Thoharoh secara bahasa artinya adalah bersih, lepas dari segala kotoran baik secara hissi (dilihat atau dirasakan) seperti najisnya air kencing dan lain-lain, maupun secara maknawi seperti bersih dari aib dan maksiat.
Sedangkan secara syar’i, thoharoh artinya menghilangkan apa saja yang bisa mencegah dari sholat berupa hadats ataupun najis dengan menggunakan air (atau lainnya), atau menghilangkan hukumnya dengan tanah.
Dalam syariat, thoharoh memiliki kedudukan yang sangat penting diantaranya adalah bahwa thoharoh adalah merupakan syarat sahnya sholat. Nabi shallallahu shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا تقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Tidak diterima sholat salah seorang diantara kalian apabila ia berhadats sampai dia berwudhu.” [HR.Bukhari no.135 dan Muslim no.225] Dalam hadits lain dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول
“Allah subhanahu wa ta'ala tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci dan tidak menerima shadaqah dari hasil penipuan (khianat).” (HR.Muslim no.224) Melaksanakan sholat dengan berthoharoh merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta'alaSelain itu Allah subhanahu wa ta'ala telah memuji orang-orang yang bersuci, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Sesungguhmya Allah subhanahu wa ta'ala mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” [Q.S Al-Baqarah: 222] Meremehkan masalah thoharoh bisa berakibat fatal dan merupakan salah satu sebab siksa kubur.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati 2 kubur, kemudian beliau bersabda,
إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول
“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa, dan mereka tidak disiksa karena sebab yang besar (menurut pandangan manusia), adapun salah satunya (disiksa) karena dia tidak menjaga diri dari air kencing.” [HR. Bukhari no.216 dan Muslim no.292]
Oleh karena sebab inilah menjadi sangat penting bagi seorang muslim untuk mempelajari bagaimana cara berthoharoh yang benar, agar seorang muslim ketika beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam keadaan yang sempurna, sehingga pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala terealisasi dengan baik.
Berikut ini kami persembahkan wahai saudaraku muslim, beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam berthoharoh (bersuci), mudah-mudahan kita bisa meninggalkan kesalahan-kesalahan ini, dan bisa menasehati orang-orang yang terjatuh dalam kesalahan-kesalahan tersebut, agar kita juga bisa meraih pahala dengan menunjukkan orang lain kepada kebaikan.
Melafadzkan niat ketika hendak berwudhu
Niat merupakan syarat sahnya wudhu. Niat adalah kesungguhan dan kesengajaan hati untuk melakukan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan RasulNya.
Niat tempatnya adalah di hati, adapun melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri teladan kita 'alaihi wa sallam. Niat munculnya dari dalam hati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, untuk mengangkat hadats atau yang semisalnya, inilah niat.
Tidak pernah Rasulullah di shallallahu 'alaihi wa sallam wudhunya mengucapkan: “Nawaitul wudhu lirof’il hadats...(Aku berniat wudhu untuk menghilangkan hadas...)” atau yang semisalnya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memulai berwudhu beliau membaca basmalah bukan dengan ucapan lainnya. Maka memulai wudhu dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan perintah beliau. Kalau sekiranya perkara tersebut baik, tentunya sudah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para sahabatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tempat niat adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan imam-imam kaum muslimin pada seluruh ibadah: thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain sebagainya
.” [Majmu’atur Rasail Kubro (1/234)].
Jika perkataan seseorang dengan lisannya berlainan dengan apa yang diniatkan di dalam hatinya, maka yang dianggap adalah apa yang diniatkan oleh hatinya, bukan yang diucapkannya.
Menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala di dalam WC
Hukum membaca Bismillah adalah wajib berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ,
توضؤوا باسم الله
“Berwudhulah dengan membaca Bismillah” [HR. Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Hibban]
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [Shahih HR.Ahmad (II/418) dan selainnya]
Maka barangsiapa berwudhu tanpa membaca basmalah karena lupa atau tidak tahu terhadap hukumnya maka wudhunya tetap sah. Barangsiapa meninggalkannya karena sengaja maka wudhunya batal, menurut salah satu pendapat dari dua pendapat para ulama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه لا
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dari jalan yang banyak yang saling menguatkan). Fatwa Lajnah Daimah (v/203-204, fatwa no.7757)].
Syaikh Muhammad bin Shohih al Utsaimin rahimahullah ditanya, “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi, bagaimana cara membaca basmalah?”
Beliau menjawab: “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi maka dia harus membaca basmalah di dalam hati bukan dengan lisannya karena kewajiban membaca basmalah dalam wudhu dan mandi tidak harus diucapkan dengan keras, wallahu a’lam.” [Fatawa Arkanil Islam no.130]
Meninggalkan istinsyaq dan istinsar
Meninggalkan istinsyaq dan istintsar. Istinsyaq adalah menghirup air lewat hidung sampai ke pangkal hidung, dan istintsar adalah mengeluarkan air yang dihirup tadi dari hidung. Sebagian kaum muslimin ketika bewudhu hanya memasukan jarinya yang basah ke dalam hidung, dan ini tentunya menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau memerintahkan untuk beristinsyaq dan beristintsar. Dalil tentang istinsyaq dan istintsar adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء ثم ليستنثر
“Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu hendaknya menjadikan air di dalam hidungnya (menghirupnya) kemudian hendaknya ia beristintsar (semburkanlah).” [HR. Bukhari no.161 dan Muslim no.237]
Dalam hadits Laqith bin Shabirah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما
“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung) kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” [HR.Abu Dawud no.142 dan At-Tirmidzi no.38]
Tidak membasuh sisi mukanya dengan sempurna
Membasuh wajah merupakan salah satu rukun wudhu, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian.” [QS.Al Maidah: 6] Batasan wajah yang harus dibasuh adalah antara tempat tumbuhnya rambut (di atas dahi/kening) sampai tempat tumbuhnya jenggot dan dagu, dan dari pinggir telinga sampai pinggir telinga yang lainnya, dan masuk pula sendi-sendi antara jenggot dan telinga.
Imam Bukhari dan Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Humran bin Aban radhiyallahu 'anhu bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu meminta air wudhu, lalu menyebutkan sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata: ”Kemudian membasuh wajahnya tiga kali.”
Tidak meyempurnakan membasuh kedua tangan sampai siku
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku.” [QS.Al Maidah :6] Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa lafazh “Ila (sampai)” adalah bermakna “ma’a (bersama)”.
Artinya adalah bahwa kedua siku termasuk bagian dari tangan yang harus dicuci, dan ini juga merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Maka batasan tangan yang harus dicuci adalah dari ujung-ujung jari tangan sampai kedua siku (bersama siku).
Hanya mengusap ujung kepala/ tengahnya saja
Para ulama bersepakat bahwa mengusap kepala termasuk diantara fardhunya wudhu, mereka hanya berselisih dalam hal bagian yang harus dibasuh, apakah seluruhnya ataukah sebagian saja.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) -Allahu a’lam- adalah mengusap seluruhnya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala,
وامسحوا برؤوسكم
“Dan usaplah kepalamu.” [QS.Al-Maidah : 6] Huruf ba’ dalam ayat ini adalah lil ilshaq (untuk melekatkan) jadi makna ayat tersebut “usaplah kepalamu” mencakup seluruh bagian kepala.
Hal yang lebih menguatkan pendapat ini adalah praktek wudhu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ternyata beliau mengusap seluruh kepalanya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim melalui sahabat Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu.
Mengusap kepala lebih dari sekali
Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu mengusap kepalanya hanya satu kali, sebagaimana yang telah tsabit dalam hadits ‘Ali radhiyallahu 'anhu tentang sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap kepalanya satu kali, kemudian ia berkata: “Siapa yang ingin melihat bersucinya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, seperti inilah cara beliau bersuci.” [Shahih HR.Abu Dawud dan An-Nasai]
Imam Abu Daud radhiyallahu 'anhu berkata, “Hadits-hadits yang shohih dari ‘Utsman radhiyallahu 'anhu seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali.” ([unan Abi Dawud no.108]
Tidak membasuh tumit dan tidak menyela-nyela jari-jemari tangan dan kaki
Tidak sempurna dalam membasuh anggota wudhu dan mengakibatkan ada sebagian anggota wudhu yang tidak terbasuh oleh air.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dari kami dalam satu perjalanan safarnya, beliau lalu menyusul kami sedang ketika itu kami terpaksa menunda waktu Ashar sampai menjelang akhir waktunya, maka kami mulai berwudhu dan membasuh kaki-kaki kami. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu melanjutkan, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan suara yang keras,
ويل للأعقاب من النار
“Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air ketika berwudhu) dari api neraka.”
Dan dari Khalid bin Mi’dan dari sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengenai menyela-nyela jari-jemari Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا توضأ فخلل بين أصابع يديك ورجليك
“Jika engkau berwudhu, maka sela-selalah jari jemari tangan dan kakimu.” [Shahih HR.At-Tirmidzi no. 39 dan selainnya].
Caranya adalah menyela-nyela jari-jemari tersebut dengan menggunakan jari kelingking tangan kiri dan dimulai dari bagian bawah jari-jemarinya.
Berdoa ketika membasuh anggota wudhu
Seperti perkataan sebagian orang ketika membasuh tangan kanannya: ”Allahumma A’thinii Kitaabii bi Yamiinii (Ya Allah berikanlah kepadaku catatan amalku pada hari kiamat dengan tangan kanan)”. Dan ketika membasuh wajahnya berkata: ”Allahumma Bayyidh Wajhii Yauma Tabyadhdhu Wujuh (Ya Allah putihkanlah (bersinar dan cerah) wajahku pada hari di mana wajah-wajah menjadi putih)” sampai akhir, mereka berdalil dengan hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu, didalamnya disebutkan bahwa Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Anas mendekatlah kepadaku, aku akan mengajarimu batasan-batasan wudhu, maka aku mendekat kepada beliau. Maka ketika beliau mencuci tangannya beliau membaca,
بسم الله والحمد لله ولا حول ولا قوة إلا بالله
“Bismillah wal hamdulillah wala haula wala quwata illa billah.” Imam Nawawi r berkata, ”Ini adalah doa yang tidak ada asal-usulnya.”
Imam Ibnu Shalah rahimahullah berkata, ”Tidak shahih hadits dalam masalah ini.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, ”Tidak dinukil dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengucapkan sesuatu dalam wudhunya selain bismillah, dan setiap hadits tentang dzikir (bacaan-bacaan) ketika wudhu maka itu adalah dusta dan sesuatu yang mengada-ada yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga beliau tidak pernah mengajarkannya kepada ummatnya. Dan tidak tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain bacaan bismillah di awal wudhu dan doa berikut ini di akhir wudhu,
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له .. وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ..اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين
Anggota-anggota Lajnah Daimah berkata, ”Tidak tsabit dari Nabi 'alaihi wa sallam bacaan-bacaan doa yang dibaca ketika wudhu, dan apa yang dibaca oleh orang-orang pada umumnya dari bacaan-bacaan ketika wudhu maka hal itu adalah bid’ah.”
Waswas dengan menambah jumlah cucian (mencuci anggota wudu) lebih dari tiga kali
Ini adalah waswas dari setan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang tsabit dalam Shohih Bukhari bahwa Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah membuang semua waswas dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolak waswas yang merupakan salah satu dari tipuan setan.
Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali dengan membasuh tiga kali-tiga kali
Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali jika dilakukan tiga kali-tiga kali, maksudnya membasuh masing-masing anggota wudhu sebanyak tiga kali. Ini adalah keyakinan yang salah. Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitabnya ‘Bab Wudhu Sekali-Sekali’ kemudian membawakan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu,
توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مرة مرة
“Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu sekali-sekali.” [HR. Bukhari no.157] Kemudian Imam Al Bukhari berkata lagi, ’Bab Wudhu Dua Kali-Dua Kali’, kemudian membawakan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dua kali-dua kali.” [HR.Bukhari no.158] Beliau juga berkata, ’Bab Wudhu Tiga Kali-Tiga Kali’, kemudian beliau membawakan hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu,
كان يغسل الأعضد ثلاثا ثلاث
“Adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh anggota wudhunya tiga kali-tiga kali.” [HR.Bukhari no.159].
Maka hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya berwudhu dengan basuhan sekali-sekali, dua kali-dua kali, dan tiga kal-tiga kali.
Berlebihan dalam memakai air
Ini adalah terlarang berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta'ala,
ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. [QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31] Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata,
كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل - أو كان يغتسل - بالصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد
“Dahulu Rasulullah ﷺ mandi dengan satu sha’ (empat mud) sampai lima mud, dan berwudhu dengan satu mud.” [HR.Bukhari no.201]. Satu mud sekitar dua genggam telapak tangan.
Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di awal Kitab Wudhu dalam kitab Shahihnya, ”Para ulama memakruhkan (membenci) perbuatan boros dalam berwudhu dan melebihi perbuatan Nabi 'alaihi wa sallam .”
Dan termasuk sikap boros adalah membuka kran air besar-besar ketika berwudhu, membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali, dll.
Dan semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad radhiyallahu 'anhu tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka beliau bersabda kepadanya,
“Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air”, maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”, beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya”. [HR. Ahmad]
Keyakinan tidak boleh mengeringkan anggota tubuh dengan handuk, sapu tangan, dan sejenisnya setelah bersuci
Pendapat yang benar adalah hukumnya boleh karena tidak ada hal yang melarangnya, kalaupun ada haditsnya seperti hadits Maemunah radhiyallahu 'anha yang membawakan handuk setelah mandi junub dan ditolak oleh Nabi 'alaihi wa sallam maka hadits tersebut masih mengandung banyak kemungkinan.
Bahkan dalam riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha
كان لرسول الله حرقة ينشف بها بعد الوضوء
“Rasulullah ﷺ mempunyai handuk yang biasa dipakai untuk menyeka sesudah wudhu.” [HR.Tirmidzi no.53, dan beliau melemahkannya, tapi imam Al Aini menyebutkan bahwa An Nasai meriwayatkan dalam kitab Al Kuna dengan sanad shahih. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih al Jamius Shaghir no 4830]
Tidak berwudhu lagi setelah tertidur pulas
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
العين وكاء السه فمن نام فليتوضأ
“Mata itu pengikat dubur, maka barangsiapa yang tidur hendaknya ia berwudhu.” [Hadits hasan HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah] Sebagian orang tertidur di masjid, kemudian apabila iqamat dikumandangkan dia dibangunkan oleh orang di sebelahnya lalu langsung bangkit shalat tanpa berwudhu lagi. Orang yang seperti ini wajib baginya untuk berwudhu, karena dia lelap dalam tidurnya, dan diduga kuat tidurnya penyebab hadats. Adapun kalau dia sekedar mengantuk dan tidur ringan sehingga masih mengetahui siapa yang ada di sekitarnya, maka tidak wajib baginya untuk berwudhu lagi.
Memulai membasuh anggota wudhu dari bagian kiri terebih dahulu
Ini juga merupakan kesalahan yang sering terjadi, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا لبستم وإذا توضأتم فابدأوا بأيامنكم
“Apabila kalian mengenakan pakaian dan apabila kalian berwudhu, maka mulailah dari bagian kanan anggota tubuh kalian.” [Shahih HR. Abu Dawud dan selainnya] Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyukai mendahulukan bagian kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.
Melakukan tayamum padahal ada air dan dia mampu menggunakannya
Ini adalah kesalahan yang sangat jelas, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا ٤٣
“Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci.” [QS. An Nisaa’: 43]
Maka ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa tayamum tidak diperbolehkan kalau air tersedia dan dia mampu menggunakannya.
Wallahu a’lam
Diambil dari buletin Syiar Tauhid
Diambil Dari Buletin Tauhid Masjid Al-Muhajrin Wal Anshar
https://buletin.tauhid.or.id/2018/12/koreksi-kesalahan-dalam-bersuci.html
✒ Editor : Admin Asy-Syamil.com
Sedangkan secara syar’i, thoharoh artinya menghilangkan apa saja yang bisa mencegah dari sholat berupa hadats ataupun najis dengan menggunakan air (atau lainnya), atau menghilangkan hukumnya dengan tanah.
Dalam syariat, thoharoh memiliki kedudukan yang sangat penting diantaranya adalah bahwa thoharoh adalah merupakan syarat sahnya sholat. Nabi shallallahu shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا تقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Tidak diterima sholat salah seorang diantara kalian apabila ia berhadats sampai dia berwudhu.” [HR.Bukhari no.135 dan Muslim no.225] Dalam hadits lain dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول
“Allah subhanahu wa ta'ala tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci dan tidak menerima shadaqah dari hasil penipuan (khianat).” (HR.Muslim no.224) Melaksanakan sholat dengan berthoharoh merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta'alaSelain itu Allah subhanahu wa ta'ala telah memuji orang-orang yang bersuci, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
“Sesungguhmya Allah subhanahu wa ta'ala mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” [Q.S Al-Baqarah: 222] Meremehkan masalah thoharoh bisa berakibat fatal dan merupakan salah satu sebab siksa kubur.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati 2 kubur, kemudian beliau bersabda,
إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول
“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa, dan mereka tidak disiksa karena sebab yang besar (menurut pandangan manusia), adapun salah satunya (disiksa) karena dia tidak menjaga diri dari air kencing.” [HR. Bukhari no.216 dan Muslim no.292]
Oleh karena sebab inilah menjadi sangat penting bagi seorang muslim untuk mempelajari bagaimana cara berthoharoh yang benar, agar seorang muslim ketika beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam keadaan yang sempurna, sehingga pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala terealisasi dengan baik.
Berikut ini kami persembahkan wahai saudaraku muslim, beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam berthoharoh (bersuci), mudah-mudahan kita bisa meninggalkan kesalahan-kesalahan ini, dan bisa menasehati orang-orang yang terjatuh dalam kesalahan-kesalahan tersebut, agar kita juga bisa meraih pahala dengan menunjukkan orang lain kepada kebaikan.
Melafadzkan niat ketika hendak berwudhu
Niat merupakan syarat sahnya wudhu. Niat adalah kesungguhan dan kesengajaan hati untuk melakukan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan RasulNya.
Niat tempatnya adalah di hati, adapun melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri teladan kita 'alaihi wa sallam. Niat munculnya dari dalam hati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, untuk mengangkat hadats atau yang semisalnya, inilah niat.
Tidak pernah Rasulullah di shallallahu 'alaihi wa sallam wudhunya mengucapkan: “Nawaitul wudhu lirof’il hadats...(Aku berniat wudhu untuk menghilangkan hadas...)” atau yang semisalnya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memulai berwudhu beliau membaca basmalah bukan dengan ucapan lainnya. Maka memulai wudhu dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan perintah beliau. Kalau sekiranya perkara tersebut baik, tentunya sudah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para sahabatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tempat niat adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan imam-imam kaum muslimin pada seluruh ibadah: thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain sebagainya
.” [Majmu’atur Rasail Kubro (1/234)].
Jika perkataan seseorang dengan lisannya berlainan dengan apa yang diniatkan di dalam hatinya, maka yang dianggap adalah apa yang diniatkan oleh hatinya, bukan yang diucapkannya.
Menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala di dalam WC
Hukum membaca Bismillah adalah wajib berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ,
توضؤوا باسم الله
“Berwudhulah dengan membaca Bismillah” [HR. Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Hibban]
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [Shahih HR.Ahmad (II/418) dan selainnya]
Maka barangsiapa berwudhu tanpa membaca basmalah karena lupa atau tidak tahu terhadap hukumnya maka wudhunya tetap sah. Barangsiapa meninggalkannya karena sengaja maka wudhunya batal, menurut salah satu pendapat dari dua pendapat para ulama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه لا
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dari jalan yang banyak yang saling menguatkan). Fatwa Lajnah Daimah (v/203-204, fatwa no.7757)].
Syaikh Muhammad bin Shohih al Utsaimin rahimahullah ditanya, “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi, bagaimana cara membaca basmalah?”
Beliau menjawab: “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi maka dia harus membaca basmalah di dalam hati bukan dengan lisannya karena kewajiban membaca basmalah dalam wudhu dan mandi tidak harus diucapkan dengan keras, wallahu a’lam.” [Fatawa Arkanil Islam no.130]
Meninggalkan istinsyaq dan istinsar
Meninggalkan istinsyaq dan istintsar. Istinsyaq adalah menghirup air lewat hidung sampai ke pangkal hidung, dan istintsar adalah mengeluarkan air yang dihirup tadi dari hidung. Sebagian kaum muslimin ketika bewudhu hanya memasukan jarinya yang basah ke dalam hidung, dan ini tentunya menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau memerintahkan untuk beristinsyaq dan beristintsar. Dalil tentang istinsyaq dan istintsar adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء ثم ليستنثر
“Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu hendaknya menjadikan air di dalam hidungnya (menghirupnya) kemudian hendaknya ia beristintsar (semburkanlah).” [HR. Bukhari no.161 dan Muslim no.237]
Dalam hadits Laqith bin Shabirah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما
“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung) kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” [HR.Abu Dawud no.142 dan At-Tirmidzi no.38]
Tidak membasuh sisi mukanya dengan sempurna
Membasuh wajah merupakan salah satu rukun wudhu, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian.” [QS.Al Maidah: 6] Batasan wajah yang harus dibasuh adalah antara tempat tumbuhnya rambut (di atas dahi/kening) sampai tempat tumbuhnya jenggot dan dagu, dan dari pinggir telinga sampai pinggir telinga yang lainnya, dan masuk pula sendi-sendi antara jenggot dan telinga.
Imam Bukhari dan Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Humran bin Aban radhiyallahu 'anhu bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu meminta air wudhu, lalu menyebutkan sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata: ”Kemudian membasuh wajahnya tiga kali.”
Tidak meyempurnakan membasuh kedua tangan sampai siku
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku.” [QS.Al Maidah :6] Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa lafazh “Ila (sampai)” adalah bermakna “ma’a (bersama)”.
Artinya adalah bahwa kedua siku termasuk bagian dari tangan yang harus dicuci, dan ini juga merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Maka batasan tangan yang harus dicuci adalah dari ujung-ujung jari tangan sampai kedua siku (bersama siku).
Hanya mengusap ujung kepala/ tengahnya saja
Para ulama bersepakat bahwa mengusap kepala termasuk diantara fardhunya wudhu, mereka hanya berselisih dalam hal bagian yang harus dibasuh, apakah seluruhnya ataukah sebagian saja.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) -Allahu a’lam- adalah mengusap seluruhnya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala,
وامسحوا برؤوسكم
“Dan usaplah kepalamu.” [QS.Al-Maidah : 6] Huruf ba’ dalam ayat ini adalah lil ilshaq (untuk melekatkan) jadi makna ayat tersebut “usaplah kepalamu” mencakup seluruh bagian kepala.
Hal yang lebih menguatkan pendapat ini adalah praktek wudhu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ternyata beliau mengusap seluruh kepalanya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim melalui sahabat Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu.
Mengusap kepala lebih dari sekali
Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu mengusap kepalanya hanya satu kali, sebagaimana yang telah tsabit dalam hadits ‘Ali radhiyallahu 'anhu tentang sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap kepalanya satu kali, kemudian ia berkata: “Siapa yang ingin melihat bersucinya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, seperti inilah cara beliau bersuci.” [Shahih HR.Abu Dawud dan An-Nasai]
Imam Abu Daud radhiyallahu 'anhu berkata, “Hadits-hadits yang shohih dari ‘Utsman radhiyallahu 'anhu seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali.” ([unan Abi Dawud no.108]
Tidak membasuh tumit dan tidak menyela-nyela jari-jemari tangan dan kaki
Tidak sempurna dalam membasuh anggota wudhu dan mengakibatkan ada sebagian anggota wudhu yang tidak terbasuh oleh air.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dari kami dalam satu perjalanan safarnya, beliau lalu menyusul kami sedang ketika itu kami terpaksa menunda waktu Ashar sampai menjelang akhir waktunya, maka kami mulai berwudhu dan membasuh kaki-kaki kami. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu melanjutkan, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan suara yang keras,
ويل للأعقاب من النار
“Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air ketika berwudhu) dari api neraka.”
Dan dari Khalid bin Mi’dan dari sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengenai menyela-nyela jari-jemari Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا توضأ فخلل بين أصابع يديك ورجليك
“Jika engkau berwudhu, maka sela-selalah jari jemari tangan dan kakimu.” [Shahih HR.At-Tirmidzi no. 39 dan selainnya].
Caranya adalah menyela-nyela jari-jemari tersebut dengan menggunakan jari kelingking tangan kiri dan dimulai dari bagian bawah jari-jemarinya.
Berdoa ketika membasuh anggota wudhu
Seperti perkataan sebagian orang ketika membasuh tangan kanannya: ”Allahumma A’thinii Kitaabii bi Yamiinii (Ya Allah berikanlah kepadaku catatan amalku pada hari kiamat dengan tangan kanan)”. Dan ketika membasuh wajahnya berkata: ”Allahumma Bayyidh Wajhii Yauma Tabyadhdhu Wujuh (Ya Allah putihkanlah (bersinar dan cerah) wajahku pada hari di mana wajah-wajah menjadi putih)” sampai akhir, mereka berdalil dengan hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu, didalamnya disebutkan bahwa Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Anas mendekatlah kepadaku, aku akan mengajarimu batasan-batasan wudhu, maka aku mendekat kepada beliau. Maka ketika beliau mencuci tangannya beliau membaca,
بسم الله والحمد لله ولا حول ولا قوة إلا بالله
“Bismillah wal hamdulillah wala haula wala quwata illa billah.” Imam Nawawi r berkata, ”Ini adalah doa yang tidak ada asal-usulnya.”
Imam Ibnu Shalah rahimahullah berkata, ”Tidak shahih hadits dalam masalah ini.”
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, ”Tidak dinukil dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengucapkan sesuatu dalam wudhunya selain bismillah, dan setiap hadits tentang dzikir (bacaan-bacaan) ketika wudhu maka itu adalah dusta dan sesuatu yang mengada-ada yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga beliau tidak pernah mengajarkannya kepada ummatnya. Dan tidak tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain bacaan bismillah di awal wudhu dan doa berikut ini di akhir wudhu,
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له .. وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ..اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين
Anggota-anggota Lajnah Daimah berkata, ”Tidak tsabit dari Nabi 'alaihi wa sallam bacaan-bacaan doa yang dibaca ketika wudhu, dan apa yang dibaca oleh orang-orang pada umumnya dari bacaan-bacaan ketika wudhu maka hal itu adalah bid’ah.”
Waswas dengan menambah jumlah cucian (mencuci anggota wudu) lebih dari tiga kali
Ini adalah waswas dari setan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang tsabit dalam Shohih Bukhari bahwa Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah membuang semua waswas dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolak waswas yang merupakan salah satu dari tipuan setan.
Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali dengan membasuh tiga kali-tiga kali
Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali jika dilakukan tiga kali-tiga kali, maksudnya membasuh masing-masing anggota wudhu sebanyak tiga kali. Ini adalah keyakinan yang salah. Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitabnya ‘Bab Wudhu Sekali-Sekali’ kemudian membawakan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu,
توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مرة مرة
“Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu sekali-sekali.” [HR. Bukhari no.157] Kemudian Imam Al Bukhari berkata lagi, ’Bab Wudhu Dua Kali-Dua Kali’, kemudian membawakan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dua kali-dua kali.” [HR.Bukhari no.158] Beliau juga berkata, ’Bab Wudhu Tiga Kali-Tiga Kali’, kemudian beliau membawakan hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu,
كان يغسل الأعضد ثلاثا ثلاث
“Adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh anggota wudhunya tiga kali-tiga kali.” [HR.Bukhari no.159].
Maka hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya berwudhu dengan basuhan sekali-sekali, dua kali-dua kali, dan tiga kal-tiga kali.
Berlebihan dalam memakai air
Ini adalah terlarang berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta'ala,
ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. [QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31] Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata,
كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل - أو كان يغتسل - بالصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد
“Dahulu Rasulullah ﷺ mandi dengan satu sha’ (empat mud) sampai lima mud, dan berwudhu dengan satu mud.” [HR.Bukhari no.201]. Satu mud sekitar dua genggam telapak tangan.
Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di awal Kitab Wudhu dalam kitab Shahihnya, ”Para ulama memakruhkan (membenci) perbuatan boros dalam berwudhu dan melebihi perbuatan Nabi 'alaihi wa sallam .”
Dan termasuk sikap boros adalah membuka kran air besar-besar ketika berwudhu, membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali, dll.
Dan semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad radhiyallahu 'anhu tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka beliau bersabda kepadanya,
“Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air”, maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”, beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya”. [HR. Ahmad]
Keyakinan tidak boleh mengeringkan anggota tubuh dengan handuk, sapu tangan, dan sejenisnya setelah bersuci
Pendapat yang benar adalah hukumnya boleh karena tidak ada hal yang melarangnya, kalaupun ada haditsnya seperti hadits Maemunah radhiyallahu 'anha yang membawakan handuk setelah mandi junub dan ditolak oleh Nabi 'alaihi wa sallam maka hadits tersebut masih mengandung banyak kemungkinan.
Bahkan dalam riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha
كان لرسول الله حرقة ينشف بها بعد الوضوء
“Rasulullah ﷺ mempunyai handuk yang biasa dipakai untuk menyeka sesudah wudhu.” [HR.Tirmidzi no.53, dan beliau melemahkannya, tapi imam Al Aini menyebutkan bahwa An Nasai meriwayatkan dalam kitab Al Kuna dengan sanad shahih. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih al Jamius Shaghir no 4830]
Tidak berwudhu lagi setelah tertidur pulas
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
العين وكاء السه فمن نام فليتوضأ
“Mata itu pengikat dubur, maka barangsiapa yang tidur hendaknya ia berwudhu.” [Hadits hasan HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah] Sebagian orang tertidur di masjid, kemudian apabila iqamat dikumandangkan dia dibangunkan oleh orang di sebelahnya lalu langsung bangkit shalat tanpa berwudhu lagi. Orang yang seperti ini wajib baginya untuk berwudhu, karena dia lelap dalam tidurnya, dan diduga kuat tidurnya penyebab hadats. Adapun kalau dia sekedar mengantuk dan tidur ringan sehingga masih mengetahui siapa yang ada di sekitarnya, maka tidak wajib baginya untuk berwudhu lagi.
Memulai membasuh anggota wudhu dari bagian kiri terebih dahulu
Ini juga merupakan kesalahan yang sering terjadi, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا لبستم وإذا توضأتم فابدأوا بأيامنكم
“Apabila kalian mengenakan pakaian dan apabila kalian berwudhu, maka mulailah dari bagian kanan anggota tubuh kalian.” [Shahih HR. Abu Dawud dan selainnya] Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyukai mendahulukan bagian kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.
Melakukan tayamum padahal ada air dan dia mampu menggunakannya
Ini adalah kesalahan yang sangat jelas, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا ٤٣
“Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci.” [QS. An Nisaa’: 43]
Maka ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa tayamum tidak diperbolehkan kalau air tersedia dan dia mampu menggunakannya.
Wallahu a’lam
Diambil dari buletin Syiar Tauhid
Diambil Dari Buletin Tauhid Masjid Al-Muhajrin Wal Anshar
https://buletin.tauhid.or.id/2018/12/koreksi-kesalahan-dalam-bersuci.html
✒ Editor : Admin Asy-Syamil.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar