna tekstualnnya, tanpa ditakwil. Dia bersemayam secara dzat di atas ‘Arsy, tidak kita maknai duduk dan menempel di Arsy, sebagaimana perkataan Mujassimah dan Karramiyah, tidak pula dimaknai berada di atas, sebagaimana perkataan Asy’ariyah. Tidak boleh dimaknai menguasai, sebagaimana aqidah Mu’tazilah. Karena syariat tidak menyebutkan semua makna itu, dan tidak dinukil satupun keterangan  dari sahabat, maupun tabi’in di kalangan Salaf, para pembawa hadis. (al-Ghunyah, 1/74)

Pernyataan ini membuktikan, bahwa beliau adalah pengikut salaf, pembawa hadis, ahlus sunah, bukan Asy’ariyah, apaagi Mu’tazilah.

Mengapa lebih banyak disinggung aqidah masalah Allah beristiwa di atas?

Karena ini titik sengketa antara ahlus sunnah dengan ahlul bid’ah dalam masalah aqidah, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

Mengingat pentingnya meluruskan sejarah beliau, hingga Dr. Said bin Musfir menulis disertasi doktoral dengan judul, [الشيخ عبدالقادر الجيلاني وآراؤه الاعتقادية والصوفية] “Syaikh Abdul Qadir Jailani: Pemikiran Aqidah dan Sufiyah”

Dalam disertasi ini beliau benyak membantah orang-orang sufi yang menyalah gunakan nama beliau untuk mendukung aqidah sufinya.

Buku ini telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul: Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Termasuk yang perlu dibersihkan adalah tersebarnya gambar beliau, yang ini bisa kita pastikan dusta. Karena beliau memusuhi gambar bernyawa dengan wajah.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) 

Share:

TIGA KELOMPOK YANG TIDAK BOLEH DIPERCAYA DALAM URUSAN AGAMA

Fenomena Sungai Pasir di Gurun Arab
Ada tidak kelompok dari kaum muslimin yang tidak boleh dipercaya kalau mereka berbicara dalam masalah agama.

Berkata Marwan bin Muhammad At-Thathiri Al-Asadi rahimahullah :

ثلاثة لا يؤتمنون في دين, الصوفي، والقصاص, ومبتدع يرد على على أهل الأهواء

“Ada tiga (kelompok) yang mereka tidak dapat di percaya dalam urusan agama, Shufi, para pendongeng, Ahlul Bid’ah yang membantah Ahlul Ahwa’.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik Al-Qadhi ‘Iyadh 3/226). Sumber : https://www.alukah.net/sharia/0/90006/

Kelompok Pertama, Shufi

Kelompok shufi adalah kelompok yang suka membuat perkara baru dalam agama. Membuat kreativitas dan inovasi dalam amal ibadah. Kelompok yang sangat malas, banyak makan (kaum besek), pesimis dan suka melakukan sesuatu yang tidak perlu dan tiada guna.

Berkata Ibnu Sha'id rahimahullah :

سمعت الشافعي يقول : أُسِّسَ التصوفُ على الكَسَلِ ".

Aku mendengar Imam Syâfi’i rahimahullah berkata : “Asas tasawuf adalah kemalasan” [al-Hilyah karya Abu Nu’aim al-Ashbahâni 9/136-137].
Sumber : https://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=200524&page=3

Berkata Imam Syafii rahimahullah :

لاَ يَكُوْنُ الصُّوْفِيُّ صُوْفِياًّ حَـتَّى يَكُوْنُ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ : كَسُولٌ أَكُوْلٌ شَؤُوْمٌ كثَيْرُ الْفُضُولِ

Seseorang tidak akan menjadi Shufi (tulen) kecuali setelah empat perkara ada padanya: sangat malas, banyak makan, sangat pesimis, dan banyak melakukan hal yang tidak perlu”. (Manâqibu asy-Syâfi’i karya al-Baihaqi 2/207). Sumber : https://subulassalaam.com/articles/articlea.cfm?article_id=123

Untuk itu jauhilah kelompok yang satu ini. Jangan duduk bermajlis dengan mereka. Jangan sampai terjerat dan masuk menjadi shufi, niscaya akan menjadi orang yang bodoh.

فعن يونس بن عبد الأعلى قال سمعت الشافعي يقول : " لو أن رجلا تصوف أول النهار ، لا يأتي الظهر حتى يصير أحمق " .
وعنه أيضا أنه قال : " ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما ، فعاد عقله إليه أبدا " .

Dari Yûnus bin ‘Abdil A’lâ rahimahullah , ia berkata, “Aku mendengar (Imam) Syâfi’i rahimahullah menyatakan:

َ “Kalau ada orang menjadi Shufi di pagi hari, maka tidaklah datang waktu Zhuhur kecuali orang tersebut akan engkau jumpai menjadi manusia yang dungu”.

Dan darinya juga (Imam Syafi’I), bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.” (Manâqib Syâfi’i karya Imam al-Baihaqi 2/207).
Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/179938/هل-ثبت-عن-الامام-الشافعي-مدحه-للصوفية-في-شعره

Kelompok Kedua, Tukang Mengarang Cerita

Orang yang suka bercerita tentang kisah ini kisah itu, tetapi kisahnya penuh dengan kepalsuan. Seperti saya mendengar si pulan bercerita seperti ini, padahal si pulan tidak pernah cerita.

Ada seseorang berkata :

عن الأعمش عن أبي إسحاق عن أبي وائل ,فتوسط الأعمش الحلقة , وجعل ينتف شعر إبطه , فقال له القاص :

يا شيخ ؟ ألا تستحي ؟ نحن في علم وأنت تفعل مثل هذا ؟! فقال الأعمش : الذي أنا فيه خير من الذي أنت فيه , قال : كيف ذلك ؟ قال :لأني في سنَّة وأنت في كذب ,أنا الأعمش ! وما حدثتك مما تقول فلما سمع الناس ما ذكر الأعمش؛ انفضوا عن القاص، واجتمعوا حوله وقالوا: حدثنا يا أبا محمد"

"Dari al-A'masy, dari Abu Is-haq, dari Abu Wa'il.." Lalu al-A'masy langsung beralih ke tengah halaqah sambil mencabut bulu ketiaknya. Sontak si tukang cerita menegurnya:

"Wahai Syaikh..? tidakkah engkau malu..? Kita dalam pengajian engkau malah berbuat seperti itu..?!" Maka al-Amasy berkata, "Apa yang aku lakukan ini lebih baik ketimbang apa yang engkau perbuat." Orang itu berkata, "Bagaimana bisa begitu..?"

Al-A'masy berkata, "Aku sedang mengamalkan sunnah, sedangkan engkau sedang berdusta..! Aku adalah al-A'masy..! Aku tidak pernah menceritakan kepadamu seperti ini..!"

Ketika para hadirin mendengar hal itu, maka mereka meninggalkan tukang cerita tersebut dan berkumpul di sekitar al-A'masy, mereka berkata, "Ceritakanlah kepada kami wahai Abu Muhammad (al-A'masy).." [Al-Hawadits wal Bida' hal. 111-112, Abu Bakr At-Thurthusi]. Sumber : http://islamport.com/w/akh/Web/239/

Kelompok Ketiga, Ahlul Bid'ah Yang Membantah Ahlul Hawa

Ada seorang ahlul bid'ah punya suatu pendapat, lantas pendapatnya ini tidak sesuai dengan pendapat ahlul bid'ah lainnya, saling bantahlah mereka, maka orang yang membantah ini tidak boleh dipercaya kalau bicara perkara agama, sebagaimana ahlul bid'ah yang dibantah.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani:

ولا ينبغي أن يسمع قول مبتدع في مبتدع

“Tidak sepantasnya seseorang mendengar bantahan Ahlul Bid’ah atas Ahlul Bid’ah yang lainnya.” (Muqaddimah Fat-hul Bari hal. 512). Sumber : http://www.aqaed.com/faq/4568/

Nah bagaimana dengan Idrus Ramli? Ketiga ciri tersebut ada padanya, shufi, suka mengarang cerita dan suka membantah ahlul bid'ah lainnya maka tidak boleh dipercaya dalam urusan agama.

AFM

Copas dari berbagai sumber 
Share:

FENOMENA MENGHARUKAN DI PENGADILAN SAUDI :

Ini 7 Hal Bukti Kerajaan Arab Saudi yang Mulai Terbuka Halaman all ...
⚖ Di salah satu pengadilan Qasim, Kerajaan Saudi Arabia, berdiri Hizan al Fuhaidi dengan air mata yang bercucuran hingga membasahi janggutnya...


🔨 Kenapa ?

Karena ia kalah terhadap perseteruannya dengan saudara kandungnya dipengadilan !! 

⚔ Tentang apakah perseteruannya dengan saudaranya ??

Tentang tanah ??

atau warisan yang mereka saling perebutkan ??

👋 Bukan karena harta !!

💝Ia kalah terhadap saudaranya terkait hak pemeliharaan ibunya yang sudah tua renta & bahkan hanya memakai sebuah cincin timah di jarinya yang telah keriput,, 

Seumur hidupnya, beliau tinggal dengan Hizan yang selama ini menjaganya,,

Tatkala beliau telah semakin tua, datanglah adiknya yang tinggal di kota lain, untuk mengambil ibunya agar tinggal bersamanya, dengan alasan, fasilitas kesehatan dll di kota jauh lebih lengkap daripada di desa.

🗣 Namun Hizan menolak dengan alasan, selama ini ia mampu untuk menjaga ibunya.

Perseteruan ini tidak berhenti sampai di situ, hingga berlanjut ke pengadilan!! 

Sidangpun dimulai,, hingga sang hakim pun meminta agar sang ibu dihadirkan di majelis ... 

👥Kedua bersaudara ini membopong ibunya yang sudah tua renta yang beratnya sudah tidak sampai 40 Kg!!

Sang Hakim bertanya kepadanya, siapa yang lebih berhak tinggal bersamanya.

Sang ibu memahami pertanyaan sang hakim, ia pun menjawab, sambil menunjuk ke Hizan,
"Ini mata kananku !"

Kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata,
"Ini mata kiriku !!

🔎Sang Hakim berpikir sejenak kemudian memutuskan hak kepada adik Hizan,
berdasar pertimbangan kemaslahatan bagi si ibu!! 

🏅Betapa mulia air mata yang dikucurkan oleh Hizan!!

Air mata penyesalan karena tidak bisa memelihara ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjutnya !!

Dan, betapa terhormat dan agungnya sang ibu !! diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti ini,,!! 

💎Andaikata kita bisa memahami, bagaimana sang ibu mendidik kedua putranya, hingga ia menjadi ratu dan mutiara termahal bagi anak-anaknya !!

Ini adalah PELAJARAN MAHAL, tentang BERBAKTI, tatkala DURHAKA sudah menjadi BUDAYA...

Semoga Bermanfaat...
Dari grup telegram

☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum.

                                          

✒ Ditulis oleh _Ustadz Kholid Syamhudi Al-Bantani, _ Lc حفظه الله تعالى

▪┈┈◈❂◉❖ ° ❖◉❂◈┈┈▪ 
Share:

Kisah Nabi Hud

Kisah Nabi Hud As dan Binasanya Peradaban Kaum 'AadAllah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat:

مَنۡ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةًۖ
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰهُودُ مَا جِئۡتَنَا بِبَيِّنَةٖ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata:

إِنِّيٓ أُشۡهِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡهَدُوٓاْ أَنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٥٤ مِن دُونِهِۦۖ فَكِيدُونِي جَمِيعٗا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ ٥٥ إِنِّي تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمۚ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِيَتِهَآۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٥٦
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah subhanahu wa ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata:

هَٰذَا عَارِضٞ مُّمۡطِرُنَاۚ
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman:

بَلۡ هُوَ مَا ٱسۡتَعۡجَلۡتُم بِهِۦ
“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

رِيحٞ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٞ ٢٤ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيۡءِۢ
“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

سَخَّرَهَا عَلَيۡهِمۡ سَبۡعَ لَيَالٖ وَثَمَٰنِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومٗاۖ فَتَرَى ٱلۡقَوۡمَ فِيهَا صَرۡعَىٰ كَأَنَّهُمۡ أَعۡجَازُ نَخۡلٍ خَاوِيَةٖ ٧
“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

فَأَصۡبَحُواْ لَا يُرَىٰٓ إِلَّا مَسَٰكِنُهُمۡۚ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah subhanahu wa ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

وَأُتۡبِعُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَآ إِنَّ عَادٗا كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا لِّعَادٖ قَوۡمِ هُودٖ ٦٠
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).
Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah subhanahu wa ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.
Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan kepada kita.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَقَدۡ أَهۡلَكۡنَا مَا حَوۡلَكُم مِّنَ ٱلۡقُرَىٰ وَصَرَّفۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:

لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٢٧
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam:
أَتَبۡنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةٗ تَعۡبَثُونَ ١٢٨
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya.
Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mendustakan para rasul Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana yang Allah k sebutkan dalam kisah ‘Aad:

وَلَقَدۡ مَكَّنَّٰهُمۡ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمۡ فِيهِ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ سَمۡعٗا وَأَبۡصَٰرٗا وَأَفۡ‍ِٔدَةٗ فَمَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُمۡ سَمۡعُهُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُهُمۡ وَلَآ أَفۡ‍ِٔدَتُهُم مِّن شَيۡءٍ إِذۡ كَانُواْ يَجۡحَدُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ٢٦
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain:

فَمَآ أَغۡنَتۡ عَنۡهُمۡ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِي يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٖ لَّمَّا جَآءَ أَمۡرُ رَبِّكَۖ وَمَا زَادُوهُمۡ غَيۡرَ تَتۡبِيبٖ ١٠١
“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam.



Ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits
Share:

Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al Quran

Kisah dalam Al-Qur'an – Inspiring EducationHikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam al Quran sangat banyak sekali, di antaranya yang paling penting adalah:

Pertama, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al A’raf: 176)

Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Huud: 120)

peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang berfikir.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111)

Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya. Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan hikmah yang telah ditetapkanNya.

Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah RasulNya:

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa: 164-165).



Diterjemahkan dari: http://almuqbil.com/play-4094.html




Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-al-quran.html
Share:

Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Hud AS dan Kaumnya Penyembah Berhala yang Dibinasakan ...
Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah Ta’ala. Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat,

“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah Ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah Ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah Ta’ala,

“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah Ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah Ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata,

“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka, ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah Ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata,

“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah Ta’ala pun berfirman,

“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”

Allah Ta’ala berfirman,

“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah Ta’ala berfirman,

“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah Ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah Ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah Ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).

Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

1.    Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah Ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah Ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.

Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah Ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

2. Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah Ta’ala ceritakan kepada kita.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah Ta’ala,

“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami,

“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

3. Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah Ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah Ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam,

“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah Ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun, bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah Ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

4. Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan para rasul-Nya.

Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah Ta’ala, mendustakan para rasul Allah Ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam kisah ‘Aad,

“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain,

“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam. (Asysyariah.com)

Penulis: Ustadz Idral Harits hafizhahullah
Artikel www.KisahMuslim.com



Read more https://kisahmuslim.com/735-pelajaran-berharga-dari-kisah-nabi-hud-alaihissalam.html
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages