Pengakuan seorang polisi- (Kisah nyata)

Hasil gambar untuk gambar gurun pasir yang indahSaya seorang polisi. Pekerjaan saya adalah menjaga keamanan, mengawasi lalu lintas, dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Semula pekerjaan saya sangat menyenangkan. Saya menjalani hidup dengan nyaman. Saya bekerja dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Akan tetapi, setelah itu, saya mengalami masa yang sangat berat. Saya diombang-ambing oleh kebingungan karena banyaknya waktu luang dan minimnya pengetahuan saya. Kemudian saya mulai merasa bosan dan tidak menemukan orang yang bisa membantu saya dalam urusan agama saya. Yang terjadi justru sebaliknya.

Saya bosan terus-menerus melihat kecelakaan dan orang-orang yang ditimpa musibah. Tetapi, ada satu hari istimewa. Saat kami bekerja, saya bersama seorang kawan berhenti di tepi jalan sambil berbincang kesana kemari. Tiba-tiba kami mendengar suara tabrakan yang keras. Kami langsung memutar pandangan mata kami, dan ternyata sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang datang dari arah berlawanan.

Kami bergegas menuju lokasi kecelakaan untuk menyelamatkan para korban. Sebuah kecelakaan yang nyaris tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dua orang di dalam mobil itu dalam kondisi kritis.
Kami mengeluarkan mereka dari mobil dan
meletakkan mereka dalam posisi membujur. Lalu kami bergegas mengeluarkan orang yang ada di mobil kedua. Ternyata dia sudah meninggal dunia.

Kami kembali kepada dua orang tersebut, ternyata mereka dalam kondisi sekarat. Kawan saya langsung menuntunnya membaca syahadat.
Ucapakanlah, “laa ilaha illallah. Laa ilaha illallah.”
Akan tetapi lidah mereka justru melantunkan nyanyian dengan keras.
Situasi itu membuat saya takut, sementara kawan saya justru sebaliknya. Dia mengetahui hal ihwal kematian. Dia kembali menuntun mereka membaca syahadat. Sementara saya berdiri termangu, tidak bergerak, diam seribu bahasa, dan mata saya melotot. Selama hidup, saya belum pernah melihat situasi seperti itu. Bahkan saya belum pernah melihat orang meninggal dalam kondisi seperti itu.

Kawan saya kembali mengulang-ulang kalimat syahadat kepada mereka. Tetapi mereka terus bernyanyi. Tidak ada gunanya sama sekali. Suara nyanyian itu mulai reda sedikit demi sedikit. Yang satu diam dan diikuti yang kedua. Tidak ada gerak sama sekali. Mereka sudah meninggal dunia. Kami membawa mereka ke mobil. Sementara kawan saya itu menunduk dan diam seribu bahasa. Kami menempuh perjalanan dengan diam membisu.

Keheningan itu lalu dipecahkan oleh suara kawanku yang bercerita kepadaku tentang hal-ihwal kematian dan su’ul khatimah (penutup yang buruk).
Hidup manusia itu ditutup dengan kebaikan atau keburukan. DAN PENUTUP INI MERUPAKAN PETUNJUK BAGI APA YANG PERNAH DIKERJAKAN OLEH MANUSIA SELAMA HIDUP DI DUNIA SECARA UMUM. Dia menyampaikan banyak kisah yang ditulis di dalam buku-buku islam dan bagaimana hidup seseorang ditutup dengan apa yang biasa
dilakukannya menurut keadaan lahir dan batinnya.

Kami menempuh perjalanan kerumah sakit dengan perbincangan tentang kematian dan orang-orang yang mati. Dan gambarannya menjadi lengkap ketika kami ingat bahwa kami mengangkut jenazah di dekat kami. Saya menjadi takut akan kematian.
Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian itu. Hari itu juga saya mengerjakan shalat dengan khusyu’.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya pun melupakan momentum tersebut secara bertahap.

Saya mulai kembali lagi kepada kebiasaan saya semula. Seolah-olah saya tidak pernah menyaksikan dua orang laki-laki itu dan apa yang telah mereka alami. Tetapi saya benar-benar menjadi tidak suka pada nyanyian dan tidak berminat lagi seperti sebelumnya. Barangkali hal itu terkait dengan pengalaman saya saat
mendengarkan nyanyian dari dua orang tersebut ketika mereka sekarat.

Anehnya, lebih dari setahun kemudian ada
kecelakaan yang sangat menakjubkan. Ada seseorang yang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan biasa. Tiba-tiba mobil itu mogok di salah satu terowongan yang mengarah ke kota. Orang itu pun turun dari mobilnya untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada salah satu rodanya. Dan ketika ia berdiri di belakang mobilnya untuk menurunkan roda cadangan, datanglah sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dan menabraknya dari belakang. Dia langsung jatuh dengan luka-luka yang sangat parah. Saya datang bersama kawan yang lain, bukan kawan saya yang pertama.

Kami membawanya di dalam mobil kami sambil menghubungi rumah sakit agar bersiap-siap menyambut kedatangannya.
Ia masih muda usia dan religius. Hal itu terlihat dari penampilannya. Ketika kami membawanya, kami mendengarnya bergumam. Namun karena kami buru-buru saat membawanya, maka kami tidak bisa membedakan dengan jelas apa yang dia ucapkan.
Akan tetapi, ketika kami meletakkannya di mobil dan berjalan, kami mendengar suaranya dengan jelas; dia membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu.

Subhanallah! Anda jangan mengatakan bahwa pemuda ini berlumuran darah dan tulang-tulangnya patah, tetapi tampaknya dia sudah di ambang kematian, namun dia terus membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Selama hidup, saya belum pernah mendengar bacaan semerdu itu. Saya sempat berkata didalam hati bahwa saya akan membimbingnya membaca syahadat seperti yang dilakukan kawan saya dulu. Apalagi saya merasa sudah punya pengalaman sebelumnya. Saya dan kawan saya mendengarkan suara yang merdu itu dengan seksama. Saya merasakan tubuh saya mulai gemetar dan juga tulang-tulang rusuk saya. Tiba-tiba suara itu terdiam. Saya menoleh kebelakang, ternyata dia mengangkat jari telunjuknya sambil membaca tasyahud (Syahadat), kemudian dia menundukan kepalanya.

Saya segera melompat kebelakang. Saya pegang tangannya, dan ternyata dia sudah meninggal dunia. Saya memandanginya cukup lama. Setitik airmata jatuh, tapi saya menyembunyikannya dari kawan saya. Saya menoleh kearahnya dan saya memberitahunya bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Kawan saya langsung menangis, sedangkan saya sesenggukan dan airmata saya tidak berhenti mengalir. Pemandangan kami di dalam mobil itu menjadi sangat menyentuh. Saat kami tiba di rumah sakit, kami menceritakan kisah orang itu kepada semua orang yang kami jumpai. Banyak yang tersentuh dengan peristiwa kematiannya dan airmata mereka bercucuran.
Ada salah satu dari mereka, yang setelah
mendengar cerita kami langsung pergi mencium keningnya. Semua orang bersikeras untuk tidak pergi dari tempat itu sehingga mereka mengetahui kapan jenazahnya akan dishalati agar mereka bisa ikut menyalatinya.

Keesokan harinya masjid itu penuh sesak oleh jama’ah yang ingin menyalatinya. Saya menshalatinya bersama orang-orang islam lainnya.
Setelah itu, kami membawanya kemakam. Kami memasukannya kedalam liang kubur yang sempit dan mereka menghadapkan wajahnya kearah kiblat.
Bismillahi wa’ala millati rasulillah. Kami mulai menguruknya dengan tanah.
Doakanlah agar saudaramu diberi keteguhan, karena dia sedang ditanya. Dia menyambut hari-hari akhirat yang pertama, sementara saya seakan-akan menyambut hari-hari dunia yang pertama.

Saya bertaubat dari apa yang pernah saya perbuat.
Mudah-mudahan Allah berkenan memaafkan dosa-dosa saya di masa lalu, meneguhkan hati saya selalu taat kepadanya, menutup hidup saya dalam kebaikan (khusnul khatimah) dan menjadikan kuburan saya dan kuburan setiap muslim sebagai bagian dari taman surga.
——————-
kisah nyata ini diambil dari az-Zaman Al-Qadim I,
Abdul Malik Al-Qasim.
(Copas) 
Share:

KISAH AHLI IBADAH YANG TELAH BERIBADAH SELAMA 60 TAHUN

Hasil gambar untuk gambar gurun pasir yang indah
عَنْ عَبْدِ اللهِ ؛ أَنَّ رَاهِبًا عَبَدَ اللَّهَ فِي صَوْمَعَة سِتِّينَ سَنَةً ، فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ فَنَزَلَتْ إلَى جَنْبِهِ ، فَنَزَلَ إلَيْهَا فَوَاقَعَهَا سِتَّ لَيَالٍ ، ثُمَّ أُسقِط فِي يَدِهِ ، ثُمَّ هَرَبَ ، فَأَتَى مَسْجِدًا فَأَوَى فِيهِ ، فَمَكَثَ ثَلاَثًا لاَ يَطْعَمُ شَيْئًا ، فَأُتِيَ بِرَغِيفٍ فَكَسَرَ نِصْفَهُ ، فَأَعْطَاهُ رَجُلاً عَنْ يَمِينِهِ ، وَأَعْطَى الآخَرَ عَنْ يَسَارِهِ ، ثُمَّ بُعِثَ إلَيْهِ مَلَكٌ فَقَبَضَ رُوحَهُ ، فَوُضِعَ عَمَلُ سِتِّينَ سَنَةً فِي كِفَّةٍ ، وَوُضِعَتِ السَّيِّئَةُ فِي أُخْرَى ، فَرَجَحَتْ ، ثُمَّ جِيءَ بِالرَّغِيفِ ، فَرَجَحَ بِالسَّيِّئَةِ

Dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu anhu :

Ada seorang ahli ibadah yang beribadah kepada Allah di biaranya selama 60 tahun. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di sampingnya. Berikutnya, terjadilah perzinahan selama 6 malam. Kemudian ahli ibadah itu tersadar hingga jatuh benda yang berada di tangannya. Kemudian ia lari. Ia mendatangi sebuah masjid, bernaung di dalamnya. Ia tinggal di sana selama 3 hari tidak makan apapun. Kemudian ada yang memberikan kepadanya sepotong roti. Ia bagi roti itu menjadi 2 bagian. Separuh ia berikan kepada seseorang di sebelah kanannya, dan separuh lagi ia berikan kepada seseorang di sebelah kirinya.

Kemudian diutuslah Malaikat yang mencabut ruhnya. Amal ibadahnya selama 60 tahun diletakkan di satu bagian timbangan, dan perbuatan maksiatnya diletakkan di bagian timbangan satunya. Ternyata keburukannya lebih berat. Kemudian didatangkan amalan (sedekah) roti yang ia lakukan tersebut, ternyata lebih berat amal kebaikannya dibandingkan keburukannya.

📚 (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman, dan Ibnul Mubarok dalam al-Birr was Shilah, dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah
al-Ahaadits ad-Dhaifah wal Maudhu’ah (14/875). Lafadz hadits tersebut berdasarkan riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Kisah ini adalah kisah yang terjadi pada umat terdahulu (Bani Israil) yang disampaikan oleh Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.

📋 Beberapa pelajaran yang bisa diambil
      dari kisah tersebut:

1. Bahaya fitnah wanita.
Bahkan seorang ahli ibadah yang telah beribadah 60 tahun pun bisa tergoda dengannya hingga terjatuh ke dalam perbuatan zina. Islam memiliki aturan-aturan yang membatasi hubungan laki dan wanita yang bukan mahram, di antaranya larangan berduaan, larangan bersalaman, larangan wanita safar tanpa mahram, perintah menutup aurat, perintah wanita untuk berdiam di rumahnya dan jika keluar dilarang berhias, larangan wanita keluar memakai wewangian, dan semisalnya.

2. Begitu besarnya bahaya perbuatan zina. Perbuatan zina 6 malam yang dilakukan oleh ahli ibadah tersebut masih lebih berat bobotnya dibandingkan ibadah yang dilakukannya selama 60 tahun. Islam tidak hanya melarang perbuatan zina namun juga melarang mendekati perbuatan zina.

3. Keutamaan bersedekah memberi makan. Sedekah sepotong roti yang dibagikan untuk dua orang (masing-masing mendapatkan separuh bagian), ternyata memiliki bobot yang sangat besar dalam timbangan amal kebaikan.

4.  Jangan meremehkan perbuatan baik yang bisa kita lakukan dengan ikhlas meskipun terlihat kecil.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadits itu dalam Kitabuz Zakat Bab Maa Ja-a fil Hatstsi alas Shodaqoh wa Amriha (Hadits-hadits tentang anjuran bersedekah dan perintah terhadapnya).

Dalam riwayat Ibnul Mubarok pada kitab al-Birr was Shilah, kisah itu disampaikan dengan sedikit perbedaan, yaitu ibadah yang dilakukan oleh ahli ibadah tersebut adalah selama 70 tahun, kemudian dosa yang dilakukan tidak disebut sebagai perbuatan zina, dan sedekah yang dilakukannya adalah 6 potong atau 3 potong roti.

Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya.

Wallaahu A’lam

📑 al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah
Share:

Kisah Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha

Sungai Mengalir di Gurun Arab, Ini Videonya yang Menghebohkan ...
WANITA YANG KEMATIANNYA DISAMBUT PARA MALAIKAT


Kisah ini mungkin telah sering kita dengar. Namun, sekedar mengingatkan kembali tentang perjuangan wanita mulia ini, semoga dapat mengembalikan ghirah kita untuk juga bisa menteladani beliau, wanita yang ‘berhati baja’.

Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, namanya tercatat dalam tinta emas penuh kemuliaan.
Bahkan kematiannya mengundang ribuan malaikat untuk menyambutnya.

Hari itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menerka, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud. Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya.

“Suamiku tersayang”, Nusaibah berkata, “Aku mendengar pekik suara menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu. Malah isterinya. Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang.”

Said memandang wajah isterinya. Setelah mendengar perkataannya itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said.

Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru sahaja gugur di medan perang. Beliau syahid…”

Nusaibah tertunduk sebentar,
“Inna lillah…..” gumamnya,
“Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan,

“Amar, kaulihat Ibu menangis?.. Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”

Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

*“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terhapus.”*

Mata Amar bersinar-sinar. *“Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah.”*

Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di hadapan Rasulullah, ia memperkenalkan diri.

“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur.”

Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. *“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”*

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur, mereka menuju ke rumah Nusaibah.

Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?..” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?..”

Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”

“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?..”

Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan?.. Saad masih kanak-kanak.”

Mendengar itu, Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, *“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah berani.”*

Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. *“Kau tidak takut, nak?..”*

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan tentara itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!..”

Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.

Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya.
*“Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”*

Sang utusan mengerutkan keningnya.
*“Tapi engkau wanita, ya Ibu….”*

Nusaibah tersinggung, *“Engkau meremehkan aku karena aku wanita?.. Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke Syurga melalui jihad?..”*

Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda yang ada.

Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum.

*“Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”*

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.

Dirawatnya mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba rambutnya terkena percikan darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas terbabat oleh senjata orang kafir.

Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.

Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu.

Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu.
Dinaiki kudanya.
Lantas bagaikan singa betina, ia mengamuk.

Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.

Hingga pada suatu waktu ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kirinya. Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda. Peperangan terus berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian.

Tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada orang yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, dia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.

Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Said-kah engkau?..”

Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, *“Bagaimana dengan Rasulullah?.. Selamatkah baginda?..”*

“Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun…”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?.. Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”

“Engkau masih terluka parah, Nusaibah….”

*“Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?..”*

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikkannya. Namun karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.

Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

*Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.*

Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,

*“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?.. Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”*

Subhanallah..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..

Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai kepada kita yang hidup di jaman sekarang.

Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla menempatkan mereka, dan kita semua di Syurga-Nya disamping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aamiin..

Apa yang telah kita perbuat untuk menegakkan Dienullah Islam ?

Kisah penuh inspiratif ini seharusnya dapat menggugah jiwa juang kita, agar tidak cengeng melepas anak -anak yang sedang berjuang. Kalo ingin anak menjadi kuat, maka kita harus menjadi ibu yang kuat terlebih dahulu.
Wallahu'alam... 
Share:

Kisah Dosen Universitas Islam Madinah yang Anti Wahabi


Fenomena Salju Selimuti Arab SaudiIni adalah kisah yang sungguh mengagumkan. Ketika Universitas Islam di Madinah baru saja dibuka oleh Syaikh bin Baz rahimahullahu, tentunya beliau membutuhkan banyak ulama dari penjuru dunia Islam. Sedangkan metode Syaikh bin Baz adalah beliau melakukan pendekatan kepada seluruh kelompok tanpa membedakannya. Siapa saja yang masuk ke rumah syaikh, bermulazamah kepada beliau, pasti tahu bahwa inilah manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Namun beliau tidak pernah berkata suatu yang batil atau bahkan mengajak kepada kebatilan. Beliau juga tidak pernah mengingkari pelaku kebatilan dengan cara keras. Sebaliknya, beliau bersikap ramah, bergurau, mengunjungi mereka, tersenyum, memberikan hadiah dan memberikan bantuan kepada mereka atas setiap hal yang mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Inilah metode dan manhaj Syaikh bin Baz. Barangsiapa mengatakan selain ini maka ia telah berdusta. Beliau selalu menasehati, mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.

Tetapi dengan penuh kelembutan, kesantunan, hikmah, bijaksana dan murah senyum.

Diantara para masyaikh yang didatangkan untuk mengajar di Universitas Islam Madinah adalah masyaikh ahli qiro’ah dari Mesir, diantara mereka adalah Syaikh Abdul Fattah al-Qadhi. Beliau termasuk salah seorang ulama yang mengoreksi mushaf terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd.

Syaikh Abdul Fattah ini termasuk ulama yang tidak ada tandingannya di zaman ini dalam ilmu qiro’ah dan ulumul Qur’an. Beliau adalah ulama yang pengetahuannya tentang ilmu Qur’an bagaikan samudera.

Sebelum berangkat ke Madinah, orang-orang Mesir sudah memperingatkan beliau bahwa dia akan mendatangi kaum (Wahhabi) yang bersifat begini dan begitu. Berhati-hatilah dalam berbicara dengan mereka, karena jika tidak mereka tidak akan memaafkanmu.

Akhirnya Syaikh pun berangkat ke Madinah. Di Madinah, beliau sangat waspada dan berhati-hati, hanya saja beliau orang yang tempramental, walau pandai berdebat, tetapi jika beliau murka, akan keluar dari mulut beliau perkataan yang tidak layak.

Semoga Alloh merahmati beliau.

Singkat cerita, beliaupun diberi jadwal mengajar di Jami’ah dan mulai mengajar. Pada suatu waktu di tengah mengajar, secara tidak sadar beliau mengucapkan “wan-nabi” (demi Nabi).

Orang-orang Mesir memang memiliki kebiasaan bersumpah dengan nama Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam. Tiba-tiba seorang mahasiswa berdiri dan berkata :  “ Ya Syaikh! Anda telah bersumpah dengan nama Nabi, padahal beliau bersabda : “ Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Alloh maka ia telah kafir atau musyrik”  ( Diriwayatkan Tirmidzi.” )

Syaikh tiba-tiba langsung berubah seperti orang gila, marah-marah dan berkata, “Saya kafir ?! Saya Musyrik?! Saya yang mengajarkan al-Qur’an kepada kalian dan kalian mengatakan saya kafir atau musyrik ?!!”

Emosi beliaupun mulai naik dan berbicara kasar memaki-maki mahasiswa tersebut. Beliau mengatakan mahasiswa tersebut dengan ucapan buruk, dikatakan bodoh lah, tidak punya adab, tidak punya sopan santun, dan lain sebagainya.

Padahal mahasiswa tadi hanya menyampaikan sabda Rasulullah, “ Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Alloh maka dia telah kafir atau musyrik”.

Akhirnya terjadi keributan keras di kelas antara mahasiswa dan Syaikh sehingga kelas menjadi ricuh dan gaduh. Dengan kemarahan yang masih meluap-luap, syaikh langsung keluar dari kelas sembari berteriak-teriak,
“Kamu mengkafirkan saya?! Padahal saya adalah syaikh para ahli qiro’ah di Mesir! Apakah pada usia ini saya sudah menjadi kafir?! Setelah beruban seperti ini menjadi musyrik?!…” Beliau terus menceracau macam-macam…

Syaikh Abdul Aziz al-Qori’, ketua panitia pengawasan penerbitan mushaf bertemu beliau dijalan, dan bertanya kepadanya, “ada apa ya syaikh? ada apa?”

Syaikh Abdul Fattah menjawab, “Anda tidak tahu apa yang dikatakan mahasiswa itu ? Mereka mengatakan saya telah kafir! Mengatakan saya begini dan begitu!”

Syaikh Abdul Aziz berkata, “ Sudahlah ya syaikh, mereka itu hanya mahasiswa, masih anak-anak. Mereka tidak bermaksud mengkafirkan anda, mereka cuma ingin menasehati anda. Mungkin hanya salah ucap saja”

Syaikh Abdul Aziz yang menceritakan kisah ini kepada saya (Syaikh Muhammad Duwaisy) mengatakan bahwa beliau berupaya menenangkannya, dan akhirnya beliau mengajaknya untuk naik ke mobil beliau dan mengajak ke rumahnya.

Yang jelas, hari itu adalah hari terburuk bagi Syaikh Abdul Fattah. Beliaupun memutuskan untuk mengakhiri kontraknya mengajar di Jami’ah dan mempacking barang-barangnya untuk segera pulang ke Mesir, karena beliau mendengar bahwa kaum ini (Wahhabi) tidak akan memaafkan jika ada seseorang berbuat salah, mereka akan menghukumnya dengan hukum yang sangat keras.

Semenjak pagi Syaikh bin Baz sudah mendengar kejadian tersebut. Beliau pun menelpon Syaikh Abdul Aziz al-Qori untuk menjemput Syaikh Abdul Fattah dan membawa beliau ke kantornya.

Keesokan harinya, Syaikh Abdul Aziz dan Syaikh Abdul Fattah mendatangi kantor Syaikh bin Baz. Syaikh Abdul Fattah mengira bahwa dirinya akan diberhentikan dan dipecat. Beliau membayangkan bahwa Syaikh bin Baz akan mengatakan, “ Wahai Abdul Fattah,sesungguhnya kamu melakukan kesalahan yang besar, karena itu tidak ada tempat di sini bagi orang yang bersumpah dengan selain nama Alloh dan mengajarkan hal itu kepada anak didik kami di Universitas.”

Kira – kira coba anda bayangkan apa yang dilakukan Syaikh bin Baz?! Ketika Syaikh Abdul Fattah tiba, Syaikh bin Baz langsung bangkit menuju pintu, padahal beliau orang yang buta, dalam rangka menyambut dan menyalami Syaikh Abdul Fattah, beliau berkata : “ Bagaimana kabar anda ya Syaikh Abdul Fattah ? Bagaimana keadaan Anda ? Bagaimana di Jami’ah, senangkah Anda tinggal di sini? tinggal di Madinah?…”

Kemudian Syaikh bin Baz mempersilakan Syaikh Abdul Fattah duduk di samping beliau, lalu berkata kepadanya : “ Ya Syaikh, anda kan tinggal sendirian di Madinah, bagaimana jika kami menikahkan Anda di sini agar Anda merasa nyaman dan ada yang melayani Anda?”

Syaikh Abdul Fattah terheran-heran, sebab tadi malam beliau mengira bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di kota Nabi Madinah. Namun Syaikh bin Baz sepertinya mengubah tema pembahasan dan sama sekali tidak membahas ucapan keliru Syaikh Abdul Fattah.

Beliau sama sekali tidak mengatakan, “anda telah salah, tidak faham sedikitpun! ahli bid’ah! orang sesat! miskin!!!…” Tidak, Syaikh bin Baz sama sekali tidak mengatakan demikian, karena hal ini adalah tidak pantas.
Syaikh Abdul Fattah sebenarnya adalah orang yang mudah untuk menerima kebenaran. Hanya saja perlu cara dan teknik tertentu agar beliau bisa menerima kebenaran dengan mudah.

Syaikh bin Baz terus saja menyenangkan hati beliau, bergurau dengannya dan sampai akhirnya Syaikh bin Baz berkata kepadanya, “ Wahai Syaikh, para mahasiswa itu terkadang tidak faham bagaimana cara berbuat sopan di hadapan para masyaikh. Karena itu seharusnya Syaikh bisa bersikap bijak terhadap mereka dan bersabar atas perlakuan mereka.”

Syaikh kemudian menjelaskan kepada beliau, “ Anda wajib mengajarkan kepada mereka sopan santun, menjadikan mereka terdidik, bertindak bijak terhadap mereka, tidak mudah emosi akan kesalahan yang ada pada mereka. Anda sendiri pasti tahu bahwa

Anda adalah orang yang lebih pandai dari kita semua. Kita harus bersabar menghadapi mereka dan berdiskusi dengan mereka dengan cara yang hikmah.”

Akhirnya Syaikh Abdul Fattah melunak hatinya dan mengatakan “Baiklah Syaikh”, karena beliau tahu bahwa tindakannya kemarin adalah sangat tidak pantas.

Syaikh Abdul Aziz al-Qori, yang menceritakan hal ini kepada saya mengatakan, “Setelah itu kami keluar dari kantor dengan rasa penuh hormat dan kemuliaan. Kami pun beranjak keluar dari area Jami’ah. Kemudian saya bertanya kepada Syaikh Abdul Fattah, “Anda mau pergi ke mana wahai Syaikh?”

Syaikh menjawab, “Saya ingin pulang ke rumah.”

Saya berkata, “Baiklah, saya akan mengantarkan Anda ke rumah.”

Kemudian Syaikh Abdul Fattah naik mobil bersamaku, kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Wahai Syaikh Abdul Aziz al-Qori, saya punya permintaan.”
Saya menjawab, “ Apa permintaan Anda?”.

Beliau menjawab, “Orang-orang Wahhabi ini, saya ingin membaca buku-buku mereka.”

Saya berkata, “baiklah”.

Setelah itu saya pilihkan beberapa buku karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan beberapa ulama lainnya, lalu kuberikan kepada beliau. Setelah itu beliau membacanya selama seminggu penuh tanpa henti siang dan malam.”

Syaikh Abdul Aziz al-Qori melanjutkan, “ Seminggu kemudian saya mengunjungi beliau dan bertanya padanya, “ Bagaimana buku-buku yang telah Anda baca? Bagaimana pendapat Anda tentangnya?”

Beliau menjawab, “Demi Alloh! Kalian semua adalah benar dan dulu Saya yang salah. Adapun orang-orang ahlus sunnah yang saya temui, mereka jauh sekali dari praktik yang terdapat dalam buku-buku ini. Saya sekarang sudah mengetahui kebenaran tersebut. Demi Alloh ! Saya dulu meyakini bahwa kalian adalah orang-orang yang begini dan begitu… mudah-mudahan Alloh mengampuniku.”

Wahai saudara-saudaraku…

Apa yang mendorong beliau untuk membaca kebenaran dan puas menerimanya?! Jawablah pertanyaanku…

Tentunya ini semua dengan adab, kelemah lembutan, akhlaq yang mulia, kesabaran, sopan santun dan memenuhi kewajiban hak-hak seorang muslim, bukannya malah tindakan menghajr, membenci, mengucilkan dan lain sebagainya.

Wahai saudara-saudaraku…

Inilah akhlaq seorang alim besar, yang saya yakin bahwa saya dan anda bersepakat akan keilmuannya

Adakah kita mau mengambil dan memetik faidah ini?!

Maukah kita bercermin kembali, sudahkah akhlaq kita mencerminkan akhlaqnya para salaf yang shalih?!

Ataukah kita malah gemar menghujat, mencemooh, mencela, mengucilkan, bahkan sampai menvonis bid’ah secara serampangan?!

Memang benar kiranya ucapan Syaikh al-Albani, bahwa “ ajarkan aqidah kepada ummat dan ajarkan akhlaq kepada salafiyyin”.

Karena memang sebagian saudara kita salafiyyin butuh untuk lebih mempelajari akhlaq yang mulia.

Sumber: Abu Bassam

Artikel ini diposting oleh Website Seindah Sunnah 
Share:

Perempuan Miskin yang Jujur

Terungkap Ini Penyebab Arab Saudi Tiba-Tiba Diselimuti Salju ...Suatu hari, Imam Ahmad bin hanbal, pendiri mazhab hambaliyah dikunjungi seorang perempuan yang ingin mengadu.

Ya syaikh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saja , saya merajut benang dimalam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak dan menyambih sebagai buruh kasar disela waktu yang ada. Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan."

Imam ahmad menyimak dengan serius penuturan si ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan. Imam Ahmad adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan.
Sebenarnya, hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada perempuan itu, namun ia urungkan dahulu karena menunggu perempuan itu melanjutkan pengaduannya.

"Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah didepan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu," tegas perempuan.

"Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?
Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?
Sebab saya melakukan  pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara,dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat." Perempuan itu kembali menjelaskan.

Imam Ahmad terpesona dengan kemulyaan jiwa perempuan itu. Ia begitu jujur, ditengah masyarakat yang begitu bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli 
Halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papah.

Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam ahmad bertanya ,"ibu, sebenarnya engkau ini siapa?"
"Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi,"
Perempuan itu mengaku dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan.

Imam Ahmad makin terkejut. Basyar Al-Hafi adalah gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.

Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad berkata pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada perempuan terhormat seperti engkau ibu".

Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis surban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama."

Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan?, padahal bagi kami itu tidak apa-apa,sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara."
Kemudian Imam Ahmad melanjutkan,"ibu,izinkan aku memberi penghormatan  untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada perempuan semulia engkau".

Diriwayatkan dari ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ, dari RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM.  BELIAU BERSABDA:

TIDAK AKAN MASUK KEDALAM SURGA SEBUAH JASAD YANG DIBERI MAKAN DENGAN YANG HARAM."

shahih lighairihi, HR. Abu Ya'la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan .

Kisah ini ada dalam kitab shahih at- targhib 
Share:

SEPENGGAL KISAH SITI MASYITOH

Teknologi Pertanian Makin Maju, Gurun pun Disulap Jadi Lahan ...
Wanita Mulia Yang Makamnya Harum Semerbak Sahabat kisah ini sudah hampir dilupakan oleh kalangan ummat islam, anak-anak generasi muda saat ini saya yakin mereka tidak pernah dengar kisah yang sangat memberikan inspirasi besar dalam kehidupan, bagaimana keteguhan dan keyakinannya menjadikan ia wanita yang mulia disisi Allah SWT. Siapa wanita mulia tersebut dialah Siti Masyitoh yang hidup pada zaman Fir’aun dan sekaligus menjadi pembantu mengurus anak-anaknya Fir’aun.

“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa?” Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah.

Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.
“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri
ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa.
Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.
“Panggil Masyitoh kemari,” perintah Fir’aun pada pengawalnya.
Masyitoh datang menghadap Fir’aun dengan tenang. Tidak ada secuil pun perasaan takut di hatinya. Ia yakin Allah senantiasa menyertainya.
“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.
“Benar,” jawab Masyitoh mantap.
“Kamu tahu akibatnya? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.
“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”
“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak- anakmu.”
“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”
Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.

“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.
Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.
“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi,
tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya,
suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya.

“Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.
Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya,
“Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah
iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.
Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.
Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan
pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.

Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan.
“Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.
“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jibril.
Semoga kelak kita dikumpulkan bersama orang-orang Sholeh Sholehah tentunya dengan harapan Syafa'at Baginda Rasulullah SAW..
Semoga Bermanfaat.

#Subhanallah
Jum'at Barokah...🙏
Share:

KISAH WANITA CANTIK YANG MENGGODA ULAMA......

Keanekaragaman Flora Arab Saudi: Bunga Gurun | sunflowerKisah ini terjadi pada abad pertama hijriyah, di zaman tabi’in.
“Wahai suamiku, adakah di Makkah ini laki-laki yang jika melihat wajah cantikku ini ia tidak tergoda?”

Tanya seorang istri kepada suaminya, sambil bercermin. Ia sangat mengagumi kecantikan yang terpantul di kaca itu.
“Ada.” jawab sang suami.
“Siapa?” kata istrinya
“Ubaid bin Umair.” jawab suaminya

Sang istri diam sejenak. Ia merasa tertantang untuk membuktikan bahwa kecantikannya akan mampu menggoda laki-laki itu.

“Wahai suamiku,” katanya merayu, “bolehkah aku membuktikan bahwa aku bisa membuat Ubaid bin Umair bertekut lutut di depanku?”

Sang suami terkejut dengan permintaan ekstrem itu, tetapi ia sendiri juga merasa rencana istrinya itu akan menjadi sesuatu yang menarik, untuk menguji keshalihah seorang ulama. “Silahkan, aku mengijinkanmu.”

Setelah merias diri sedemikian rupa, berangkatlah wanita itu mencari Ubaid bin Umair di Masjidil Haram.

Ubaid adalah seorang ulama yang lahir semasa Rasulullah saw masih hidup.

Nama lengkapnya Ubaid bin Umair bin Qatadah Al Laitsi Al Junda’i Al Makki. Beliau wafat pada tahun 74 hijriyah.

Saat menjumpai Ubaid, wanita itu berpura-pura meminta nasehat. Ia beralasan kebutuhannya amat penting, dan memintanya pindah ke pojok masjid.

Sesampainya di sana, wanita itu membuka cadarnya dan tampaklah wajah cantiknya laksana bening rembulan.

“Apa yang kau lakukan?” kata Ubaid melihat kejanggalan wanita tersebut.

“Sungguh, aku mencintaimu. Aku hanya ingin jawaban darimu,” sergah wanita itu, terus berusaha menggoda Ubaid.

“Sebentar,” kata Ubaid. Kini nadanya mulai naik.

“Ada beberapa pertanyaan yang jika kau menjawabnya dengan jujur, maka aku akan menjawab pertanyaanmu tadi.”

“Baik, aku akan menjawabnya dengan jujur.”

“Pertama, seandainya Malaikat Maut datang menjemputmu saat ini, apakah engkau senang aku memenuhi ajakanmu?”

Wanita itu tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang langsung mengingatkannya dengan kematian. Kemudian menjawabnya “Tidak”

“Kedua, seandainya saat ini engkau berada di alam kubur dan sedang didudukkan oleh Malaikat Munkar dan Nakir untuk ditanyai, apakah engkau senang aku penuhi ajakanmu?”
“Tidak” jawabnya.

“Ketiga, seandainya saat ini semua manusia menerima catatan amalnya dan engkau tidak tahu apakah kau akan mengambilnya dengan tangan kanan atau tangan kiri, apakah engkau senang jika aku memenuhi ajakanmu?”
“Tidak”

“Keempat, seandainya saat ini seluruh manusia digiring ke timbangan amal dan engkau tidak tahu apakah timbangan amal kebaikanmu lebih berat atau justru amal buruknya yang lebih berat, apakah engkau senang jika aku memenuhi ajakanmu?”
“Tidak”

“Kelima, seandainya saat ini engkau berada di hadapan Allah untuk dimintai pertanggungjawaban atas semua nikmatNya yang telah dianugerahkan kepadamu, masihkah tersisa rasa senang di hatimu jika aku memenuhi ajakanmu?”
“Demi Allah, tidak”

“Kalau begitu wahai wanita, takutlah kepada Allah. Betapa Allah telah memberikan segalanya kepadamu.”

Kini dia tak kuasa menahan air mata.
Tadi dia datang ke Masjidil Haram berpura-pura mencari nasehat,
kini ia benar-benar mendapatkan nasehat yang benar-benar menyentuhnya.

Sesampainya di rumah, sang suami terkejut melihatnya bersedih.

“Apa yang terjadi wahai istriku?” kata suaminya.

“Kita ini termasuk orang yang celaka,” jawab wanita itu, kemudian ia mengambil wudhu dan shalat.

Hari-hari berikutnya, ia berubah drastis.
Ia tak lagi membanggakan kecantikannya.
Ia tak lagi suka berdandan di setiap malam.
Ia berubah menjadi ahli shalat dan puasa.

Mudah-mudahan ini ada manfaatnya..
Barakallahu fiikum. 

Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages