Pemilik Ikalan Rambut Tali Kekang Kuda (Tauladan Ibu Sholihah)

Hasil gambar untuk abu qudamahDi kota Rosulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, Madinah Munawwaroh, hiduplah seorang lelaki yang bernama “ABU QUDAMAH AS SYAAMI “. Allah telah memberikan rasa cinta yang mendalam kepadanya terhadap Jihad fie sabilillah, dan berperang di negeri Romawi.

Suatu hari beliau sedang duduk-duduk sambil bercengkrama di Masjid Nabawi bersama teman-temannya. Teman-temannya berkata kepada beliau : “Ceritakanlah kepada kami kejadian yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat ketika berjihad.”.

Abu Qudamah berkata, “Baiklah.”

Aku pernah masuk kota RIQQAH untuk membeli onta yang akan aku pergunakan untuk membawa senjata.

Suatu hari ketika aku sedang duduk-duduk, ada seorang perempuan yang mendatangiku, lalu berkata kepadaku, “ Wahai Abu Qudamah! Aku telah mendengar tentang dirimu bahwa kamu suka bercerita tentang jihad, dan senang menghasung orang untuk berjihad. Aku telah diberi Allah rambut yang tidak dimiliki oleh wanita selainku. Rambut itu telah aku anyam dan ikal menjadi tali kekang kuda dan aku lumuri ikalan itu dengan debu biar tidak tampak oleh orang (kalau itu ikalan rambut), dan aku akan sangat bahagia bila kamu mau mengambilnya. Jika engkau telah sampai di negeri orang kafir, dan para pahlawan-pemanah telah melepaskan anak panahnya, pedang telah dihunus dan tombak telah disiapkan maka Jika kamu membutuhkannya maka ambillah, jika tidak maka berikanlah ikalan ini kepada orang lain yang membutuhkan, agar rambutku bisa ikut serta dan terkena debu fie sabilillah. Aku adalah seorang janda, suami dan kerabatku telah syahid di jalan Allah, seandainya jihad diwajibkan atasku sungguh aku akan berangkat berjihad dan ikalan rambut ini aku bawa sendiri.”

Wanita itu melanjutkan, “Perlu kamu ketahui wahai Abu Qudamah ! Bahwa ketika suamiku syahid, beliau meninggalkan anak, dan anak itu sekarang termasuk remaja yang baik, ia telah mempelajari Al Qur’an, lihai mengendarai kuda, lihai memanah, ia selalu Qiyamullail di malam hari dan shoum di siang hari sementara umurnya baru 15 tahun. Ia tidak tahu ketika ditinggal syahid ayahnya, semoga ia mendatangimu sebelum engkau berangkat ke medan perang. Aku persembahkan anakku bersamamu sebagai hadiah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan aku minta kepadamu dengan kemuliaan Islam, janganlah engkau tolak usahaku untuk mendapatkan pahala”.

Aku menjawab, “ Maka ikalan rambut itu aku ambil darinya”.

Wanita itu berkata, “ Pasangkan ikalan rambutku itu pada kendaraanmu biar aku dapat melihatnya dan hatiku menjadi tenang ”. Maka ikalan rambut itu aku pasangkan pada kendaraanku dan aku keluar dari AR RIQQAH. Aku keluar bersama teman-temanku.

Ketika kami telah sampai di samping benteng Maslamah bin Abdul Malik (di Paris), tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang, “Wahai Abu Qudamah ! Berhentilah sebentar untukku –semoga Allah merahmatimu–.” Maka akupun berhenti dan aku katakan kepada teman-temanku, “Majulah kalian agar aku dapat melihat orang yang memanggil namaku. Ternyata ada seorang penunggang kuda yang sudah berada di dekatku “.

Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menghalangiku untuk bergabung denganmu, dan semoga engkau tidak menolakku untuk bergabung.”

Aku berkata kepada anak itu, “Tengadahkanlah mukamu kepadaku, jika engkau sesuai maka aku ikutkan berangkat berperang, jika tidak sesuai maka aku tolak engkau untuk ikut serta.”

Maka iapun menengadahkan mukanya, ternyata ia adalah anak yang baik, seakan-akan wajahnya seperti rembulan pada malam Badar dan terpancar dari mukanya pengaruh kenikmatan (bekas sujud).

Aku katakan kepada anak itu,“Apakah kamu masih mempunyai ayah ?”

“Tidak” jawab anak itu. Ia melanjutkan, “Aku ingin keluar bersamamu untuk mencari jejak ayahku, karena beliau telah syahid. Semoga Allah menganugerahkan syahadah kepadaku sebagaimana yang dianugerahkan kepada ayah.”

Aku tanyakan lagi kepada anak itu, “Apakah kamu masih mempunyai ibu?”

Anak itu menjawab, “Ya”

Aku katakan kepadanya, “Kembalilah kepada ibumu, mintalah izin kepadanya, jika ia mengizinkanmu maka aku akan menyertakan kamu pada perang ini, dan jika ia tidak mengizinkanmu maka dampingilah ibumu, karena ketaatanmu padanya lebih utama dari pada jihad (ketika fardhu Kifayah), karena Jannah itu berada di bawah kilatan pedang dan Jannah juga berada di bawah telapak kaki ibu.”.

Anak itu berkata, “ Wahai Abu Qudamah ! Tidakkah kamu mengenalku ?”

“Tidak” jawabku.

Anak itu berkata, “Aku adalah putra seorang wanita yang telah menitipkan sesuatu kepadamu. Bukannya aku tergesa-gesa, aku tidak akan melupakan wasiat ibuku, si pemilik ikalan rambut itu. Dan aku insya Allah Syahid ibnu Syahid, aku minta kepadamu karena Allah untuk mengikut sertakan aku dalam jihad in). Jangan kau larang aku untuk ikut sarta berjihad bersamamu fie sabilillah. Aku telah hafal Al Qur’an, mengerti sunnah Rasulullah, aku ahli menunggang kuda, ahli memanah, dan tidak ada remaja sebayaku yang lebih lihai dalam mengendarai kuda melebihiku, maka janganlah kamu meremehkanku karena aku masih kecil. Karena ibuku telah bersumpah agar aku tidak kembali pulang. Ibuku berkata kepadaku, “Jikalau kamu bertemu musuh maka janganlah kamu mundur, berikanlah dirimu untuk Allah dan mintalah untuk didekatkan dengan Allah, dan didekatkan dengan ayah dan teman-temanmu yang sholih di dalam Jannah. Jikalau kamu telah diberi syahadah maka berilah aku syafaat karena syafaatmu akan sampai kepadaku. Dan sesungguhnya orang yang mati syahid itu dapat memberi syafaat 70 keluarganya dan 70 tetangganya.” Kemudian ibuku mendekapku, lalu ia menengadahkan mukanya ke langit sembari berdoa, “Ya Ilahy, Tuanku, Pelindungku ! Ini adalah anakku, buah hatiku, penyejuk kalbuku, ia telah aku persembahkan untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya”.

Aku (Abu Qudamah) berkata, “Ketika mendengar perkataan anak itu, aku menangis dengan tangisan yang keras karena melihat kebaikannya, masa remajanya yang indah, dan kasih sayang hati ibunya, serta kagum akan kesabaran ibunya.

Anak itu berkata, “ Wahai paman ! Mengapa engkau menangis ? Jika yang menyebabkan paman menangis itu karena  aku masih kecil, maka sesungguhnya Allah akan mengadzab anak yang lebih kecil dariku jika ia durhaka”.

Aku berkata, “Aku menangis bukankarena melihatmu masih kecil, akan tetapi aku menangis karena melihat hati ibumu yang mulia, dan bagaimana perasaannya setelah kamu syahid nanti”.

Akhirnya, kamipun melanjutkan perjalanan sampai malam hari.

Pada pagi harinya, kami berjalan kembali dan kami melihat anak itu tidak henti-hentinya berdzikir kepada Allah. Dalam pandanganku, ternya dia dia lebih hebat dalam mengendarai kuda daripada kami, jika kami berhenti maka ia selalu melayani kami. Ketika dalam perjalanan ia selalu menguatkan azamnya, meningkatkan semangatnya, selalu membersihkan niatnya dan selalu menampakkan tanda senang (tidak manja kepada kami).

Kami tidak berhenti sampai kami sampai di negri orang-orang musyrik pada waktu tenggelamnya matahari, lalu kami semua turun dan anak itu langsung memasakkan makanan untuk kami buat buka puasa karena kami semua shiyam.

Setelah membereskan pekerjaannya, ia merasakan kantuk yang sangat, akhirnya dia tidur lama sekali. Ditengah-tengah tidurnya aku melihat ia sedang tertawa simpul Lalu aku berkata kepada teman-temanku, “ Apakah kalian tidak melihatnya terseyum dalam tidurnya ? ”.

Maka ketika bangun, aku bertanya kepadanya, “Wahai anakku ! Aku tadi melihatmu tersenyum ketika kamu sedang tidur”.

Anak itu berkata, “Aku tadi mimpi dan melihat sesuatu yang mengherankanku sehingga aku tersenyum.”

Aku bertanya lagi, “ Apa itu ?”

“Aku berasa berada di sebuah taman hijau yang indah, ketika aku sedang berjalan aku melihat istana yang terbuat dari perak, atapnya  dari intan dan permata, pintu-pintunya terbuat dari emas dan para bidadari menyibakkan satir dan aku dapat melihat wajahnya bagaikan rembulan.”

Ketika melihatku bidadari itu berkata, “Marhaban (selamat datang), maka aku pun ingin memegang tangan salah satu diantara mereka.”

Mereka berkata kepadaku, “Jangan tergesa-gesa aku bukanlah untukmu.”

Aku mendengar sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “ Ini adalah suami Al Mardhiyyah.”

Mereka berkata, “Majulah – Semoga Allah merahmatimu – !”. Maka akupun maju ke depan, maka ketika itu aku melihat Istana yang diatasnya ada sebuah kamar yang terbuat dari emas yang berwarna merah, di dalamnya terdapat dipan dari permadani hijau, tiangnya dari perak, dan di atasnya ada seorang bidadari yang mukanya seperti matahari. Jikalau Allah tidak meneguhkan penglihatanku sunguh aku akan buta dan akalku akan lenyap (gila) karena melihat indahnya kamar dan cantiknya wajah bidadari itu.”

Ketika bidadari itu melihatku ia berkata, “Marhaban, ahlan wa sahlan wahai kekasih Allah, engkau adalah untukku (calon suamiku) dan aku adalah untukmu (calon istrimu).” Maka pada saat itu aku ingin memeluknya tetapi ia berkata, “Sabar, sebentar lagi, jangan tergesa-gesa duhai kekasihku, sesungguhnya waktu yang dijanjikan bertemu antara aku dan kamu adalah besok setelah shalat dhuhur, maka bergembiralah.”

Abu Qudamah berkata, “Aku katakan pada anak itu, “ Sungguh kamu bermimpi baik dan kebaikan itu akan terjadi.” Maka sepanjang malam kamipun terkagum-kagum dengan mimpi anak itu.

Ketika pagi hari tiba kami bergegas memacu kuda kami. Maka ada seorang penyeru yang memanggil kami, “ Wahai Kuda Allah, melajulah dan bergembiralan dengan Jannah ! Berangkatlah berperang baik dengan perasaan ringan maupun berat, dan berjihadlah !”. Maka dalam waktu sekejap saja ternyata tentara kafir – semoga Allah menghinakan mereka- telah menghadang kami, dan mereka menyebar seperti belalang yang bertebaran. Maka orang yang pertama kali menyerang musuh dari kami adalah anak itu. Ia yang membelah pasukan kafir dan memporak-porandakan barisan mereka dan menceburkan diri ke tengah-tengah pasukan kafir. Iapun telah membunuh banyak tentara musuh dan membunuh pula pahlawan-pahlawannya.

Ketika aku melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku menarik tali kekang kudanya sembari mengingatkan, “Wahai anakku ! Mundurlah, karena kamu masih kecil dan tidak mengerti tipu daya perang !”.

Ia malah menjawab, “Wahai paman! Apakah kamu belum pernah mendengar firman Allah (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ! jikalau kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kamu lari ke belakang.” (QS. Al-Anfal : 15) Apakah kamu ingin aku masuk ke dalam neraka ?.”

Disela-sela anak itu berbicara kepadaku, tiba-tiba orang-orang musyrik menyerang kami dengan serempak. Mereka bergerak diantara aku dan anak itu, dan mereka menghalangiku dari anak itu, sementara para mujahidin telah sibuk dengan diri masing-masing.

Dalam peperangan, banyak mujahidin yang syahid. Maka ketika peperangan sudah selesai, ternyata yang terbunuh sangat banyak dan tidak dapat terhitung. Maka aku berjalan menunggang kuda untuk meneliti yang syahid, sementara darah mengalir membasahi bumi . Muka para syuhada tidak dapat dikenali dikarenakan banyaknya debu yang menempel dan darah yang mengalir melumuri tubuh mereka. Disela-sela aku berjalan diantara yang terbunuh, ketika itu aku melihat anak tersebut berada di bawah tapal kuda yang telah tertumpuki debu dan dia sedang berlumuran darah.

Dia berkata, “Wahai kaum muslimin ! Demi Allah datangkanlah kepadaku paman Abu Qudamah”. Maka aku menghampirinya. Ketika aku mendengar rintihannya, aku tidak dapat mengenali wajah karena berlumuran darah, dipenuhi debu dan terinjak-injak oleh binatang.

Aku berkata kepadanya, “Aku adalah Abu Qudamah.”

Ia menjawab, “Wahai paman ! Sungguh mimpiku benar, demi Rob Pemilik  Ka’bah aku adalah anak pemilik ikalan rambut itu”. Ketika kejadian itu, aku sangat gelisah dan aku menciuminya diantara kedua matanya dan aku usap debu dan darah yang menempel di mukanya yang tampan.

Aku katakan kepadanya, “Wahai anakku ! Jangan kau lupakan pamanmu Abu Qudamah dalam syafaatmu di Jannah kelak.”

Ia menjawab, “Orang sepertimu tak mungkin akan dapat terlupakan. Janganlah kau usap wajahku dengan pakaianmu, sungguh pakaianku lebih berhak untuk mengusap daripada pakaianmu. Biarlah engkau usap dengan pakaianku biar ia berjumpa dengan Allah Ta’ala dengan debu dan darahku. Paman, sesunguhnya para bidadari yang telah aku ceritakan kepadamu telah berdiri di atas kepalaku menunggu keluarnya ruhku. Dia (bidadari) mengatakan kepadaku, “ Segeralah keluar karena aku sudah sangat rindu ingin berjumpa denganmu”. Wahai paman, jikalau engkau dapat kembali dengan selamat maka bawalah pakaianku yang  bersimbah darah kepada ibuku yang sedang dirundung duka dan kesedihan, dan sampaikan salamku kepadanya agar dia tahu bahwa aku tidak menyia-nyiakan wasiatnya, dan aku tidak menjadi pengecut ketika bertemu orang-orang musyrik. Katakanlah kepadanya bahwa hadiah yang telah ia persembahkan untuk Allah telah diterima-Nya. Wahai paman, aku juga mempunyai seorang adik perempuan yang umurnya baru 10 tahun, setiap aku masuk rumah ia selalu menyambutku dan menyalamiku, ketika aku keluar pergi, ia menitipkan pesan kepadaku , “Kak, Demi Allah jangan melalaikan kami” maka jika engkau berjumpa dengannya sampaikan salamku kepadanya, dan katakana, “Kakakmu memesankan kepadamu, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat”,

Kemudian ia (anak ini) tersenyum sambil mengucapkan ASYHADU ANLÂ ILÂHA ILLALLÂH (Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah) tiada sekutu bagi-Nya, dan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Ini adalah yang telah Allah dan Rosul-Nya janjikan kepada kita dan benarlah janji Allah dan Rosul-Nya. Lalu ruhnya keluar. Maka kami mengafani dia dengan pakaiannya –semoga Alloh meridloinya -.

Ketika kami pulang dari peperangan, dan memasuki daerah Ar-Riqqah, tiada  keinginan yang paling kuat dalam benakku kecuali mendatangi rumah ibu anak itu. Aku mendapati ada seorang perempuan yang mirip mukanya dalam kecantikan dan kebagusannya, ia sedang berdiri di depan pintu rumah, dan ia tanya setiap orang yang lewat di depannya, “Wahai paman, dari manakah engkau?”

“Dari berperang” jawab orang yang ditanya.

Ia bertanya lagi, “Apakah kakakku pulang bersama kalian ?”

“Tidak tau” jawab orang itu.

Ketika aku mendengarnya, aku mendatanginya dan dia bertanya kepadaku, “Wahai paman ! Dari manakah engkau ?”

“Dari berperang” jawabku, kemudian adik itu menangis dan berkata, “Aku tak peduli apakah mereka pulang bersama kakakku, sungguh aku telah mendapatkan pelajaran.” Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai anak perempuan ! Katakanlah kepada pemilik rumah ini bahwa Abu Qudamah ada di depan pintu.”

Maka keluarlah perempuan (pemilik rumah) ketika mendengar suaraku. Maka berubahlah roman mukanya. Aku salami dia dan diapun menjawab salamku. Dia bertanya, “Apakah kedatanganmu membawa kabar gembira ataukah kabar duka ?”

Aku balik bertanya, “Terangkanlah kepadaku maksud kabar gembira dan kabar sedih – semoga Allah merahmatimu – !”

Ia menjawab, “ Jikalau anakkku pulang bersamamu dalam keadaan selamat maka  itu kabar menyedihkan bagiku, dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti kamu membawa kabar gembira”

Aku katakan kepadanya , “Bergembiralah karena hadiahmu telah diterima Allah”. Maka ia menangis dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan pada hari kiamat kelak”. Aku tanyakan kepadanya, “Apa yang dilakukan oleh adiknya itu ?”. Jawab ibu itu, “Dialah yang telah berbincang-bincang denganmu tadi.” Maka anak itu mendekatiku, dan aku katakan kepadanya, “Kakakmu menitipkan salam buatmu dan dia mengatakan, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat ”. Maka berteriaklah anak itu dan jatuh pingsan. Lalu ibunya menggerak-gerakkannya setelah sesaat, ternyata anak itu telah meninggal. Sungguh aku sangat kagum sekali (atas kejadian itu). Kemudian aku serahkan pakaian yang dititipkan  anak itu kepada ibunya. Lalu aku tinggalkan ibu itu dengan perasaan sedih atas anak yang telah syahid dan adiknya yang ikut meninggal setelah mendengar kabar tentang kakaknya. Allahu Akbar !

sumber : http://www.oaseimani.com/pemilik-ikalan-rambut-tali-kekang-kuda.html
Share:

Kisah Zaid bin Haritsah, Tak Gentar Menghadapi 200 Ribu Pasukan Romawi

Hasil gambar untuk zaid bin haritsahBanyak sahabat menjalin kedekatan dengan Nabi shallallahu’alahi wa sallam bukan karena faktor nasab, melainkan atas prestasi yang mereka torehkan dalam Islam. Misalnya, Umar ibnu Khattab atas inisiatifnya yang brilian, Abu Dzar atas keteguhannya, Abdurrahman bin Auf  atas pengorbanannya dan Zaid bin Haritsah atas dedikasinya.

Kisah yang akan kita angkat kali ini dari sahabat Zaid bin Haritsah. Beliu memang tidak ada ikatan darah dengan Nabi shallallahu’alahi wa sallam, namun dia hanya seorang anak angkat sebelum hal itu dilarang oleh syariat.

Orangtua Zaid yang sebenarnya yaitu Su’da dan Haritsah bin Syarahil. Konon, Su’da sudah lama ingin mengunjungi kerabatnya di kampung Bani Ma’an. Tapi Haritsah tak bisa mengantarnya, kebetulan ada rombongan pedagang yang melewati kempung bani Ma’an, sehingga ayah Zaid bisa menitipkan istri dan putarenya tersebut.

Ketika Zaid berada di daerah asal ibundanya, ada gerombolan perampok yang menyerbu dengan tiba-tiba, penduduk kampung bani Ma’an tidak berdaya menghadapinya. Harta mereka dirampas, ternak mereka ambil, bahkan sampai anak-anak mereka culik guna untuk dijual dijadikan budak. Malang bagi Zaid, dia dibawa oleh para perampok tadi.
Pertemuan Dengan Rasulullah

Penculik itu membawa Zaid ke pasar Ukaz di Makkah, yaitu Hakim bin Hizam yang membeli Zaid sampai akhirnya Zaid di hadiahkan kepada Khadijah binti Khuwailid. Benar, dialah istri dari baginda Nabi Muhammad shallallahu’alahi wa sallam. Pada akhirnya Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau Rasulullah.

Nabi Muhammad memerdekakan Zaid, tak hanya itu saja dia juga menjadi anak angkat Rasulullah. Kebaikan dari Rasulullah dan Khadijah membuat Zaid nyaman, karena beliau tidak membedakan antara anak angkat maupun anak kandung.

Zaid dewasa dalam didikan Rasulullah, saat Nabi mulai mendakwahkan Islam, Zaid merupakan angkatan pertama sahabat yang masuk Islam atau biasa disebut dengan assabiqunalawwalun. Saat orang-orang kafir memusuhi Nabi, Zaid dan sahabat-sahabat yang lain melindunginya. Di saat Nabi memerintahkan sesuatu kepada Zaid, beliau pasti mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, sampai-sampai baginda Rasulullah bersabda, “Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat.’’ (HR. Ahmad)
Pernikahan Zaid bin Haritsah

Ketika Zaid hijrah ke Madinah, Rasulullah meminangkan Zainab binti Jahsy untuk Zaid. Semula Zainab dan saudara laki-lakinya tidak menyukai perjodohan itu karena menurut mereka bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan dihormati menikah dengan mantan budak? Lalu Rasulullah menasehati mereka berdua dan menceritakan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga Allah juga menurunkan ayat yang bunyinya :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Pada akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Melalui pernikahan itu Rasulullah ingin menghapus tradisi jahiliyah yang membanggakan status sosial, suku dan keturunan. Beliau menekankan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali ketaqwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Akan tetapi pernikahan ini tidak bertahan lama karena perbedaan mereka yang begitu jauh, Rasulullah sudah menasehati Zaid untuk bersabar, namun pada akhirnya tetap saja pernikahan tersebut kandas.

Setelah Zainab melewati masa iddahnya, Allah memerintahkan Rasulullah menikahinya. Salah satu hikmahnya adalah menghapus tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliyah. Juga untuk meluruskan pemahan keliru tentang anak angkat. Melalui pernikahan itu Allah menjelaskan bahwa ada perbedaan antara anak angkat dan anak kandung. Sedekat apapun anak orangtua dengan anak angkatnya, hukumnya dalam Islam tidaklah sama dengan anak kandung.
Jiwa Kepemimpinan Zaid bin Haritsah

Zaid yang merupakan satu-satunya sahabat yang namanya di sebutkan dalam Al-Qur’an dan bukan dengan kata ganti ini memiliki kelebihan dalam hal kepemimpinan. Ia adalah sahabat yang pandai mengatur strategi perang hingga selalu meraih kemenangan. Sikap itulah yang akhirnya membuat Nabi Muhammad mempercayakan misi-misi penting kepadanya.

Aisyah menceritakan bahwa setiap kali kali Zaid pulang dari sarriyah, tempat pertama yang beliau datangi adalah rumah Nabi. Rasulullah pun langsung memeluknya dan menanyakan kabarnya. Alhamdulillah, berita yang selalu Zaid bawa adalah tentang kemenangan yang Allah berikan kepada pasukannya.

Zaid adalah prajurit yang hebat, hingga Aisyah pernah juga mengatakan,”Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi menjadi pemimpinya. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia akan diangkat sebagai khalifah.”

Pada tahun 8 M orang Romawi membunuh utusan Rasulullah yang bernama Al Harits bin Umair. Rasulullah tidak terima akan hal itu, sehingga beliau menyiapkan pasukan Islam yang akan diberangkatkan menuju perang Mut’ah. Perang ini salah satu perang paling berat karena jumlah pasukan Romawi 200 ribu pasukan sedangkan pasukan muslim hanya 3 ribu pasukan. Melihat hal tersebut lantas tidak membuat pasukan muslim mundur dan bergeming, apalagi peperangan tersebut dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.

Ketika Perang Mut’ah berlangsung, Rasulullah yang duduk di mimbar tiba-tiba mata beliau berkaca-kaca. Tergambar di mata beliau begitu sengitnya pertempuran tersebut, sehingga beliau menceritakan bahwa Zaid dengan gagah berani maju ke tengah pasukan musuh tanpa gentar sedikitpun. Satu tangannya mengayunkan pedangnya ke kiri dan ke kanan, sementara yang lain memegang bendera Islam.

Pasukan Romawi yang melihat Zaid lengah dalam pertempuran menikamnya dengan tombak dari belakang hingga akhirnya meregang nyawa sambil memegang bendera Islam. Rasulullah kemudian melakukan sholat  ghaib untuk Zaid. Beliau juga berpesan kepada kaum muslim yang lain untuk beristigfar atas berpulangnya Zaid kepada Allah.

Baca Juga: Kisah Zubbair Bin Awwam, Sang Pembela Rasulullah

Semoga kisah Zaid bin Haritsah ini mampu menjadi pelecut hati kita untuk terus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Aamiin

sumber:BERANIDAKWAH.COM | 
Share:

JULAIBIB RADHIYALLAHU ANHU (IA MEMILIH BERJIHAD DAN MERINDUKAN SYAHID)

“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai kepadanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sikap ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah menjadi keputusan Rasulullah. Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya, kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung banyak hikmah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang, kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar.

Hasil gambar untuk tsauban sahabat rasulullahSikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya Nubuwwah. Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36].

Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini. Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib Radhiyallahu anhu. Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. Sahabat ini termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ketakwaan yang ada pada dirinya.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”.

Mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sahabat tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. Satu kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya.

“Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu”.
Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai Rasulullah! Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan istriku”.

Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib Radhiyallahu anhu ?! Bagaimana martabat keluarganya?!
Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang putrimu,” serta merta istrinya menjawab: “Iya, aku sangat setuju”.
“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami.
“Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan.
“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ,” tandasnya.
Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ? Tidak! Aku tidak setuju. Jangan engkau nikahkan dengannya!”

Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib Radhiyallahu anhu yang tidak memiliki apa-apa. Demikianlah, keadaan sebagian orang tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada agamanya.
Percakapan itu ternyata terdengan oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah?
Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terdengarlah suara dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?”

Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi pinangan itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk Jualaibib,
Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tidakah kalian mendengar firman Allah

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. – al-Ahzâb/33 ayat 36- Terimalah pinangan itu, karena ia tidak akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan Julaibib Radhiyallahu anhu !”
Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sesampai di hadapan Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu. Nikahkanlah putriku dengan Julaibib Radhiyallahu anhu “.

Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wanita shalihah ini tidak melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama. Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Itulah sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan pribadinya. Dia yakin, keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan, ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu . Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.

Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”

Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiyallahu anhu . Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Sesunguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Jualaibib. Carilah ia!”

Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu . Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib Radhiyallahu anhu , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampiri jasadnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di sampingnya dan bersabda: ” Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullan n mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya.

Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib Radhiyallahu anhu di lengannya, sampai akhirnya ia di kuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu . Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu z , wanita itu menjadi seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”.

Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam.
Marâji’:
1. Shahih Muslim.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah.
3. Tafsir Ibnu Katsir.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber:https://almanhaj.or.id/3797-julaibib-radhiyallahu-anhu-ia-memilih-berjihad-dan-merindukan-syahid.html

Share:

Kisah Tsauban bin Bujdad (yang Mengabdi pada Rasulullah SAW)

Hasil gambar untuk tsauban sahabat rasulullahDan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
(Q.S. An-Nisa ; 69)

Diantara sahabat Rasulullah SAW, hanya seorang yang mendapat julukan Maula Rasul, dialah Tsauban. Seorang budak perang yang dulu mengabdi kepada seorang tuan yang terbunuh saat memerangi Nabi. Namun, dengan kebaikan Rasulullah SAW, Tsauban di bebaskan. Tsauban kini menjadi seorang yang bebas, merdeka. Meskipun demikian, Tsauban justru mengikat hatinya pada Rasulullah. Ia jatuh cinta pada keindahan akhlak Rasulullah SAW. Seluruh hidupnya dikhidmatkan untuk Nabi. Kecintaannya yang mendalam ini membuat dirinya tidak sanggup berpisah dari Sang Nabi. Kecintaannya inilah yang membuat namanya ditulis dalam beberapa riwayat kitab-kitab hadis.

Pernah suatu saat, ia datang menghadap nabi dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi dengan kesedihan yang mendalam. Melihat hal ini, Nabi bertanya kepadanya dengan lembut :
“Gerangan apakah yang membuatmu begitu sengsara, wahai Tsauban?”
Tsauban menjawab: “Aku sehat ya Rasulullah. Tak satu pun penyakit jasmani kukeluhkan. Tapi rindu di dada ini tak tertahankan. Bila aku memandang wajahmu, aku beroleh kebahagiaan. Tapi bila aku dijauhkan darimu, aku dihinggapi kesepian. Aku mencintaimu ya Rasul, lebih dari cintaku pada keluarga yang kutinggalkan. Meskipun berada di tengah mereka, engkau selalu tampak di pelupuk mata. Kadang-kadang berkecamuk rindu yang begitu menyiksa. Tapi bila aku menjumpaimu, tenang hati ini senantiasa.”

Tsauban tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat menahan tangisannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba meledak ia dalam tangisan, dan berderai air matanya.
Nabi menenangkannya:
“Hai Tsauban, mengapa engkau menangis sekarang ini ? bukankah kini, engkau sedang bersamaku?”
Tsauban menjawab lirih:
“Ya Rasul, terbayang olehku sekarang ini, perpisahanku denganmu. Bila datang kematianku, dan manakala maut menjemputmu. Terbayang olehku perpisahan denganmu. Bila di dunia ini saja aku sudah menderita, bagaimana bila kelak dipisahkan nanti. Engkau berada di tempat yang mulia, sedangkan aku terpuruk di lembah nista. Engkau bergabung dengan para nabi, sedangkan aku dihimpun di barisan pelaku keji.”

Nabi memandang Tsauban dengan tatapan kasih. Beliau mendengar rintihan jiwa sahabat yang mencintainya. Tapi nabi tak berucap sepatah kata. Perihal ikhwal hamba di akhirat adalah perkara yang hanya Tuhan yang mengetahuinya. Kedua manusia ini, larut dalam rindu tanpa kata. Lalu turunlah firman Allah yang menentramkan hati ini:
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
“Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” QS. An-Nisaa’ [4]: 69-70)

Turunnya surah di atas disebut sebagai firman Allah yang turun berkenaan dengan Tsauban. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
“Demi Allah! Keimanan seorang Muslim tidak akan menjadi sempurna sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, ayahnya, ibunya, istrinya, anaknya dan dari seluruh manusia lainnya.”

Diriwayatkan bahwa di saat Rasulullah SAW menghembuskan nafasnya yang terakhir, Tsauban sedang berada bersama seseorang yang juga sangat cinta kepada Rasulullah di sebuah kebun. Ketika berita duka itu sampai ke telinga Tsauban, ia tidak mampu membendung rasa dukanya. Sedemikian berat kesedihannya sehingga dengan penuh keseriusan ia menyampaikan harapan dalam doanya kepada Allah SWT:
“Aduhai Tuhan Pemilik semua Sifat Maha Sempurna, butakanlah mataku ini agar aku tidak menyaksikan apa pun setelah kepergian Nabiku, hingga saat aku berjumpa dengan-Mu.”

Karena ketulusanya, Allah SWT mengabulkan doa itu; mata Tsauban langsung menjadi buta, sebelum ia beranjak dari tempatnya.

Kisah di atas menyiratkan akan ganjaran bagi orang yang memiliki kekaguman dan kecintaan akan sosok Nabi Muhammad SAW. Bahkan, kerinduannya untuk bertemu dengan sang pujaan, mengalahkan segalanya hingga kesehatannya menurun drastis. subhanallah
Semoga kisah ini menggugah hati kita agar bertambah kecintaan kita kepada rasul muhammad SAW…
allahumma salli ala muhammad wa aali muhammad

Share:

Pusat Kajian Hadits di Masa Para Sahabat

Hasil gambar untuk salman al farisiSetelah Rasulullah ﷺ wafat, para sahabat berhasil menyebarkan estafet amanah Nabi. Islam masuk ke berbagai negeri. Kekuasaan Islam meluas. Syam dan Irak dikuasai sepenuhnya pada tahun 17 H. Mesir dikuasai tahun 20 H. Persia tahun 21 H. Perluasan terus terjadi hingga ke wilayah Samarkand tahun 56 H. Dan Andalusia tahun 93 H.

Perluasan ini berdampak pada semakin banyaknya orang yang masuk Islam dan haus akan pengetahuan dan hukum-hukumnya. Hal ini mendorong para pemimpin mengutus sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ untuk mengajari mereka hukum-hukum agama. Para sahabat pun berangkat ke berbagai wilayah, hingga di antara mereka ada yang menetap di sana hingga akhir hayat.

Dar al-Hadits (Pusat Kajian Hadits) di Madinah

Madinah adalah tempat tujuan hijrah Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Di tempat ini beliau menyampaikan banyak hadits. Karena mayoritas syariat Islam diturunkan di sana. Para sahabat Muhajirin merasa nyaman tinggal di Madinah. Dan mereka enggan kembali ke Mekah.

Sepeninggal Rasulullah ﷺ, Madinah tetap menjadi ibu kota umat Islam dan pusat kekhalifahan. Para sahabat senior tetap tinggal di kota ini. Mereka tak pernah meninggalkan Madinah kecuali untuk keperluan yang sangat penting. Seperti urusan kepemerintahan, ekonomi, militer, ataupun pendidikan.

Para sahabat yang masyhur dan mumpuni di bidang hadits dan fikih di Madinah cukup banyak. Di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum ia pindah ke Kufah), Abu Hurairah, Ummul Mukmini Aisyah, Abdullah bin Umar, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Tsabit, dll.

Zaid bin Tsabit terkenal dengan pandangan yang mendalam terhadap Alquran dan sunnah. Bahkan, Umar menyisakan beberapa perkara untuk dikonsultasikan kepada Zaid. Yaitu pada saat Umar menemui kendala pada beberapa ketetapan hukum. Zaid pun menjadi salah seorang yang utama dalam memberikan putusan hukum dan fatwa. Dia juga ahli di bidang qira-ah dan fara-idh di zaman Umar, Utsman, Ali, hingga akhirnya wafat pada tahun 45 H, di masa kekhalifahan Muawiyah.

Melalui para sahabat yang tinggal di Madinah ini, lahir tokoh-tokoh tabi’in seperti: Said al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair bin al-Awwam, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Nafi’ maula Ibnu Umar, Abban bin Utsman bin Affan, dan masih banyak lagi para penghafal hadits yang senantiasa menjadi sumber rujukan sunnah dan fatwa-fatwa yang dibutuhkan.

Dar al-Hadits (Pusat Kajian Hadits) di Mekah

Ketika Nabi ﷺ berhasil menundukkan Kota Mekah (Fathu Mekah), beliau menugaskan Muadz bin Jabal untuk tinggal di sana guna mengajarkan hukum-hukum Islam kepada penduduknya. Menjelaskan halal dan haram. Memberikan pemahaman ilmu agama dan Alquran pada mereka. Muadz adalah salah seorang pemuda Anshar yang memiliki keutamaan, kesantunan, keilmuan, dan kelapangan. Ia selalu turut serta dalam peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Abbas, Umar bin al-Khattab, dan Ibnu Umar, banyak meriwayatkan darinya.

Setelah Muadz, estafet dakwah di Mekah dilanjutkan oleh Abdullah bin Abbas yang telah kembali dari Bashrah. Sepupu Nabi ﷺ ini menjadi rujukan utama di Mekah. Ia adalah gudang ilmu dan hafizh hadits. al-Hakim menyebutkan dalam Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, selain Ibnu Abbas, sahabat lainnya yang tinggal di Mekah adalah Abdullah bin Saib al-Makhzumi. Ia adalah ahli qiraah bagi penduduk Mekah. Kemudian ada Itab bin Usaid, Khalid bin Usaid, al-Hakam bin Abi al-Ash, Utsman bin Thalhah, dll.

Dari majelis para sahabat ini muncullah tokoh-tokoh utama tabi’in seperti: Mujahid bin Jabar, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha’ bin Rabah, dll.

Dar al-Hadits di Kufah

Kufah menjadi markas berkumpulnya tentara-tentara Islam. Karena itulah, para sahabat banyak yang pergi ke sana saat terjadi berbagai perluasan wilayah Islam. Banyak juga di antara mereka yang dimakamkan di sana. Di antarnya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Khabbab bin al-Art, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin al-Yaman, Nu’man bin Basyir, Abu Thufail, Abu Juhaifah, dll (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 191).

Yang menjadi tokoh utama keilmuan di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ia seorang ulama di kalangan sahabat dan cukup lama tinggal di sana. Melalui bimbingannya muncullah orang-orang hebat semisal Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani, Ubaidah bin Amr as-Salmani. Menurut asy-Sya’bi, Ubaidah dan Syuraih memiliki level yang sama. Kemudian ada Aswad bin Yazid an-Nakha-i dan Syuraih bin al-Harits al-Kindi –yang ditunjuk Umar sebagai hakim di Kufah-. Ada pula Ibrahim bin Yazid an-Nakha-i yang dikenal sebagai Faqih al-Iraq. Selanjutnya Said bin Jubair, Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi merupakan seorang yang sangat mendalam ilmunya di kalangan para tabi’in, para imam, dan huffazh (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 1-20).

Dar al-Hadits di Bashrah

Yang menjadi tokoh utama di sini adalah Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Abbas juga pernah tinggal di kota ini, karena menjabat gubernur di Bashrah. Selain dua orang sahabat senior ini, ada juga sahabat-sahabat yang lain. Seperti: Utbah bin Ghazwan, Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, Abdurrahman bin Samurah, Abdullah bin asy-Syakhir, Jariyah bin Qudamah, dll. (Ma’rifatu Ulumi al-Hadits, Hal: 191).

Di antara para tabi’in yang tinggal di Bashrah adalah Abu al-Aliyah Rafi’ bin Mahran ar-Rayahi. Hasan al-Bashri, yang berhasil berjumpa dengan 500 orang sahabat. Kemudian Muhammad bin Sirin, Abu asy-Sya’tsa’. Jabir bin Zaid, sahabat dari Abdullah bin Abbas. Qatadah bin Di’amah ad-Dawsi, Muthraf bin Abdullah bin asy-Syakhir, Abu Burdah bin Abu Musa, dan masih banyak nama-nama lainnya.

Dar al-Hadits di Syam

Ketika kaum muslimin berhasil memenangkan Syam, banyak sekali penduduknya yang memeluk Islam. Karena itulah, khalifah memberikan perhatian besar terhadap wilayah ini dengan mengirimkan sahabat-sahabat Rasulullah untuk membimbing mereka. Di antaranya adalah Muadz bin Jabal. Rasulullah ﷺ pernah mempercayakannya membina masyarakat Yaman dan Mekah. Dan kemudian Umar bin al-Khattab mengamanahinya membina penduduk Syam.

Ibnu Saad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat, dari Abu Muslim al-Khulani, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Himsha, ternyata di dalamnya terdapat sekitar 30 orang sahabat Rasul. Di antara mereka ada seorang pemuda yang matanya bercelak, gigi serinya putih. Dia diam tak banyak bicara. Jika orang-orang menemui kesulita, mereka datang bertanya padanya. Aku berkata, kepada salah seorang yang sedang duduk, ‘siapa orang itu’? Dia menjawab, ‘Dia adalah Muadz bin Jabal’.”

Sahabat lainnya yang juga dikenal memberikan pengajaran di wilayah ini adalah Ubadah bin Shamit. Ia sosok yang unggul dalam bidang Alquran dan sangat fakih. Kuat dalam membela agama Allah. Dan tidak peduli apa kata orang tetangnya dalam membela kebenaran itu.

Selain itu ada juga Abu Darda’ al-Anshari. Seorang sahabat yang fakih dan hafal banyak hadits. Ia diutus ke Syam bersama Muadz bin Jabal setelah Amirul Mukminin Umar menerima surat permintaan dari Yazid bin Muawiyah. “Penduduk Syam membutuhkan orang-orang yang dapat mengajarkan Alquran dan memberikan pemahaman yang baik tentang agama”, kata Yazid. Umar pun mengutus Muadz, Ubadah, dan Abu Darda sebagai respon dari permintaan Yazid.

Dan masih banyak sahabat lainnya seperti: Syarahbil bin Hasanah, al-Fadhl bin al-Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Malik al-Asy’ari, dll.

Di tangan mereka muncul para tabi’in masyhur seperti: Abu Idris al-Khulani, Qubaishah bin Dzubaib, Makhul bin Abu Muslim, Raja’ bin Haywah al-Kindi, dll.

Dar al-Hadits di Mesir

Pada tahun 20 H, Mesir menjadi wilayah kaum muslimin. Banyak penduduknya yang tertarik dengan agama fitrah ini. Di masa Muawiyah bin Abu Sufyan, ia menugaskan salah seorang sahabat yang utama Amr bin al-Ash untuk Mesir. Amr membawa serta putranya, seorang ahli ilmu di kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma.

Abdullah bin Amr adalah seorang pemuda yang giat beribadah. Ia juga termasuk sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Bahkan, ia memiliki keunggulan di bidang tulis-menulis. Dengan itu ia mencatat hadits-hadits yang disabdakan Rasulullah ﷺ. Setelah ayahnya wafat, Abdullah tetap menetap di Mesir.

Sahabat lainnya yang menyebarkan ilmu di Mesir adalah Uqbah bin Amir al-Juhani, Kharijah bin Hudzafah, Abdullah bin Saad bin Abi Sarah, Mahmiyah bin Juzu’, Abdullah bin al-Harits bin Juzu’, Abu Bashrah al-Ghifari, Abu Saad al-Khair, Muadz bin Anas-al-Juhani, dll. Muhammad bin Rabi’ al-Jaizi menyatakan lebih dari 140 orang sahabat yang tinggal di Mesir.

Dari pengajaran mereka, muncullah para tabi’in. Di antaranya Abu al-Khair Murtsad bin Abdullah al-Yazini, seorang mufti Mesir. Ia meriwayatkan banyak hadits dari Abu Ayyub al-Anshari. Kemudian Abu Bashrah al-Ghifari, dan Uqbah bin Amir al-Juhani, Yazid bin Abi Hubaib, dll.

Inilah gambaran sekilas mengenai perguruan-perguruan yang berperan besar dalam pengajaran ilmu-lmu keislaman dan penyebar hadits di berbagai wilayah perluasan Islam. Masa ini juga memberikan gambaran nyata pada kita, bagaimana para sahabat dan tabi’in dalam menyebarkan dan meriwayatkan hadits-hadits dari Nabi ﷺ.

Sumber:
– Zahw, Muhammad Abu. 2015. al-Hadits wa al-Muhaditsun, Terj: The History Of Hadith. Depok: Keira Publishing.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com


Read more http://kisahmuslim.com/5773-pusat-kajian-hadits-di-masa-para-sahabat.html
Share:

Kisah Sahabat: Salman Al-Farisi Radhiallahu ‘anhu

Hasil gambar untuk salman al farisiDari Abdullah bin Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata, “Salman al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata, ‘Aku seorang lelaki Persia dari Isfahan, warga suatu desa bernama Jai. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. 

Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian, aku seperti seorang budak saja.

Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.

Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.

Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?

Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan shalat mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’

Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’

Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.

Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syiria terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.

Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syiria.

Sesampainya aku di Syiria, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silahkan.’
Maka akupun tinggal bersamanya.

Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah 7 peti emas dan perak.

Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’

Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’
Lalu Aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak 7 peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ 

Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.

Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya taqdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakatpun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’

Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’

Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku. Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini taqdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (kota di Aljazair), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.

Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’

Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silahkan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’

Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silahkan tinggal bersamaku.’
Akupun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian taqdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan?dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda cincin kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang inipun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.

Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzha-limiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak biasa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.

Allah mengutus seorang RasulNya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,

Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, Lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’

Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’

Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silahkan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’

Selanjutnya aku menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat cincin yang disebutkan Si Fulan kepadaku.

Pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda cincin kenabian dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Geserlah kemari,’ maka akupun bergeser dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”

Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.

Setelah terkumpul Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, gunakan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’

Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di TanganNya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” [1]

PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:
    Di antara hasil/buah mentaati kedua orang tua adalah dicintai orang.
    Masuk penjara, cekal, rantai adalah cara musuh Islam menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama Allah.
    Jika gigih memperjuangkan keimanan maka urusan dunia terasa ringan.
    Berpegang pada keimanan lebih kokoh dari seluruh rayuan.
    Hendaknya seorang mukmin senantiasa siap mental menghadapi segala kemungkinan.
    Terkadang orang-orang jahat mengenakan pakaian/menampakkan diri sebagai orang baik-baik.
    Jalan mencapai ilmu tidak bisa ditempuh melainkan dengan senantiasa dekat dengan orang yang berilmu.
    Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah memberikan jalan keluar dari problematika hidupnya.
    Takaran keimanan seseorang adalah mencintai dan membenci karena Allah.
    Di antara akhlak terpuji para nabi adalah mau mendengarkan seseorang yang sedang berbicara dengan baik.
    Seorang pemimpin hendaknya senantiasa memantau kondisi bawahannya.
    Diperbolehkan membeli budak dari tawanan perang, menghadiahkan dan memerdekakannya.
    Saling tolong menolong adalah gambaran dari wujud hidup bermasyarakat.
________________
[1] HR. Ahmad, 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir (6/222); Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 4/75; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/323.

[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa Indonesia: “61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat”, pent. Pustaka Darul Haq, Jakarta]
Read more http://kisahmuslim.com/3371-kisah-sahabat-masuk-islamnya-salman-al-farisi-radhiallahu-anhu.html

Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages