Hafshah binti Umar bin Khaththab

Mawar, Bunga yang Indah Dipandang dan Enak Dimakan
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”

Sayyidah Hafshah radhiallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalarn membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Memeluk Islam

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksu

d Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam, serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi put

rinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Berada di Rumah Rasulullah

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah radhiallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.

Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang t

ersebar.

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

Cobaan Besar

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karen

a anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Sumber: Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Share:

Perjalanan Hidup Seorang Tokoh Reformis Arab Saudi


Pelajari Semua Tentang Sahara, Desert Hot Terbesar di DuniaPertolongan Dari 

Setelah terusir dan dikhianati di Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pergi menuju Dir’iyyah. Saat itu tahun 1157 M, Dir’iyyah dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Di Dir’iyyah, Syaikh bertamu di rumah Abdullah bin Suwailim dan Ahmad bin Suwailim. Dua orang ini merupakan kerabat sekaligus muridnya. Awalnya kedua orang ini takut kalau Amir Muhammad bin Saud akan menyakiti atau menghukum mereka karena menerima Syaikh sebagai tamu (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/11).Tapi Syaikh meyakinkan mereka dengan pertolongan dan penjagaan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Allah akan menjadikan untuk aku dan kalian jalan keluar.” (Ibnu Bisyr:Unwanul Majdi, 1/11).

Pemimpin Dir’iyyah, Muhammad bin Saud, memiliki dua orang saudara; Tsunyan dan Misyari. Keduanya telah mendengar dan menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibnu Saud juga memiliki seorang istri yang cerdas dan religius. Namanya Maudha binti Abi Wahthan rahimahallah. Sang istri juga meyakini bahwa materi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran pemurnian Islam. Kedua saudara Muhammad bin Saud datang menemuinya dan mengatakan, “Laki-laki ini (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah ‘durian jatuh’ yang Allah berikan padamu. Manfaatkanlah apa yang khusus Allah anugerahkan padamu ini (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24).

Keduanya memotivasi Muhammad bin Saud untuk menyambut kedatangan Muhammd bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Saud juga dikenal sebagai seorang yang berakhlak baik dan mudah dalam menerima kebenaran. Tak menunggu lama, ia segera pergi bersama dua orang saudaranya menemui Muhammad bin Abdul Wahhab di rumah Ahmad bin Suwailim.

Ibnu Saud mengucapkan salam dan menunjukkan penghormatannya. Ia kabarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ia akan membelanya seperti membela istri-istrinya dan anak-anaknya. Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan materi dakwahnya. Semuanya adalah apa yang diajarkan dan didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Yang ia ajarkan adalah apa yang Rasulullah perintah dan larang. Ia jelaskan bahwa bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Ia juga sampaikan bahwa Allah akan memuliakan orang-orang yang berjihad. Dan persaudaraan yang hakiki hanyalah dengan Islam. Setelah Muhammad bin Saud mengetahui apa itu tauhid. Mengetahui juga maslahat yang dibawanya di dunia dan akhirat. Ia berkata kepada Syaikh, “Syaikh, sesungguhnya agama Allah dan Rasul-Nya ini tak ada keraguan di dalamnya. Bergembiralah dengan pertolongan untukmu dan untuk apa yang kau dakwahkan. Dan jihad bagi mereka yang menyelisihi tauhid.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 87).

Allah membuat dada Muhammad bin Saud lapang menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhb. Tidak hanya menerima, bahkan ia nyatakan sikap tegas untuk membantunya dan melawan mereka yang menentangnya. Namun, Ibnu Saud memberikan dua syarat. Pertama: Muhammad bin Abdul Wahhab harus berjanji agar tidak menikungnya (merebut kekuasaannya) jika Allah telah memenangkannya dan mengokohkan dakwahnya. Kedua: Syaikh tidak boleh melarangnya memungut pajak bumi (kharaj) yang telah ia tetapkan untuk penduduk Dir’iyyah di waktu panen.

Syaikh menanggapi, “Poin pertama, darah dengan darah. Pengkhianatan dibalas kehancuran. Dan poin kedua, aku berharap Allah memberikan kepadamu penaklukkan. Dan memberikan padamu banyak ghanimah. Dan itu lebih baik dari kharaj tersebut.”

Artinya, Syaikh menyepakati poin pertama dan menolak poin kedua. Perhatikanlah akhlak beliau. Beliau tolak dengan sopan. Bahkan dengan optimisme, harapan, dan doa agar diberikan yang lebih baik. Beliau tidak membenarkan pajak tersebut. Beliau tidak menoleransi kesalahan walaupun dalam keadaan membutuhkan bantuan. Beliau bukanlah penjilat yang menghalalkan segala cara untuk mendapat simpati. Memaklumi kesalahan demi tercapai tujuan dakwah. Tidak.

Muhammad bin Saud pun membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk sama-sama berdakwah kepada Allah. Berjihad di jalan-Nya. Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramar makruf nahi mungkar. Dan menegakkan syariat Allah di tengah masyarakat (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 88).

Setelah peristiwa pembaiatan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tinggal selama dua tahun di Dir’iyyah. Ia berdakwah dan membimbing masyarakat di sana. Dalam masa itu pula datang orang-orang dari Uyainah yang juga mendukung dakwahnya. Di anatara mereka: Abdullah bin Muhsin. Kemudian dua orang saudaranya; Zaid dan Sulthan alu Ma’mar. Hadir pula Abdullah bin Ghanam dan saudaranya Musa. Bersama mereka juga turut hijrah tokoh-tokoh keluarga Ma’mar yang berbeda pendapat dengan Utsman bin Ma’mar di Uyainah. Selain itu datang juga utusan-utusan dari penjuru wilayah Nejd.

Penduduk Dir’iyyah yang terdepan dalam mendukung dakwahnya adalah Tsunyan bin Saud, Misyari bin Saud, Farhan bin Saud, Syaikh Ahmad bin Suwailim, Syaikh Isa bin Qasim, Muhammad al-Hazimi, Abdullah bin Dughaitsir, Sulaiman al-Wusyaiqiri, Hamd bin Husein, dan saudaranya Muhammad bin Husein, dll.  Seorang orientalis, Harry St John Bridger Philby, menyebut mereka dengan mengatakan, “Mereka ini adalah tokoh-tokoh utama wahabi. Nama-nama mereka disebutkan dengan pemuliaan. Anak keturunan mereka mendapat penghormatan dan pemuliaan di istana kerajaan.”

Penyesalan Utsman bin Ma’mar

Perkembangan pesat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terdengar oleh Utsman bin Ma’mar, pemimpin Uyainah. Ratusan orang telah mengikuti dakwahnya. Utsman pun menyesali apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia telah menodai hak Syaikh Muhammad. Akhirnya, ia datang menemui Syaikh dengan membawa para pembesar Uyainah. Ia meminta maaf. Dan memintanya agar bersedia kembali ke Uyainah. Syaikh menjawab bahwa ia telah berjanji untuk bersama Muhammad bin Saud. Janji wajib ditunaikan. Muhammad bin Saud pun menolak kalau Syaikh kembali ke Uyainah. Utsman pulang dengan kecewa. Ia telah menyia-nyiakan kebaikan yang ada di tangannya (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24-25).

Dakwah semakin tersebar. Para pelajar pun berdatangan menuju Dir’iyyah untuk menimba ilmu dari Syaikh. Mereka mempelajari ilmu akidah, Alquran, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadits dan mustholahnya, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan sejarah, dll.

Dir’iyyah Ibu Kota Dakwah

Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawa berkah bagi Dir’iyyah. Bukan hanya bagi penduduknya, tapi juga bagi kehidupan kota itu sendiri. Bukan hanya dari sisi religius, tapi juga dari sisi duniawi. Kota itu menjadi hidup dengan banyaknya orang datang untuk belajar. Geliat aktivitas ekonomi tumbuh seiring kedatangan para perantau. Tata hukum yang menggunakan pemahaman Asy’ariyah diganti dengan hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pajak dihapuskan dan zakat dihidupkan. Kekacauan pun berganti keamanan. Budaya pengajian agama semakin semarak.

Di saat itu pula Dir’iyyah memerangi buta huruf. Diharuskan bagi masyarakat untuk belajar membaca dan menulis berapapun usia mereka. Betapapun tinggi kedudukan mereka. Harus sama-sama duduk belajar. Masyarakat juga diajarkan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama dengan pengkajian yang mendalam. Semangat jihad dihidupkan. Pemikiran-pemikiran khurofat, semangat ibadah tanpa dalil, dan budaya taklid diberangus. Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah pemahaman Islam yang sahih. Sebagaimana pemahamannya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keadaan Dir’iyyah kala itu mengingatkan kita akan momen-momen saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membangun Kota Madinah setelah hijrah (Muhammad Hamin al-Faqi: Atsar ad-Da’wah al-Wahabiyah, Hal: 6-7).

Berjihad

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak hanya berdakwah dengan ceramah dan menulis buku. Tapi ia juga menempuh metode nabawi dengan cara surat-menyurat. Ia kirimi surat kepada kepala daerah, negara, dan kabilah tetangga. Menyeru mereka untuk menauhidkan Allah. Berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan yang tersebar di tengah mereka. Beliau jelaskan dengan dalil-dalil yang mudah ditangkap. Yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Respon mereka terhadap dakwah tersebut beragam. Bahkan sampai ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin. Tidak cukup dengan tuduhan, mereka nyatakan permusuhan. Mereka siapkan pasukan untuk memerangi dakwahnya. Hal ini karena kemarahan mereka saat melihat sebagian kabilah menerima dakwahnya.

Muhammad bin Abdul Wahhab tidak meragukan kesungguhan Muhammad bin Saud dalam memperjuangkan dakwah sunnah. Namun, ia belum mengetahui bagaimana keadaannya kalau harus sampai berperang. Akhirnya ujian ini datang, musuh menantang untuk berperang. Dan Muhammad bin Saud tetap memegang teguh janjinya. Membela dakwah tauhid ini. Padahal Dir’iyyah adalah negeri kecil. Penduduknya tidak lebih dari 1000 orang. Jumlah rumah yang ada di sana tidak lebih dari 70 rumah. Meskipun sedikit, tapi mereka tetap berani membela akidah yang benar.

Tidak menunggu lama, hanya dua tahun saja Syaikh tinggal di Dir’iyyah, kampung tersebut diserang oleh negeri-negeri lainnya. Jihad pun dimulai sejak tahun 1160 H. Mereka menghadapi Diham bin Duwas yang memimpin penduduk Riyadh dan Duba. Dalam pertempuran ini, dua orang purta Muhammad bin Saud, Faishal dan Saud, gugur.

Masa Kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud

Muhammad bin Saud terus menunjukkan loyalitasnya terhadap dakwah tauhid. Ia menghadapi musuh-musuh dakwah dengan kekuatannya hingga ia wafat pada tahun 1179 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Kepemimpinan pun diserahkan kepada putranya, Abdul Aziz. Abdul Aziz tetap meneruskan perjuangan sang ayah. Setiap permasalahan yang ia hadapai, selalu ia ajak Muhammad bin Abdul Wahhab diskusi untuk mencari solusi. Bahkan ia tidak akan memutuskan suatu masalah kecuali dengan persetujuan Syaikh (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 96-97).

Peperangan dengan Riyadh dan wilayah-wilayah yang memusuhi dakwah terus berlangsung hingga di masa pemerintah putra Muhammad bin Saud, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Hingga akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun berperang dengan Riyadh, Abdul Aziz bin Muhammad berhasil menalukkan Riyadh pada tahun 1187 H. Setelah berhasil menaklukkan Riyadh, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Isi surat tersebut sebagai berikut:

أُحِبُّ لك ما أحبُّ لنفسي، وقد أراك الله في عَدُوِّك ما لم تؤمِّل، فالذي أراه لك أن تُكثر من قول الحسن البصري؛ كان إذا ابتدأ حديثه يقول: اللهم لك الحمد بما خلقتنا ورزقتنا وهديتنا وفرَّجْتَ عنَّا، لك الحمد بالإسلام والقرآن، ولك الحمد بالأهل والمال والمعافاة، كبَّتَّ عَدُوَّنَا، وبسطت رزقنا، وأظهرتَ أمننا، وأحسنتَ معافاتنا، ومِنْ كل ما سألناك ربنا أعطيتنا، فلك الحمد على ذلك حمدًا كثيرًا طيِّبًا حتى ترضى، ولك الحمد إذا رضيت”.

Aku menyukai hal-hal baik untukmu sebagaimana aku suka kalau hal itu untukku. Dalam permasalahan musuh-musuhmu ini, Allah telah menunjukkan padamu sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Menurutku, sepantasnya Anda memperbanyak ucapan seperti yang diucapkan Hasan al-Bashri, ‘Ya Allah, untukmulah pujian karena Engkau telah menciptakan kami. Memberi kami rezeki. Memberi kami hidayah. Memberi kami jalan keluar. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat Islam dan Alquran. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat keluarga, harta, dan kesehatan. Engkau kalahkan musuh kami. Engkau lapangkan rezeki kami. Engkau berikan kami keamanan. Engkau sempurnakan kesehatan kami. Dan segala puji bagi-Mu hai Rab kami, atas segala permintaan yang kami ajukan dan Kau kabulkan. Segala puji bagi-Mu pada semua itu. Pujian yang banyak dan yang baik sampai Kau meridhainya. Dan segalah puji juga bagi-Mu yang telah meridhainya’.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 139).

Surat ini mengandung pelajaran akidah yang agung. Syaikh mengajarkan hanya kepada Allah sematalah rasa syukur diajukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nikmat besar kemenangan ini. Beliau ajarkan ini sebagai praktik dari apa yang dipelajari selama ini. Jangan sampai rasa bangga diri sempat masuk di hati Abdul Aziz. Karena itu, ia nasihati langsung setelah Abdul Aziz dikaruniai kemenangan besar.

Musuh lainnya adalah Urai’ir bin Dujain, penguasa Ahsa’. Sebelumnya, pada tahun 1172 H, Urai’ir berhasil menaklukkan Huraimila. Urai’ir dikenal sebagai seorang yang bengis. Kalau dia membunuh, maka semua orang yang terlibat melawannya akan ia habisi walaupun sudah menyerah. Ia senantiasa mengintai Dir’iyyah dan menunggu kesempatan untuk menyerang wilayah kecil itu.

Pada tahun 1178 H, ia memimpin pasukan besar menuju Dir’iyyah. Banyak penduduk desa-desa dan kota-kota bergabung dengannya menuju ibu kota dakwah tauhid itu. Setiap pasukan ini melewati kampung atau kabilah, maka semuanya mendukung pasukannya. Dir’iyyah pun dikepung selama 20 hari bahkan lebih. Namun, pasukan-pasukan dakwah memberikan perlawanan dan tak mau menyerah. Sampai akhirnya Allah memasukkan rasa takut di dada-dada pasukan Urai’ir. Berkat pertolongan Allah, mereka pun berbalik mundur dan menderita kerugian (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 94-96).

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Saudaranya, Sulaiman

Sebagaimana yang masyhur, dan sempat kita singgung di awal tulisan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berselisih paham dengan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Perselisihan ini muncul karena tuduhan-tuduhan bohong dan hasad kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Biasanya para penentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab akan membawakan kisah perseteruannya dengan saudaranya, Sulaiman. Agar terkesan dakwah ini tertolak sejak awal. Namun mereka menutupi apa yang terjadi antara keduanya di kemudian hari. Pada tahun 1190 H, Sulaiman bin Abdul Wahhab rujuk dari kesalahannya atas saudaranya. Ia menulis sebuah risalah yang juga sudah dicetak dengan judul ash-Shawa-iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Musuh-musuh dakwah tauhid tutup mulut, tak pernah menyebut risalah ini. Mereka malu untuk menyebutkan fakta sejarah tentang rujuk dan taubatnya Sulaiman bin Abdul Wahhab atas tuduhannya terhadap saudaranya (an-Nadwi: Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 61).

Para musuh dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab sadar, dakwah ini terus besar dan tumbuh. Sulit bagi mereka menghadapinya dengan kekerasan. Karena itu, mereka menempuh cara lainnya. Mereka membuat-buat fitnah jahat atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara mereka yang menempuh cara itu adalah Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim. Ia kirim surat berisi fitnah ke Ahsa dan daerah-daerah di Teluk. Dan tuduhan itu dibantah oleh Syaikh dengan risalah-risalah yang berisikan argumentasi yang kuat. Selain Sulaiman bin Muhammad, banyak para penguasa dan pemimpin Arab yang turut serta memfitnah dakwah Muhammad bin Abdullah Wahhab. Mereka lakukan itu untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 80-85).

Akhlak dan Ibadah Muhammad bin Abdul Wahhab

Di antara kebiasaan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menghidupkan sebagian besar waktu malam untuk mengerjakan shalat. Ia adalah seorang yang tenang dan teliti dalam memutuskan hukum. Tidak mengedepankan hawa nafsu dari wahyu. Kalau ia mendapati ada keterangan dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu permasalahan, ia berpegang pada keduanya dan tidak condong pada selainnya. Kalau tidak mendapati keterangan dari Alquran dan hadits, ia merujuk kepada pendapat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Kemudian mengkajinya, mana yang lebih mendekati Alquran dan sunnah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang zuhud dan afif(menjaga kehormatan diri). Seorang dermawan yang tak pernah menolak orang yang meminta. Meskipun harta Baitul Mal berlimpah, ia tidak sembronodalam mengelolanya. Ia tetap makan dari hasil yang halal. Bahkan ia memiliki utang yang besar untuk membiayai hidup para pelajar. Pernah ada sejumlah perantau yang hendak belajar padanya, kemudian ia menanggung utang yang banyak demi memberikan perbekalan dan mencukupi kebutuhan mereka. Ia juga terbiasa mencukupi kebutuhan para musafir. Saat Kota Riyadh dikuasai, ia menghabiskan 40.000 Najdiah untuk menghidupi kebutuhan orang-orang miskin (Ibnu Bisyr: Unwanul Najdi, 1/15).

Wafatnya

Setelah menempuh perjalanan panjang, berjihad dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Berjihad membela tauhid dan menghadapi para penentangnya. Allah mewafatkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada hari Senin akhir bulan Syawwal 1206 H. Saat itu usianya menginjak 92 tahun. Ia habiskan lebih dari separuh usianya, lebih dari 50 tahun, untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Memasukkannya ke dalam surga. Dan membalas jasa-jasanya dengan balasan yang terbaik.


Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

 
Share:

JAHANNAM SETELAH 300 KM

Gurun Sahara Bisa Menghijau jika 2 Jenis Pembangkit Listrik Didirikan -  kumparan.comAku mengenal seorang pemuda yang dulu termasuk orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Dulu dia bersama dengan teman-teman yang buruk sepanjang masa mudanya. Pemuda itu meriwayatkan kisahnya sendiri:

“Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, aku dulu keluar dari kota Riyadh bersama dengan teman-temanku, dan tidak ada satu niat dalam diriku untuk melakukan satu ketaatanpun untuk Allah, apakah untuk shalat atau yang lain.”

“Alkisah, kami sekelompok pemuda pergi menuju kota Dammam, ketika kami melewati papan penunjuk jalan, maka teman-teman membacanya “Dammam, 300 KM”, maka aku katakan kepada mereka aku melihat papan itu bertuliskan “Jahannam, 300 KM”. Merekapun duduk dan menertawakan ucapanku. Aku bersumpah kepada mereka atas hal itu, akan tetapi mereka tidak percaya. Maka merekapun membiarkan dan mendustakanku.

Berlalulah waktu tersebut dalam canda tawa, sementara aku menjadi bingung dengan papan yang telah kubaca tadi. Selang beberapa waktu, kami mendapatkan papan penunjuk jalan lain, mereka berkata “Dammam, 200 KM”, kukatakan “Jahannam, 200 KM”. Merekapun menertawakan aku, dan menyebutku gila. Kukatakan: “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, sesungguhnya aku melihatnya bertuliskan “Jahannam, 200 KM”.” Merekapun menertawakanku seperti kali pertama. Dan mereka berkata: “Diamlah, kamu membuat kami takut.” Akupun diam, dalam keadaan susah, yang diliputi rasa keheranan aku memikirkan perkara aneh ini.

Keadaanku terus menerus bersama dengan pikiran dan keheranan, sementara keadaan mereka bersama dengan gelak tawa, dan candanya, hingga kemudian kami bertemu dengan papan penujuk jalan yang ketiga. Mereka berkata: “Tinggal sedikit lagi “Dammam, 100 KM”.” Kukatakan: “Demi Allah yang Maha Agung, aku melihatnya “Jahannam, 100 KM”.” Mereka berkata: “Tinggalkanlah kedustaan, engkau telah menyakiti kami sejak awal perjalanan kita.” Kukatakan: “Turunkan aku, aku ingin kembali.” Mereka berkata: “Apakah engkau sudah gila?” Kukatakan: “Turunkan aku, demi Allah, aku tidak akan menyelesaikan perjalanan ini bersama kalian.” Maka merekapun menurunkanku, akupun pergi ke arah lain dari jalan tersebut. Akupun tinggal di jalan itu beberapa saat, dengan memberikan isyarat kepada mobil-mobil untuk berhenti, tetapi tidak ada seorangpun yang berhenti untukku. Selang beberapa saat, berhentilah untukku seorang sopir yang sudah tua, akupun mengendarai mobil bersamanya. Saat itu dia dalam keadaan diam lagi sedih, dan tidak berkata-kata walaupun satu kalimat.

Maka kukatakan kepadanya: “Baiklah, ada apa dengan anda, kenapa anda tidak berkata-kata?” Maka dia menjawab: “Sesungguhnya aku sangat terkesima dengan sebuah kecelakaan yang telah kulihat beberapa saat yang lalu, demi Allah aku belum pernah melihat yang lebih buruk darinya selama kehidupanku.” Kukatakan kepadanya: “Apakah mereka itu satu keluarga atau selainnya?” Dia menjawab: “Mereka adalah sekumpulan anak-anak muda, tidak ada seorangpun dari mereka yang selamat.” Maka dia memberitahukan kepadaku ciri-ciri mobilnya, maka akupun mengenalnya, bahwa mereka adalah teman-temanku tadi. Maka akupun meminta kepadanya untuk bersumpah atas apa yang telah dia katakan, maka diapun bersumpah dengan nama Allah.

Maka akupun mengetahui bahwa Allah  telah mencabut roh teman-temanku setelah aku turun dari mobil mereka tadi. Dan Dia telah menjadikanku sebagai pelajaran bagi diriku dan yang lain. Akupun memuji Allah yang telah menyelamatkanku di antara mereka.”

Syaikh Abu Khalid al-Jadawi berkata: “Sesungguhnya pemilik kisah ini menjadi seorang laki-laki yang baik. Padanya terdapat tanda-tanda kebaikan, setelah dia kehilangan teman-temannya dengan kisah ini, yang setelahnya dia bertaubat dengan taubat nashuha.”

Maka kukatakan: “Wahai saudaraku, apakah engkau akan menunggu kehilangan empat atau lima teman-temanmu sampai kepada perjalanan seperti perjalanan ini? Agar engkau bisa mengambil pelajaran darinya? Dan tahukah kamu, bahwa kadang bukan engkau yang bertaubat karena sebab kematian teman-temanmu, melainkan engkaulah yang menjadi sebab pertaubatan teman-temanmu karena kematianmu di atas maksiat dan kerusakan.” Na’udzu billah.

Ya Allah, jangan jadikan kami sebagai pelajaran bagi manusia, tetapi jadikanlah kami sebagai orang yang mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada mereka, dan dari apa saja yang terjadi di sekitar kami. Allahumma Amin.”

(Abu Khalid al-Jadawy)

Sumber : Majalah Qiblati Edisi 5 Volume 3
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

_"Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."_

(Hadits ini shahih.Diriwayatkan oleh Imam Muslim) 
Share:

NABI DITOLAK ORANG KAFIR, NDAK EMOSI, KOK…

3 Jenis Gratifikasi yang Harus Ditolak dan Beberapa yang Tidak Harus  Dilaporkan oleh Karyawan
Sobat, anda berdakwah lalu ditolak itu adalah satu hal yang wajar, anda bukan korban pertama namun demikianlah dinamika dakwah sepanjang masa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami hal yang serupa bahkan lebih parah, demikian pula dengan nabi nabi sebelumnya.

Pada tahun keenam hijriah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menunaikan ibadah umrah bersama para sahabatnya. DIperkirakan beliau membawa sekitar 1.400 orang sahabat dengan berbagai perlengkapan perang untuk mempertahan diri.

Kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan segitu banyak menyebabkan orang-orang Quraisy kebakaran kumis. Betapa tidak, kemarin, enam tahun silam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar meninggalkan kota Makkah hanya ditemani oleh seorang sahabat, yaitu Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, sedangkan kini beliau kembali dengan membawa pasukan besar.

Secara fsikologi, ini merupakan pukulan berat bagi orang-orang Quraisy, bagi mereka kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kali ini mereka anggap sebagai show of power, yang dapat berdampak pada runtuhnya wibawa Quraisy yang selama ini berperan sebagai super power di negri arab.

Karenanya, dengan segala kekuatan dan daya yang dimiliki, Quraisy berusaha mempertahankan kedudukan sosialnya sebagai super power di negri arab. Mereka menolak kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Makkah yang tanpa “kulo nuwun” terlebih dahulu kepada mereka. Quraisy ingin membuktikan kepada bangsa arab bahwa mereka tetap memiliki power untuk memimpin dan mempertahankan mahkota “super powernya”.

Negoisasi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan delegasi Quraisy terus terjadi, hingga akhirnya dicapai kesepakatan bahwa :

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seluruh sahabatnya kembali ke Madinah dan menunda umrahnya hingga tahun depan.

2. Setiap penduduk Makkah yang melarikan diri ke kota Madinah harus dikembalikan ke Quraisy dengan suka rela, walaupun dia adalah orang Iaslam. Sedangkan setiap penduduk Madinah yang elarikan diri ke Makkah tidak wajib dikembalikan ke Madinah, walau di adalah orang Islam.
Dua poin ini sekilas bentuk kekalahan dan kehinaan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Tak ayal lagi para sahabat geram dan merasa terhina dengan kesepakatan ini, sampai-sampai sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ قَالَ « بَلَى ». قَالَ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى ». قَالَ فَفِيمَ نُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا

“Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran sedangkan mereka di atas kebatilan. ? Beliau menjawab: Tentu. Lalu sahabat Umar kembali berkata: Bukankah orang yang terbunuh dari kita akan masuk surga sedangkan korban dari mereka pasti masuk neraka? beliau menjawab: Tentu. Selanjutnya sahabat Umar berkata: Bila demikia, mengapa kita rela menerima kehinaan dalam urusan kebenaran (agama) kita, sedangkan Allah belum memberikan keputusan-Nya antara kita dan mereka (belum terjadi peperangan) ? beliau menjawab: Wahai putra Al Khatthab, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan selamanya Allah tiada mungkin menyia-nyiakan aku.

Merasa belum puas, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu mendatangi sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk menumpahkan kekecewaannya, dan terjadilah komunikasi seperti di atas anatara mereka berdua.” (Bukhari & Muslim)

Ya, dalam kondisi penuh dengan kekecewaan dan sakit hati seperti ini sangatlah berat untuk menggunakan nalar sehat, apalagi hanya bermodalkan iman semata. Kebanyakan orang akan hanyut dalam amarah, kekecewaan dan ambisi membalas, apalagi bila merasa mampu dan kuat. Namun tentu sekedar perasaan mampu dan kekecewaan tidaklah cukup untuk menghadai masalah besar dan dalam kondisi susah seperti ini. Sepatutnya dalam kondisi seperti ini, ilmu dan iman kepada pertolongan Allah haruslah lebih di dahulukan.

Langkah yang diambil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menerima persyaratan Quraisy ternyata terbukti efektif untuk mengakhiri perseteruan dengan Quraisy. Karena diantara poin kesepakatan antara mereka ialah kedua belah pihak berkomitmen untuk tidak lagi saling mengganggu dan memberi kebebasan kepada seluruh kabilah untuk bergabung dengan siapapun dari kedua kelompok ini.

Poin kesepakatan ini menjadi kredit poin penting dan sekaligus titik balik dari perseteruan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat keleluasaan untuk mendakwahi kabilah kabilah lain, tanpa gangguan yang berarti dari Quraisy. Dan sebaliknya qabilah lain mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berinteraksi dan mengenal Islam lebih dekat, hingga akhirnya banyak dari mereka masuk Islam. Berbagai qabilah yang sebelumnya mendukung Quraisy, kini berbalik arah dan masuk Islam, sampaipun berbagai qabilah yang ada di sekitar Makkah.

Qabilah berbondong bondong menyatakan keislamannya, hingga akhirnya Quraisy terkucilkan dan kehilangan dukungan dari banyak qabilah, dan akhirnya kekuatan Quraisypun melemah. Kondisi inilah yang Allah Ta’ala sebutkan sebagai pertolongan Allah Ta’ala dan sekaligus kemenangan kaum Muslimin. Allah berfirman :

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ {1} وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” (An Nasher 1&2)

Pada kisah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pelajaran bahwa mundur selangkah bukan berarti kekalahan selamanya. Sebagaimana diantara strategi yang sepatutnya kita terapkan dalam mewujudkan kemenangan ialah merontokkan kekuatan penopang dan basis dukungan yang dimiliki oleh lawan.

Walaupun kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memiliki pasukan yang kuat dan tangguh, namun beliau memilih untuk mundur selangkah, guna menempuh jalur lunak, yaitu dengan mengikis dukungan lawan, sebelum benar-benar berkonfrontasi degan musuh utamanya. Secara kalkulasi kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya mampu melawan Quraisy dan mengalahkan mereka, namun tentu saja membutuhkan waktu panjang, biaya besar, korban jiwa yang banyak dan… dan …

Namun dengan mundur selangkah, beliau berhasil mengikis basis dukungan Quraisy, sehingga setelah dirasa waktunya tepat beliau mengumumkan peperangan terbuka, dan berterus terang hendak menyerang kota Makkah tanpa kawatir akan dihadang oleh qabilah loyalis Quraisy yang sebelumnya betebaran di sepanjang jalan menuju kota Makkah.

Belumkah tiba saatnya anda meneladani strategi dakwah dan perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas? Mengapa kita begitu bernafsu dengan berbagai kegiatan yang bernuansa show of power ?

Tidakkah akan lebih bijak bila dakwah dengan cara gerilya, dari masjid masjid kampung terus digiatkan, dari rumah ke rumah dilipat gandakan, dari instansi ke instansi lain terus disemarakkan, hingga suatu saat nanti, bila telah kondusif maka acara yang beraroma show of power dapat dilaksanakan tanpa ada kekawatiran akan ada gangguan yang perlu dikawatirkan. Toh, tanpa kegiatan yang bernuansa show of power dakwah anda tetap berjalan dengan lancar. Dengan demikian gengsi sebagian orang yang selama ini merasa sebagai “raja hutan”, atau sebagai super power di tengah ummat Islam, dapat dikikis atau taringnya dijadikan tumpul dan aumanya dibuat merdu sehingga tidak lagi menakutkan.

Mengapa ada kesan bahwa bila kegiatan yang bernuansa show of power ditolak, berarti dakwah berhenti dan berakhir? Apalagi kehormatan dakwah tercoreng? Mengapa para punggawa dakwah lupa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من تواضع لله رفعه الله

“SIapapun yang merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah meninggikan derajatnya.” (Abu Nuim dan lainnya)

Sobat, ingat, dan sekali lagi ingat, anda hidup di tengah tengah saudara anda sendiri sesama ummat Islam, sejauh apapun perbedaan anda dengan mereka toh mereka tetap saudara anda sesama ummat yang bersyahadat :
لا إله إلا الله ومحمد رسول الله

Sobat, mari kita semua menjadi perekat di tengah tengah Ummat Islam, dan jangan sampai kita menjadi pemecah di tengah tengah saudara kita. Ummat kita yang sudah terpecah jangan ditambah pecah, kalaupun sebagian saudara kita bersikap lancang dan melampaui batas, bukan berarti itu alasan untuk bersikap yang serupa

Dan kalau anda berkata: negara kita negara hukum, kita tempuh saja jalur hukum, kita gugat, kita perkarakan, kita memiliki para pungawa peradilan dan lainnya, maka dengar pesan khalifah Umar bin Al Khatthab tentang penyelesaian masalah melalui jalur hukum:

رُدُّوا الْخُصُومَ حَتَّى يَصْطَلِحُوا ، فَإِنَّ فَصْلَ الْقَضَاءِ يُورِثُ بَيْنَ الْقَوْمِ الضَّغَائِنَ.

“Upayakan agar kedua orang yang bersengketa menempuh jalur perdamaian, karena menyelesaikan persengketaan melalui jalur hukum pasti menyisakan dendam dan kebencian antara keduanya.” (Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan lainya)

Ini pesan beliau padahal peradilan di zaman beliau peradilan Islam dan benar-benar adil, bagaimana halnya dengan peradilan zaman kita yang seperti ini?

Lalu solusinya bagaimana dong? Ya, kembali lagi solusinya sabar, dan sabar, dan terus sabar.

Maaf saudaraku, status ini mungkin terlalu panjang untuk anda baca, namun maafkan saudaramu ini, yang sedang dihantui oleh kemungkinan adanya “tikus tikus penyusup” yang sengaja menghendaki adanya gesekan dan benturan di tengah-tengah ummat Islam.

Muhammad Arifin Badri,  حفظه الله تعالى 
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages