Kisah Nabi Hud

Kisah Nabi Hud As dan Binasanya Peradaban Kaum 'AadAllah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat:

مَنۡ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةًۖ
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰهُودُ مَا جِئۡتَنَا بِبَيِّنَةٖ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata:

إِنِّيٓ أُشۡهِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡهَدُوٓاْ أَنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٥٤ مِن دُونِهِۦۖ فَكِيدُونِي جَمِيعٗا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ ٥٥ إِنِّي تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمۚ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ ءَاخِذُۢ بِنَاصِيَتِهَآۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٥٦
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah subhanahu wa ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata:

هَٰذَا عَارِضٞ مُّمۡطِرُنَاۚ
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala pun berfirman:

بَلۡ هُوَ مَا ٱسۡتَعۡجَلۡتُم بِهِۦ
“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

رِيحٞ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٞ ٢٤ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيۡءِۢ
“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

سَخَّرَهَا عَلَيۡهِمۡ سَبۡعَ لَيَالٖ وَثَمَٰنِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومٗاۖ فَتَرَى ٱلۡقَوۡمَ فِيهَا صَرۡعَىٰ كَأَنَّهُمۡ أَعۡجَازُ نَخۡلٍ خَاوِيَةٖ ٧
“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

فَأَصۡبَحُواْ لَا يُرَىٰٓ إِلَّا مَسَٰكِنُهُمۡۚ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah subhanahu wa ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

وَأُتۡبِعُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَآ إِنَّ عَادٗا كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا لِّعَادٖ قَوۡمِ هُودٖ ٦٠
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).
Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah subhanahu wa ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.
Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan kepada kita.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَقَدۡ أَهۡلَكۡنَا مَا حَوۡلَكُم مِّنَ ٱلۡقُرَىٰ وَصَرَّفۡنَا ٱلۡأٓيَٰتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:

لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٢٧
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam:
أَتَبۡنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةٗ تَعۡبَثُونَ ١٢٨
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya.
Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mendustakan para rasul Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana yang Allah k sebutkan dalam kisah ‘Aad:

وَلَقَدۡ مَكَّنَّٰهُمۡ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمۡ فِيهِ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ سَمۡعٗا وَأَبۡصَٰرٗا وَأَفۡ‍ِٔدَةٗ فَمَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُمۡ سَمۡعُهُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُهُمۡ وَلَآ أَفۡ‍ِٔدَتُهُم مِّن شَيۡءٍ إِذۡ كَانُواْ يَجۡحَدُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ٢٦
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain:

فَمَآ أَغۡنَتۡ عَنۡهُمۡ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِي يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٖ لَّمَّا جَآءَ أَمۡرُ رَبِّكَۖ وَمَا زَادُوهُمۡ غَيۡرَ تَتۡبِيبٖ ١٠١
“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam.



Ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits
Share:

Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al Quran

Kisah dalam Al-Qur'an – Inspiring EducationHikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam al Quran sangat banyak sekali, di antaranya yang paling penting adalah:

Pertama, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al A’raf: 176)

Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Huud: 120)

peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang berfikir.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111)

Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya. Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan hikmah yang telah ditetapkanNya.

Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah RasulNya:

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa: 164-165).



Diterjemahkan dari: http://almuqbil.com/play-4094.html




Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19412-hikmah-cerita-cerita-dalam-al-quran.html
Share:

Pelajaran Berharga dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Kisah Nabi Hud AS dan Kaumnya Penyembah Berhala yang Dibinasakan ...
Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut (Yaman), ketika semakin bertambahnya kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah Ta’ala. Mereka berkata, sebagaimana dalam ayat,

“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah Ta’ala dan pendustaan terhadap para rasul. Maka, Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan segala ibadah hanya untuk Allah Ta’ala satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala.

Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara serta mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rezeki, dan kekuatan fisik. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengatakan, seperti diceritakan Allah Ta’ala,

“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan pendustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi pun, melainkan pasti telah Allah Ta’ala berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini berasal dari sisi Allah Ta’ala.

Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi, kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap seluruh kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud ‘alaihissalam sendirian dalam berdakwah. Beliau menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud ‘alaihissalam adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan sesembahan mereka. Bila tidak berhenti berdakwah, niscaya Nabi Hud ‘alaihissalam—menurut ancaman mereka—akan ditimpa penyakit gila dan kejelekan. Namun Nabi Hud ‘alaihissalam justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka dan berkata,

“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu kerahkanlah segala tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54—56)

Maka, ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud ‘alaihissalam meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya azab Allah Ta’ala. Maka datanglah azab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang ganas sehingga sangat membutuhkan siraman air hujan.

Di saat mereka dalam keadaan bergembira melihat awan tebal di atas mereka dan berkata,

“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (al-Ahqaf: 24)

Allah Ta’ala pun berfirman,

“(Bukan)! Bahkan itulah azab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (al-Ahqaf: 24)

Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian, “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami bila engkau orang yang benar.”

Allah Ta’ala berfirman,

“(Yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (al-Ahqaf: 24—25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah Ta’ala berfirman,

“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 7)

“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulu senantiasa tertawa gembira, berada dalam kemuliaan yang sempurna, kemewahan dunia yang berlimpah, seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah Ta’ala kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh azab akhirat itu lebih menghinakan, sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.

“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam serta orang-orang yang beriman bersamanya. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat (bukti) yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah Ta’ala serta pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah Ta’ala kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).

Juga ayat (tanda) tentang batilnya kesyirikan, serta kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan. Di dalamnya terdapat bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia.

Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam

Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, di dalam kisah ini terdapat beberapa pelajaran yang sama pada semua rasul, antara lain:

1.    Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan tentang berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya. Al-Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah Ta’ala juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di timur ataupun di barat, telah Allah Ta’ala utus seorang rasul kepada mereka.

Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah Ta’ala utus kepada mereka seorang rasul.

2. Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat kondisi daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat disaksikan dari peninggalan mereka kapan pun kita melewati bekas pemukiman mereka. Kita pun dapat memahami bahasa dan tabiat mereka lebih dekat, membandingkan dengan tabiat kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka, dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah Ta’ala ceritakan kepada kita.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain. Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik, bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu serta kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah. Atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat.

Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah Ta’ala,

“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami,

“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (al-Ahqaf: 28)

Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.

3. Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan, kesombongan, dan perhiasan serta menindas hamba-hamba Allah Ta’ala dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas. Sebagaimana diterangkan Allah Ta’ala dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud ‘alaihissalam,

“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main?” (asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya; mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (sarana) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus.

Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah, atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah Ta’ala, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh.

Namun, bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, atau pemborosan harta yang sebenarnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah Ta’ala pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

4. Pelajaran yang lain bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan, betapa pun besar dan luasnya, tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia imbangi dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan para rasul-Nya.

Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah Ta’ala, mendustakan para rasul Allah Ta’ala, walaupun mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikit pun jika datang keputusan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam kisah ‘Aad,

“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain,

“Karena itu, tidaklah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)

Wallahu a’lam. (Asysyariah.com)

Penulis: Ustadz Idral Harits hafizhahullah
Artikel www.KisahMuslim.com



Read more https://kisahmuslim.com/735-pelajaran-berharga-dari-kisah-nabi-hud-alaihissalam.html
Share:

Alquran Melunakkan Hati Yang Keras

Hasil gambar untuk hati yang membatuKisah berikut ini adalah kisah tentang seseorang yang memiliki hati yang keras, mudah membunuh, zalim, dan sifat-sifat kejam lainnya, kisah ini adalah kisah Hajjaj bin Yusuf.

Hajjaj adalah gubernur Irak di zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, sebelumnya ia adalah gubernur Madinah. Hajjaj dikenal sebagai pemimpin zalim dan sangat mudah menumpahkan darah rakyatnya. Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Dia orang yang sangat zalim, tiran, amibisius, perfeksionis, nista, dan kejam. Di sisi lain ia adalah seorang yang pemberani, ahli strategi dan rekayasa, fasih dan pandai bernegosiasi, serta sangat menghormati Alquran.” Ada yang mengatakan, Hajjaj telah membunuh kurang lebih 3000 jiwa di antara nyawa yang ia hilangkan adalah seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair dan seorang tabi’in Said bin Jubair. Hajjaj wafat pada tahun 95 H.

Dengan rekam jejak yang kelam itu, sangat jarang kita mendengarkan kisah yang baik dari perjalanan kehidupan Hajjaj bin Yusuf. Namun siapa sangka, ternyata ia sangat mudah tersentuh ketika mendengar ayat-ayat Alquran.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata, “Hajjaj pernah berkhutbah di hadapan kami, dia berkata, ‘Wahai anak Adam, sekarang kamu dapat makan, tapi besok kamu akan dimakan’. Kemudian dia membaca ayat, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185). Kemudian ia menangis hingga air matanya membasahi surbannya. Inilah bahasa Alquran, inilah kalamullah, yang mampu menghancurkan gunung yang kokoh, karena takut dan tunduk kepada Allah.

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ

Seandainya Alquran ini Kami turunkan kepada gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. (QS. Al-Hasyr: 21)

Tafsir ayat:

Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sebuah kabar umum yang universal dan berlaku bagi seluruh makhluk, bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Dalam firman-Nya disebutkan,

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. Ar- Rahman: 26-27)

Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, yang akan abadi dan kekal, dan Dia adalah Maha Akhir sebagaimana Dia yang Maha Awal.

Ayat ini mengandung peringatan bagi seluruh manusia, karena manusia pasti akan mati. Apabila batas waktunya berakhir, maka manusia akan dikembalikan kepada Rabb mereka dengan amalan mereka masing-masing. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kiamat dan akan membalas seluruh amal perbuatan semua makhluk. Oleh karena itu, setelah berfirman bahwa semua manusia akan mati, Allah lanjutklan firman-Nya

وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran : 185)

Pelajaran dari kisah:

    Orang yang dikenal sangat zalim pun masih menangis mendengar ayat-ayat tentang kematian, bagaimana dengan kita? Apakah hati kita merasa takut dan bergetar ketika mendengar ayat-ayat tentang kematian? Atukah hati kita lebih keras dari pada gunung?
    Tidak boleh men-cap seseorang yang senantiasa berbuat keburukan sebagai penghuni neraka. Sebagaimana Hajjaj -kita serahkan kepada Allah keadaannya di akhirat-, dikatakan Hajjaj pernah berdoa di akhir hayatnya “Ya Allah ampunilah aku, walaupun manusia menyangka Engkau tidak mengampuniku.”
    Allah menjadikan Alquran itu mudah untuk ditadabburi bagi orang-orang yang ingin merenungkan kandungan maknanya.
     Seseorang hendaknya mengamalkan apa yang ia ketahui dan ia dakwahkan. Sebagaimana Hajjaj yang mengetahui bahwa Allah akan menghisab amalan manusia, hendaknya ia berbuat kebaikan sebagai realisasi dari apa yang ia ketahui dan yakini.
    Hajjaj memang pemimpin yang zalim dan mudah membunuh, tapi dari sisi keyakinannya terhadap Alquran ia lebih baik daripada orang-orang liberal yang tampil bersahaja namun mengingkari ayat Alquran yang bertentangan dengan akal mereka dan menafsirkannya sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Sumber: Tangisan Salaf Ketika Membaca dan Mendengarkan Alquran oleh Muhammad Syauman bin Ahmad ar-Ramali

Read more https://kisahmuslim.com/3796-alquran-melunakkan-hati-yang-keras.html

Share:

CARA SUJUD YG BENAR SESUAI DENGAN SUNNAH

Hasil gambar untuk sujudSecara umum, tata cara sujud yang benar telah disebutkan dalam hadis berikut:

Nabi ﷺ bersabda,
_“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: *Dahi dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki.”*_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Berdasarkan hadits, tujuh anggota sujud dapat kita rinci:
a. Dahi dan mencakup hidung
b. Dua telapak tangan
c. Dua lutut
d. Dua ujung-ujung kaki.

Adapun bentuk sujud yang sempurna secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
*1. Menempelkan Dahi dan Hidung di Lantai*
_“Nabi ﷺ *menempelkan* dahi dan hidungnya ke lantai…”._
_(HR. Abu Daud, Turmudzi)_

Nabi ﷺ bersabda,
_*“Tidak ada shalat* bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah.”_
_(HR. Ad Daruqutni dan At Thabrani)_

Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya *wajib.*

*2. Meletakkan Kedua Tangan di Lantai dan Sejajar dengan Pundak atau Telinga*
_“Nabi ﷺ meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) *sejajar dengan pundaknya.”*_
_(HR. Abu Daud, Turmudzi)_

_Dan terkadang “Beliau  meletakkan tangannya *sejajar dengan telinga.”*_
_(HR. Abu Daud dan An Nasa’i dengan sanad shahih)_

*3. Merapatkan Jari-jari Tangan dan Menghadapkannya ke Arah Kiblat*
_“Nabi ﷺ *merapatkan jari-jari* tangan ketika sujud.”_
_(HR. Ibn Khuzaimah dan Al Baihaqi)_

_“Beliau menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih)_

Ibn Umar رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ mengatakan,
_“Nabi ﷺ suka menghadapkan anggota tubuhnya ke arah kiblat ketika shalat. *Sampai beliau menghadapkan jari jempolnya ke arah kiblat.”*_
_(HR. Ibn Sa’d)_

*4. Mengangkat Kedua Lengan dan Membentangkan Keduanya Sehingga Jauh dari Lambung.*
_“Beliau tidak meletakkan lengannya di lantai.”_
_(HR. Al Bukhari dan Abu Daud)_

_“Beliau mengangkat kedua lengannya dan melebarkannya sehingga *jauh dari lambungnya,* sampai kelihatan ketiak beliau yang putih dari belakang.”_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

_“Beliau melebarkan lengannya, sehingga anak kambing bisa lewat di bawah lengan beliau.”_
_(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)_

Nabi ﷺ sangat bersungguh-sungguh dalam merenggangkan kedua lengannya ketika sujud, sampai ada sebagian sahabat yang mengatakan, _“Sungguh kami merasa kasihan dengan Nabi ﷺ karena beliau sangat keras ketika membentangkan kedua lengannya pada saat sujud.”_
_(HR. Abu Daud dan Ibn Majah, hasan)_

Catatan:
Membentangkan kedua lengan ketika sujud dianjurkan jika *_tidak mengganggu orang lain yang berada di sampingnya._* Jika mengganggu orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah, maka tidak boleh membentangkan tangan, *_namun tetap harus mengangkat siku agar tidak menempel dengan lantai._* Karena menempelkan siku ketika sujud termasuk tata cara sujud yang dilarang.

*5. Menempelkan Kedua Lutut di Lantai.*
Nabi ﷺ bersabda,
_“Kami diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: salah satunya *bertumpu pada kedua lutut.”*_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Catatan:
Kedua lutut dirapatkan ataukah direnggangkan?

Tidak terdapat keterangan tentang masalah ini. Oleh karena itu, posisi lutut ketika sujud sebaiknya di sesuaikan dengan kondisi yang paling nyaman menurut orang yang shalat. Jika dia merasa nyaman dengan merenggangkan lutut, maka sebaiknya direnggangkan dan sebaliknya, jika dia merasa nyaman dengan kondisi dirapatkan kedua lututnya, maka sebaiknya dirapatkan.

Syaikh Ibn Al Utsaimin mengatakan,
_*“Hukum asal (gerakan shalat) adalah meletakkan anggota badan sesuai dengan kondisi asli tubuh sampai ada dalil yang menyelisihinya.”*_
(Asy Syarhul Mumthi’, 1:574)

*6. Bersikap I’tidal Ketika Sujud*
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud
_“i’tidal ketika sujud” adalah *merenggangkan antara betis dengan paha, dan meregangkan antara perut dengan paha*, masing-masing kurang lebih 90 derajat. Namun tidak boleh berlebihan ketika meregangkan betis dengan paha, sehingga lebih dari 90 derajat._
_(Asy Syarhul Mumthi’, 1:579)_

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ  bersabda,
_“Bersikaplah I’tidal ketika sujud.”_
_(HR. Al Bukhari dan Muslim)_

Dari Abu Humaid رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ beliau menceritakan tata cara shalatnya Nabi ﷺ:
_"…Ketika beliau sujud, beliau renggangkan kedua pahanya, *tanpa sedikit pun menyentuhkan paha dengan perut beliau."*_
_(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh As Syaukani dalam Nailul Authar)_

As Syaukani mengatakan: _Hadis ini dalil dianjurkannya *meregangkan kedua paha ketika sujud dan mengangkat perut sehingga tidak menyentuh paha.* Dan tidak ada perselisihan ulama tentang anjuran ini._
_(Nailul Authar, 2:286)_

*7. Meletakkan Ujung-ujung Kaki dan Ditekuk Sehingga Ujung-ujungnya Menghadap Kiblat*
_“Nabi ﷺ meletakkan dua lututnya dan ujung kedua kakinya di tanah.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih, dinyatakan shahih oleh Al Hakim)_

_“Beliau menegakkan kedua telapak kakinya.”_
_(HR. Al Baihaqi dengan sanad shahih) Dan “Beliau memerintahkan (umatnya) untuk melakukannya.”_
_(HR. At Turmudzi, Al Hakim)_

_“Beliau *menghadapkan* punggung kakinya dan ujung-ujung jari kaki ke arah kiblat.”_
_(HR. Al Bukhari dan Abu Daud)_

*8. Merapatkan Tumit*
_“Beliau *merapatkan* kedua tumitnya (ketika sujud).”_
_(HR. At-Thahawi dan Ibn Khuzaimah)_

Melaksanakan Gerakan Sujud Sebagaimana di Atas dengan Sungguh-sungguh
Karena demikianlah sunnah yang diajarkan Nabi ﷺ. Agar shalat kita bisa sempurna maka sunnah yang mulia ini harus kita jaga.

Semoga bermanfaat.
إِنْ شَاءَ اللّٰهُ

Sumber : group diskusi WA
Share:

KOREKSI KESALAHAN DALAM BERSUCI

Hasil gambar untuk wudhu adalahThoharoh secara bahasa artinya adalah bersih, lepas dari segala kotoran baik secara hissi (dilihat atau dirasakan) seperti najisnya air kencing dan lain-lain, maupun secara maknawi seperti bersih dari aib dan maksiat.
Sedangkan secara syar’i, thoharoh artinya menghilangkan apa saja yang bisa mencegah dari sholat berupa hadats ataupun najis dengan menggunakan air (atau lainnya), atau menghilangkan hukumnya dengan tanah.

Dalam syariat, thoharoh memiliki kedudukan yang sangat penting diantaranya adalah bahwa thoharoh adalah merupakan syarat sahnya sholat. Nabi shallallahu shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا تقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

“Tidak diterima sholat salah seorang diantara kalian apabila ia berhadats sampai dia berwudhu.” [HR.Bukhari no.135 dan Muslim no.225] Dalam hadits lain dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول

“Allah subhanahu wa ta'ala tidak menerima shalat yang dilakukan tanpa bersuci dan tidak menerima shadaqah dari hasil penipuan (khianat).” (HR.Muslim no.224) Melaksanakan sholat dengan berthoharoh merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta'alaSelain itu Allah subhanahu wa ta'ala telah memuji orang-orang yang bersuci, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢

“Sesungguhmya Allah subhanahu wa ta'ala mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” [Q.S Al-Baqarah: 222] Meremehkan masalah thoharoh bisa berakibat fatal dan merupakan salah satu sebab siksa kubur.
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati 2 kubur, kemudian beliau bersabda,

إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول

“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa, dan mereka tidak disiksa karena sebab yang besar (menurut pandangan manusia), adapun salah satunya (disiksa) karena dia tidak menjaga diri dari air kencing.” [HR. Bukhari no.216 dan Muslim no.292]
Oleh karena sebab inilah menjadi sangat penting bagi seorang muslim untuk mempelajari bagaimana cara berthoharoh yang benar, agar seorang muslim ketika beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dalam keadaan yang sempurna, sehingga pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala terealisasi dengan baik.

Berikut ini kami persembahkan wahai saudaraku muslim, beberapa kesalahan yang sering dilakukan dalam berthoharoh (bersuci), mudah-mudahan kita bisa meninggalkan kesalahan-kesalahan ini, dan bisa menasehati orang-orang yang terjatuh dalam kesalahan-kesalahan tersebut, agar kita juga bisa meraih pahala dengan menunjukkan orang lain kepada kebaikan.

Melafadzkan niat ketika hendak berwudhu

Niat merupakan syarat sahnya wudhu. Niat adalah kesungguhan dan kesengajaan hati untuk melakukan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan RasulNya.
Niat tempatnya adalah di hati, adapun melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri teladan kita  'alaihi wa sallam. Niat munculnya dari dalam hati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, untuk mengangkat hadats atau yang semisalnya, inilah niat.

Tidak pernah Rasulullah di shallallahu 'alaihi wa sallam wudhunya mengucapkan: “Nawaitul wudhu lirof’il hadats...(Aku berniat wudhu untuk menghilangkan hadas...)” atau yang semisalnya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memulai berwudhu beliau membaca basmalah bukan dengan ucapan lainnya. Maka memulai wudhu dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan perintah beliau. Kalau sekiranya perkara tersebut baik, tentunya sudah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para sahabatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tempat niat adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan imam-imam kaum muslimin pada seluruh ibadah: thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain sebagainya

.” [Majmu’atur Rasail Kubro (1/234)].

Jika perkataan seseorang dengan lisannya berlainan dengan apa yang diniatkan di dalam hatinya, maka yang dianggap adalah apa yang diniatkan oleh hatinya, bukan yang diucapkannya.

Menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala di dalam WC

Hukum membaca Bismillah adalah wajib berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ,

توضؤوا باسم الله

“Berwudhulah dengan membaca Bismillah” [HR. Ahmad, An Nasa’i, Ibnu Hibban]
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لا وضوء لمن لم  يذكر اسم الله عليه

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [Shahih HR.Ahmad (II/418) dan selainnya]
Maka barangsiapa berwudhu tanpa membaca basmalah karena lupa atau tidak tahu terhadap hukumnya maka wudhunya tetap sah. Barangsiapa meninggalkannya karena sengaja maka wudhunya batal, menurut salah satu pendapat dari dua pendapat para ulama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه لا
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya.” [HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dari jalan yang banyak yang saling menguatkan). Fatwa Lajnah Daimah (v/203-204, fatwa no.7757)].
Syaikh Muhammad bin Shohih al Utsaimin rahimahullah ditanya, “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi, bagaimana cara membaca basmalah?”

Beliau menjawab: “Jika seseorang berada di dalam kamar mandi maka dia harus membaca basmalah di dalam hati bukan dengan lisannya karena kewajiban membaca basmalah dalam wudhu dan mandi tidak harus diucapkan dengan keras, wallahu a’lam.” [Fatawa Arkanil Islam no.130]

Meninggalkan istinsyaq dan istinsar

Meninggalkan istinsyaq dan istintsar. Istinsyaq adalah menghirup air lewat hidung sampai ke pangkal hidung, dan istintsar adalah mengeluarkan air yang dihirup tadi dari hidung. Sebagian kaum muslimin ketika bewudhu hanya memasukan jarinya yang basah ke dalam hidung, dan ini tentunya menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau memerintahkan untuk beristinsyaq dan beristintsar. Dalil tentang istinsyaq dan istintsar adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء ثم ليستنثر

“Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu hendaknya menjadikan air di dalam hidungnya (menghirupnya) kemudian hendaknya ia beristintsar (semburkanlah).” [HR. Bukhari no.161 dan Muslim no.237]
Dalam hadits Laqith bin Shabirah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما

“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung) kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” [HR.Abu Dawud no.142 dan At-Tirmidzi no.38]

Tidak membasuh sisi mukanya dengan sempurna

Membasuh wajah merupakan salah satu rukun wudhu, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ ٦

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian.” [QS.Al Maidah: 6] Batasan wajah yang harus dibasuh adalah antara tempat tumbuhnya rambut (di atas dahi/kening) sampai tempat tumbuhnya jenggot dan dagu, dan dari pinggir telinga sampai pinggir telinga yang lainnya, dan masuk pula sendi-sendi antara jenggot dan telinga.

Imam Bukhari dan Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Humran bin Aban radhiyallahu 'anhu bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu meminta air wudhu, lalu menyebutkan sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata: ”Kemudian membasuh wajahnya tiga kali.”

Tidak meyempurnakan membasuh kedua tangan sampai siku

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ٦

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian dan  tangan kalian sampai siku.” [QS.Al Maidah :6] Yang perlu diperhatikan adalah

bahwa lafazh “Ila (sampai)” adalah bermakna “ma’a (bersama)”.
Artinya adalah bahwa kedua siku termasuk bagian dari tangan yang harus dicuci, dan ini juga merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Maka batasan tangan yang harus dicuci adalah dari ujung-ujung jari tangan sampai kedua siku (bersama siku).

Hanya mengusap ujung kepala/ tengahnya saja

Para ulama bersepakat bahwa mengusap kepala termasuk diantara fardhunya wudhu, mereka hanya berselisih dalam hal bagian yang harus dibasuh, apakah seluruhnya ataukah sebagian saja.
Pendapat yang lebih rajih (kuat) -Allahu a’lam- adalah mengusap seluruhnya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala,
وامسحوا  برؤوسكم

“Dan usaplah kepalamu.” [QS.Al-Maidah : 6] Huruf ba’ dalam ayat ini adalah lil ilshaq (untuk melekatkan) jadi makna ayat tersebut “usaplah kepalamu” mencakup seluruh bagian kepala.
Hal yang lebih menguatkan pendapat ini adalah praktek wudhu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam  dan ternyata beliau mengusap seluruh kepalanya sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim melalui sahabat Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu.

Mengusap kepala lebih dari sekali

Ini bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau selalu mengusap kepalanya hanya satu kali, sebagaimana yang telah tsabit dalam hadits ‘Ali radhiyallahu 'anhu tentang sifat wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  berwudhu dengan mengusap kepalanya satu kali, kemudian ia berkata: “Siapa yang ingin melihat bersucinya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, seperti inilah cara beliau bersuci.” [Shahih HR.Abu Dawud dan An-Nasai]
Imam Abu Daud radhiyallahu 'anhu berkata, “Hadits-hadits yang shohih dari ‘Utsman radhiyallahu 'anhu seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali.” ([unan Abi Dawud no.108]

Tidak membasuh tumit dan tidak menyela-nyela jari-jemari tangan dan kaki

Tidak sempurna dalam membasuh anggota wudhu dan mengakibatkan ada sebagian anggota wudhu yang tidak terbasuh oleh air.

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dari kami dalam satu perjalanan safarnya, beliau lalu menyusul kami sedang ketika itu kami terpaksa menunda waktu Ashar sampai menjelang akhir waktunya, maka kami mulai berwudhu dan membasuh kaki-kaki kami. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhu melanjutkan, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan suara yang keras,
ويل للأعقاب من النار
“Celakalah tumit-tumit (yang tidak terbasuh air ketika berwudhu) dari api neraka.”
Dan dari Khalid bin Mi’dan dari sebagian istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mengenai menyela-nyela jari-jemari Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda,
إذا توضأ فخلل بين أصابع يديك ورجليك

“Jika engkau berwudhu, maka sela-selalah jari jemari tangan dan kakimu.” [Shahih HR.At-Tirmidzi no. 39 dan selainnya].
Caranya adalah menyela-nyela jari-jemari tersebut dengan menggunakan jari kelingking tangan kiri dan dimulai dari bagian bawah jari-jemarinya.

Berdoa ketika membasuh anggota wudhu

Seperti perkataan sebagian orang ketika membasuh tangan kanannya: ”Allahumma A’thinii Kitaabii bi Yamiinii (Ya Allah berikanlah kepadaku catatan amalku pada hari kiamat dengan tangan kanan)”. Dan ketika membasuh wajahnya berkata: ”Allahumma Bayyidh Wajhii Yauma Tabyadhdhu Wujuh (Ya Allah putihkanlah (bersinar dan cerah) wajahku pada hari di mana wajah-wajah menjadi putih)” sampai akhir, mereka berdalil dengan hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu, didalamnya disebutkan bahwa Rasulullah 'alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Anas mendekatlah kepadaku, aku akan mengajarimu batasan-batasan wudhu, maka aku mendekat kepada beliau. Maka ketika beliau mencuci tangannya beliau membaca,

بسم الله والحمد لله ولا حول ولا قوة إلا بالله

“Bismillah wal hamdulillah wala haula wala quwata illa billah.” Imam Nawawi r berkata, ”Ini adalah doa yang tidak ada asal-usulnya.”
Imam Ibnu Shalah rahimahullah berkata, ”Tidak shahih hadits dalam masalah ini.”

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, ”Tidak dinukil dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengucapkan sesuatu dalam wudhunya selain bismillah, dan setiap hadits tentang dzikir (bacaan-bacaan) ketika wudhu maka itu adalah dusta dan sesuatu yang mengada-ada yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga beliau tidak pernah mengajarkannya kepada ummatnya. Dan tidak tsabit dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain bacaan bismillah di awal wudhu dan doa berikut ini di akhir wudhu,

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له .. وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ..اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين

Anggota-anggota Lajnah Daimah berkata, ”Tidak tsabit dari Nabi  'alaihi wa sallam bacaan-bacaan doa yang dibaca ketika wudhu, dan apa yang dibaca oleh orang-orang pada umumnya dari bacaan-bacaan ketika wudhu maka hal itu adalah bid’ah.”

Waswas dengan menambah jumlah cucian (mencuci anggota wudu) lebih dari tiga kali
Ini adalah waswas dari setan, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang tsabit dalam Shohih Bukhari bahwa Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah membuang semua waswas dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolak waswas yang merupakan salah satu dari tipuan setan.

Keyakinan sebagian orang  bahwa  wudhu tidak sempurna kecuali dengan membasuh tiga kali-tiga kali
Keyakinan sebagian orang bahwa wudhu tidak sempurna kecuali jika dilakukan tiga kali-tiga kali, maksudnya membasuh masing-masing anggota wudhu sebanyak tiga kali. Ini adalah keyakinan yang salah. Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di dalam kitabnya ‘Bab Wudhu Sekali-Sekali’ kemudian membawakan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu,

توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مرة مرة

“Nabi 'alaihi wa sallam berwudhu sekali-sekali.” [HR. Bukhari no.157] Kemudian Imam Al Bukhari berkata lagi, ’Bab Wudhu Dua Kali-Dua Kali’, kemudian membawakan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu,

أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dua kali-dua kali.” [HR.Bukhari no.158] Beliau juga berkata, ’Bab Wudhu Tiga Kali-Tiga Kali’, kemudian beliau membawakan hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu,

كان يغسل الأعضد ثلاثا ثلاث

“Adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh anggota wudhunya tiga kali-tiga kali.” [HR.Bukhari no.159].
Maka hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya berwudhu dengan basuhan sekali-sekali, dua kali-dua kali, dan tiga kal-tiga kali.

Berlebihan dalam memakai air

Ini adalah terlarang berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta'ala,

ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. [QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31] Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل - أو كان يغتسل - بالصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد

“Dahulu Rasulullah ﷺ mandi dengan satu sha’ (empat mud) sampai lima mud, dan berwudhu dengan satu mud.” [HR.Bukhari no.201].  Satu mud sekitar dua genggam telapak tangan.

Imam Al Bukhari rahimahullah berkata di awal Kitab Wudhu dalam kitab Shahihnya, ”Para ulama memakruhkan (membenci) perbuatan boros dalam berwudhu dan melebihi perbuatan Nabi 'alaihi wa sallam .”
Dan termasuk sikap boros adalah membuka kran air besar-besar ketika berwudhu, membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali, dll.

Dan semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad radhiyallahu 'anhu tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka beliau bersabda kepadanya,
“Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air”, maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”, beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya”. [HR. Ahmad]

Keyakinan tidak boleh mengeringkan anggota tubuh dengan handuk, sapu tangan, dan sejenisnya setelah bersuci

Pendapat yang benar adalah hukumnya boleh karena tidak ada hal yang melarangnya, kalaupun ada haditsnya seperti hadits Maemunah radhiyallahu 'anha yang membawakan handuk setelah mandi junub dan ditolak oleh Nabi 'alaihi wa sallam maka hadits tersebut masih mengandung banyak kemungkinan.

Bahkan dalam riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha

كان لرسول الله حرقة ينشف بها بعد الوضوء

“Rasulullah ﷺ mempunyai handuk yang biasa dipakai untuk menyeka sesudah wudhu.” [HR.Tirmidzi no.53, dan beliau melemahkannya, tapi imam Al Aini menyebutkan bahwa An Nasai meriwayatkan dalam kitab Al Kuna dengan sanad shahih. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih al Jamius Shaghir no 4830]

Tidak berwudhu lagi setelah tertidur pulas

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

العين وكاء السه فمن نام فليتوضأ

“Mata itu pengikat dubur, maka barangsiapa yang tidur hendaknya ia berwudhu.” [Hadits hasan HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah] Sebagian orang tertidur di masjid, kemudian apabila iqamat dikumandangkan dia dibangunkan oleh orang di sebelahnya lalu langsung bangkit shalat tanpa berwudhu lagi. Orang yang seperti ini wajib baginya untuk berwudhu, karena dia lelap dalam tidurnya, dan diduga kuat tidurnya penyebab hadats. Adapun kalau dia sekedar mengantuk dan tidur ringan sehingga masih mengetahui siapa yang ada di sekitarnya, maka tidak wajib baginya untuk berwudhu lagi.

Memulai membasuh anggota wudhu dari bagian kiri terebih dahulu
Ini juga merupakan kesalahan yang sering terjadi, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إذا لبستم وإذا توضأتم فابدأوا بأيامنكم

“Apabila kalian mengenakan pakaian dan apabila kalian berwudhu, maka mulailah dari bagian kanan anggota tubuh kalian.”  [Shahih HR. Abu Dawud dan selainnya] Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam  juga menyukai mendahulukan bagian kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam semua urusannya.

Melakukan tayamum padahal ada air dan dia mampu menggunakannya
Ini adalah kesalahan yang sangat jelas, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا ٤٣

“Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci.” [QS. An Nisaa’: 43]
Maka ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa tayamum tidak diperbolehkan kalau air tersedia dan dia mampu menggunakannya.

Wallahu a’lam

Diambil dari buletin Syiar Tauhid

Diambil Dari Buletin Tauhid Masjid Al-Muhajrin Wal Anshar

https://buletin.tauhid.or.id/2018/12/koreksi-kesalahan-dalam-bersuci.html

✒ Editor : Admin Asy-Syamil.com
Share:

Merekalah Orang-Orang Yang Mencintai Nabi

Hasil gambar untuk padang pasirCinta Nabi. Kalimat sederhana yang begitu dalam maknanya. Dua kata yang bisa membuat orang menebusnya dengan dunia dan seisinya. Karena memang demikianlah hakikinya. Nabi Muhammad ﷺ wajib lebih dicintai dari orang tua, istri, anak, dan siapapun juga.

Namun, kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sesuatu yang bebas ekspresi. Tetap ada aturan yang indah dan elegan. Tidak boleh berlebihan dan juga menyepelekan. Tidak boleh mengada-ada. Karena beliau begitu mulia untuk dipuja dengan sesuatu yang bukan dari ajarannya.

Allah ﷻ berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 69).

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini turun terkait dengan kisah Tsauban bin Bujdad radhiallahu ‘anhu bekas budak Rasulullah ﷺ. Ia sangat mencintai Nabi ﷺ. Suatu hari ia menemui Nabi ﷺ, rona wajahnya berbeda. Menyiratkan kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh.

Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apa yang membuat raut wajahmu berbeda (dari biasa)’?

‘Aku tidak sedang sakit atau kurang enak badan. Aku hanya berpikir, jika tak melihatmu, aku sangat takut berpisah denganmu. Perasaan itu tetap ada, hingga aku melihatmu. Kemudian aku teringat akhirat. Aku takut kalau aku tak berjumpa denganmu. Karena engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan aku, seandainya masuk surga, aku berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya aku tidak masuk surga, maka aku takkan melihatmu selamanya’, kata Tsauban radhiallahu ‘anhu.

Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini.

Mereka Yang Mencintai Nabi

Suatu hari, Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, sedang berkebun di perkebunannya. Kemudian anaknya datang, mengabarkan kalau Nabi ﷺ telah wafat. Ia berucap,

اللهم أذهب بصري تى لا أرى بعد حبيبي محمدًا أحدًا

“Ya Allah, hilangkanlah penglihatanku. Sehingga aku tidak melihat seorang pun setelah kekasihku, Muhammad.” Ia katupkan dua tapak tangannya ke wajah. Dan Allah ﷻ mengabulkan doanya (Syarah az-Zarqani ‘ala al-Mawahib ad-Diniyah bi al-Manhi al-Muhammadiyah, Juz: 8 Hal: 84).

Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para sahabat melebihi memandang wajah Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Zaid ingin, pandangan terakhirnya adalah wajah Nabi. Saat memejamkan mata, ia tak ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin muncul wajah yang mulia itu.

Bilal radhillahu ‘anhu, seorang sahabat dari Habasyah. Muadzin Rasulullah ﷺ. Cintanya pada sang Nabi terus bertumbuh hingga maut datang padanya. Sadar akan kehilangan Bilal, keluarganya bersedih dan mengatakan, “Betapa besar musibah”!

Bilal menanggapi, “Betapa bahagia! Esok aku berjumpa dengan kekasih; Muhammad dan sahabat-sahabatnya.” (Rajulun Yatazawwaju al-Mar-ata walahu Ghairuha, No: 285)

Cinta sahabat Nabi telah membuat kita malu. Cinta mereka begitu tulus. Tak jarang cinta kita hanya mengaku-ngaku.

Al-Hawari, Abdullah bin Zubair. Apabila ada yang menyebut Nabi ﷺ di sisi Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu, ia menangis tersedu, hingga matanya tak mampu lagi meneteskan rindu dan kesedihan (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 402).

Demikian juga dengan sahabiyat (sahabat wanita). Cinta mereka kepada Rasululllah ﷺ tak kalah hebatnya dari sahabat laki-laki. Ada seorang wanita Anshar; ayah, suami, saudara laki-lakinya gugur di medan Perang Uhud. Bayangkan! Bagaimana perasaan seorang wanita kehilangan ayah, tempat ia mengadu. Kehilangan suami, tulang punggung keluarga dan tempat berbagi. Dan saudara laki-laki yang melindungi. Ditambah, ketiganya pergi secara bersamaan. Alangkah sedih keadaannya.

Mendengar tiga orang kerabatnya gugur, sahabiyah ini bertanya, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah ﷺ”?

Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik.”

Wanita Anshar itu memuji Allah dan mengatakan, “Izinkan aku melihat beliau.” Saat melihatnya ia berucap,

كل مصيبة بعدك جلل يا رسول الله

“Semua musibah (selain yang menimpamu) adalah ringan, wahai Rasullah.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz: 3 Hal: 43).

Maksudnya apabila musibah itu menimpamu; kematian dll. Itulah musibah yang berat.

Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Taka da seorang pun yang lebih aku cintai melebih Rasulullah. Dan tak ada seorang pun yang lebih mulia bagiku selain dirinya. Aku tidak pernah menyorotkan penuh pandanganku padanya, karena begitu menghormatinya. Sampai-sampai jika aku ditanya, tentang perawakannya, aku tak mampu menggambarkannya. Karena mataku tak pernah memandangnya dengan pandangan utuh.” (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman No: 121).

Sebagaimana kita saksikan, seorang pengawal kerajaan menundukkan wajahnya ketika berbicara dengan sang raja. Karena menghormati dan memuliakan rajanya. Amr bin al-Ash lebih-lebih lagi dalam memuliakan dan mengagungkan Nabi ﷺ.

Adakah pengagungan yang lebih hebat dan lebih luar biasa. Selain pengagungan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ terhadap beliau?

Cinta Nabi Harus Mencintai Sahabatnya

Mencintai Nabi ﷺ berkonsekuensi mencintai sahabatnya. Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, “Ada dua jalan, siapa yang berada di atasnya, ia selamat. Ash-shidqu (jujur) dan mencintai sahabat Muhammad ﷺ.” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 413).

Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (tokoh tabi’in) mengatakan, “Siapa yang mencintai Abu Bakar, ia telah menegakkan agama. Siapa yang mencintai Umar, ia telah memperjelas tujuan. Siapa yang mencintai Utsman, ia telah meminta penerangan dengan cahaya Allah. Dan siapa yang mencintai Ali, ia telah mengambil tali yang kokoh. Siapa bagus sikapnya terhadap sahabat Muhammad ﷺ, ia telah berlepas diri dari kemunafikan. Siapa yang merendahkan salah seorang dari mereka, ia adalah seorang ahli bid’ah yang menyelisihi Sunnah dan salaf ash-shaleh. Aku khawatir amalnya tidak naik ke langit (tidak diterima), hingga ia mencintai semua sahabat. Dan hatinya bersih terhadap mereka.” (ats-Tiqat oleh Ibnu Hibban No:680).

Mencintai Rasulullah ﷺ adalah kedudukan mulia. Umat Islam berlomba-lomba mencintai beliau. Kecintaan kepada beliau menguatkan hati. Gizi bagi ruh. Dan penyejuk jiwa. Mencintai beliau adalah cahaya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Kita melihat orang-orang yang cinta nabi, mata mereka berbinar bahagia. Jiwa mereka syahdu. Hati mereka tenang. Mereka menikmati rasa cinta itu. mereka menjadi mulia di dunia dan berbahagia di akhirat. Mereka tahu bagaimana rasa yang namanya bahagia itu. Keadaan sebaliknya bagi mereka yang tidak mencintai Nabi. Mereka merasakan kegundahan. Jiwa yang hampa. Perasaan yang sakit. Dan rugi.

Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah, mengatakan, “Maksudnya adalah sekadar mana seseorang mengikuti Rasul. Setingkat itu pula kadar kemuliaan dan pertolongan. Sebatas itu pula kualitas hidayah, kemenangan, dan kesuksesan. Allah ﷻ memberi hubungan sebab-akibat, kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan mengikuti Nabi. Dia menjadikan kesengsaraan di dunia dan akhirat bagi yang menyelisihi sang Nabi. Mengikutinya adalah petunjuk, keamanan, kemenangan, kemuliaan, kecukupan, kenikmatan. Mengikutinya adalah kekuasaan, teguh di atasnya, kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Menyelisihinya adalah kehinaan, ketakutan, kesesatan, kesengsaraan di dunia dan akhirat.”

Renungan

Setelah mengetahui bagaimana hebatnya cinta dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah ﷺ, tentunya kita semakin bersemangat untuk meneladani cara mereka mencintai Nabi. Cara yang tidak berlebihan dan tidak menyepelekan. Cara mereka mencintai diridhai oleh Nabi.

Mereka menangis, tidak berani menyorotkan pandangan, bahagia dengan keselamatan beliau, dll. tapi mereka tak pernah melakukan perayaan maulid Nabi yang dianggap bukti cinta padanya. Mereka tak pernah merayakan suatu ‘amalan’ di hari kelahiran sang tauladan yang katanya adalah pengagungan.

Apakah kita yang belajar dari mereka cara mencintai Nabi ataukah sebaliknya?

Demikianlah kita anak-anak akhir zaman. Sering menyebut cinta, tapi kita tak tahu apa artinya mencintai. Akhirnya, semakin marak perayaan, umat tak kunjung juga mengkaji hadits-hadits Nabi. Lihatlah sekitar kita sebagai renungan dan bukti.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Read more https://kisahmuslim.com/5735-merekalah-orang-orang-yang-mencintai-nabi.html

Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages