Saya seorang polisi. Pekerjaan saya adalah menjaga keamanan, mengawasi lalu lintas, dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Semula pekerjaan saya sangat menyenangkan. Saya menjalani hidup dengan nyaman. Saya bekerja dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Akan tetapi, setelah itu, saya mengalami masa yang sangat berat. Saya diombang-ambing oleh kebingungan karena banyaknya waktu luang dan minimnya pengetahuan saya. Kemudian saya mulai merasa bosan dan tidak menemukan orang yang bisa membantu saya dalam urusan agama saya. Yang terjadi justru sebaliknya.
Saya bosan terus-menerus melihat kecelakaan dan orang-orang yang ditimpa musibah. Tetapi, ada satu hari istimewa. Saat kami bekerja, saya bersama seorang kawan berhenti di tepi jalan sambil berbincang kesana kemari. Tiba-tiba kami mendengar suara tabrakan yang keras. Kami langsung memutar pandangan mata kami, dan ternyata sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang datang dari arah berlawanan.
Kami bergegas menuju lokasi kecelakaan untuk menyelamatkan para korban. Sebuah kecelakaan yang nyaris tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dua orang di dalam mobil itu dalam kondisi kritis.
Kami mengeluarkan mereka dari mobil dan
meletakkan mereka dalam posisi membujur. Lalu kami bergegas mengeluarkan orang yang ada di mobil kedua. Ternyata dia sudah meninggal dunia.
Kami kembali kepada dua orang tersebut, ternyata mereka dalam kondisi sekarat. Kawan saya langsung menuntunnya membaca syahadat.
Ucapakanlah, “laa ilaha illallah. Laa ilaha illallah.”
Akan tetapi lidah mereka justru melantunkan nyanyian dengan keras.
Situasi itu membuat saya takut, sementara kawan saya justru sebaliknya. Dia mengetahui hal ihwal kematian. Dia kembali menuntun mereka membaca syahadat. Sementara saya berdiri termangu, tidak bergerak, diam seribu bahasa, dan mata saya melotot. Selama hidup, saya belum pernah melihat situasi seperti itu. Bahkan saya belum pernah melihat orang meninggal dalam kondisi seperti itu.
Kawan saya kembali mengulang-ulang kalimat syahadat kepada mereka. Tetapi mereka terus bernyanyi. Tidak ada gunanya sama sekali. Suara nyanyian itu mulai reda sedikit demi sedikit. Yang satu diam dan diikuti yang kedua. Tidak ada gerak sama sekali. Mereka sudah meninggal dunia. Kami membawa mereka ke mobil. Sementara kawan saya itu menunduk dan diam seribu bahasa. Kami menempuh perjalanan dengan diam membisu.
Keheningan itu lalu dipecahkan oleh suara kawanku yang bercerita kepadaku tentang hal-ihwal kematian dan su’ul khatimah (penutup yang buruk).
Hidup manusia itu ditutup dengan kebaikan atau keburukan. DAN PENUTUP INI MERUPAKAN PETUNJUK BAGI APA YANG PERNAH DIKERJAKAN OLEH MANUSIA SELAMA HIDUP DI DUNIA SECARA UMUM. Dia menyampaikan banyak kisah yang ditulis di dalam buku-buku islam dan bagaimana hidup seseorang ditutup dengan apa yang biasa
dilakukannya menurut keadaan lahir dan batinnya.
Kami menempuh perjalanan kerumah sakit dengan perbincangan tentang kematian dan orang-orang yang mati. Dan gambarannya menjadi lengkap ketika kami ingat bahwa kami mengangkut jenazah di dekat kami. Saya menjadi takut akan kematian.
Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian itu. Hari itu juga saya mengerjakan shalat dengan khusyu’.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya pun melupakan momentum tersebut secara bertahap.
Saya mulai kembali lagi kepada kebiasaan saya semula. Seolah-olah saya tidak pernah menyaksikan dua orang laki-laki itu dan apa yang telah mereka alami. Tetapi saya benar-benar menjadi tidak suka pada nyanyian dan tidak berminat lagi seperti sebelumnya. Barangkali hal itu terkait dengan pengalaman saya saat
mendengarkan nyanyian dari dua orang tersebut ketika mereka sekarat.
Anehnya, lebih dari setahun kemudian ada
kecelakaan yang sangat menakjubkan. Ada seseorang yang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan biasa. Tiba-tiba mobil itu mogok di salah satu terowongan yang mengarah ke kota. Orang itu pun turun dari mobilnya untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada salah satu rodanya. Dan ketika ia berdiri di belakang mobilnya untuk menurunkan roda cadangan, datanglah sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dan menabraknya dari belakang. Dia langsung jatuh dengan luka-luka yang sangat parah. Saya datang bersama kawan yang lain, bukan kawan saya yang pertama.
Kami membawanya di dalam mobil kami sambil menghubungi rumah sakit agar bersiap-siap menyambut kedatangannya.
Ia masih muda usia dan religius. Hal itu terlihat dari penampilannya. Ketika kami membawanya, kami mendengarnya bergumam. Namun karena kami buru-buru saat membawanya, maka kami tidak bisa membedakan dengan jelas apa yang dia ucapkan.
Akan tetapi, ketika kami meletakkannya di mobil dan berjalan, kami mendengar suaranya dengan jelas; dia membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu.
Subhanallah! Anda jangan mengatakan bahwa pemuda ini berlumuran darah dan tulang-tulangnya patah, tetapi tampaknya dia sudah di ambang kematian, namun dia terus membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu. Selama hidup, saya belum pernah mendengar bacaan semerdu itu. Saya sempat berkata didalam hati bahwa saya akan membimbingnya membaca syahadat seperti yang dilakukan kawan saya dulu. Apalagi saya merasa sudah punya pengalaman sebelumnya. Saya dan kawan saya mendengarkan suara yang merdu itu dengan seksama. Saya merasakan tubuh saya mulai gemetar dan juga tulang-tulang rusuk saya. Tiba-tiba suara itu terdiam. Saya menoleh kebelakang, ternyata dia mengangkat jari telunjuknya sambil membaca tasyahud (Syahadat), kemudian dia menundukan kepalanya.
Saya segera melompat kebelakang. Saya pegang tangannya, dan ternyata dia sudah meninggal dunia. Saya memandanginya cukup lama. Setitik airmata jatuh, tapi saya menyembunyikannya dari kawan saya. Saya menoleh kearahnya dan saya memberitahunya bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Kawan saya langsung menangis, sedangkan saya sesenggukan dan airmata saya tidak berhenti mengalir. Pemandangan kami di dalam mobil itu menjadi sangat menyentuh. Saat kami tiba di rumah sakit, kami menceritakan kisah orang itu kepada semua orang yang kami jumpai. Banyak yang tersentuh dengan peristiwa kematiannya dan airmata mereka bercucuran.
Ada salah satu dari mereka, yang setelah
mendengar cerita kami langsung pergi mencium keningnya. Semua orang bersikeras untuk tidak pergi dari tempat itu sehingga mereka mengetahui kapan jenazahnya akan dishalati agar mereka bisa ikut menyalatinya.
Keesokan harinya masjid itu penuh sesak oleh jama’ah yang ingin menyalatinya. Saya menshalatinya bersama orang-orang islam lainnya.
Setelah itu, kami membawanya kemakam. Kami memasukannya kedalam liang kubur yang sempit dan mereka menghadapkan wajahnya kearah kiblat.
Bismillahi wa’ala millati rasulillah. Kami mulai menguruknya dengan tanah.
Doakanlah agar saudaramu diberi keteguhan, karena dia sedang ditanya. Dia menyambut hari-hari akhirat yang pertama, sementara saya seakan-akan menyambut hari-hari dunia yang pertama.
Saya bertaubat dari apa yang pernah saya perbuat.
Mudah-mudahan Allah berkenan memaafkan dosa-dosa saya di masa lalu, meneguhkan hati saya selalu taat kepadanya, menutup hidup saya dalam kebaikan (khusnul khatimah) dan menjadikan kuburan saya dan kuburan setiap muslim sebagai bagian dari taman surga.
——————-
kisah nyata ini diambil dari az-Zaman Al-Qadim I,
Abdul Malik Al-Qasim.
(Copas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar