UMAR bin KHATTAB di KOTA JERUSALEM (PALESTINA)

Morocco's Sahara Desert in January: Travel Tips, Weather, and More | kimkim
Tahun 638 Masehi pasukan Muslim dibawah pimpinan 3 orang panglima mengepung Jerusalem  selama 3 bulan. Uskup kota Jerusalem akhir nya mengutus kurir menemui panglima muslim dan menyatakan bhw mereka akan membuka gerbang kota dan menyerahkan Jerusalem ke tangan muslim dengan syarat, bahwa kunci kota Jerusalem hanya akan diserahkan kepada pimpinan muslim yg tertinggi (khalifah).

Dibawah ini adl kisah Umar bin Khattab (yang saat itu adalah khalifah umat muslim) menerima kunci kota Jerusalem.

----------------
Musim dingin di tahun 638 Masehi masih membekukan udara, namun warga kota Jerusalem sejak pagi hingga siang tak mempedulikan rasa dingin. Hampir seluruh warga Jerusalem telah mengerti bahwa mereka akan baik baik saja. Penakluk yang baru ini justru memberi mereka harapan yang sebelum nya tak pernah terpikirkan ketika berada dibawah kekuasaan Romawi.

Hati mereka gembira, dan membayangkan iring iringan "Kaisar Arab" akan memasuki kota dengan gagahnya.. Kuda kuda terbaik yang ditunggangi tentara berbaju besi. Gambaran dramatis setiap penaklukan telah lebih dulu terbayang dikepala orang orang.

Lalu..... inilah yg terjadi kemudian.

Apa yg kemudian nampak sama sekali tak pernah terbayang dalam mimpi yg paling miskin sekalipun. Dari pintu gerbang kota yg tinggi menjulang, muncul sang Khalifah yg menjadi syarat utama jika Jerusalem hendak menyerah (Uskup pernah menyampaikan syarat kepada pasukan Muslim yang berada di luar Dinding kota Jerusalem, bahwa Jerusalem baru akan membuka pintu apabila yang menerima penyerahan adalah Khalifah Umar).

Seekor keledai melenggang perlahan menuju bukit Golgota dengan seorang tua yang berjalan di depannya sambil menebar senyum ke orang orang yg berjejalan. Orang tua itu berbaju sederhana penuh tambalan dan berserban berwarna suram. Masyarakat yang melihat pemandangan ini langsung bertanya dalam hati "Inikah Lelaki yang paling berkuasa di Timur dan Barat? Penakluk Persia dan Romawi?"

Di bukit GOLGOTA Uskup Sophoronus terdiam tubuh nya. Pelupuk matanya berlinang air mata, kemudian dia berkata kepada orang disekitarnya "Sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yg telah di khabarkan oleh Nabi Daniel ketika dia datang ke tempat ini ".

Sang Khalifah segera sampai di depan Gereja Makam Kristus. Sang Uskup menghampirinya. "Salam untukmu, wahai Khalifah".. Umar pun balas menjawab "Begitu juga bagimu, Wahai Uskup".

Dari tempat nya berdiri Umar menatap ke arah penduduk Palestina yg berkumpul dikejauhan yg senyap suaranya. Barulah ketika Umar melambaikan tangan sebagai ungkapan salam, orang orang yang semula tak berani bersuara, bersorak gembira… Telah lepas seluruh beban di dada, …. Keterkekangan sepanjang usia mereka,….  lolos dari pendudukan Romawi.

Umar bertanya kepada Uskup,"Telah pahamkah penduduk Jerusalem terhadap surat yang aku kirim." Sophoronus, sang Uskup menjawab,"Benar Khalifah, telah tersebar kabar tentang murah hatinya engkau dan pasukan mu. Ini sungguh sebuah perjanjian damai yang Indah".

Umar diajak meninjau Gereja Makam Kristus, Umar mengangguk mengiyakan tawaran Uskup. Mereka lantas berjalan beriringan memasuki gereja. Umar mencermati detail bangunan sambil mendengarkan penjelasan Uskup.. Tak lama kemudian Umar menimbang waktu dan berkata, “Kurasa sudah tiba waktunya bagi kami untuk sembahyang Zhuhur, Uskup". "Sembahyang? Uskup tampak tanggap dan tidak Kikuk. "Silahkan pergunakan ruangan yang engkau mau Khalifah, kami tidak berkeberatan”.

"Terimakasih atas tawaranmu Uskup" Umar tersenyum sambil geleng geleng kepala "Tapi, jika aku mendirikan sholat di dalam gereja ini, aku khawatir orang orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikan nya sebagai mesjid, Bukan itu tujuan kami kesini".

Apakah diantara para pembaca ada yang mau tau apa isi surat yg dikirim Khalifah Umar kepada Uskup Jerusalem? Inilah surat nya ::
------------------------------------
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan yang telah diberikan hamba Allah,Umar, pemimpin umat Muslim, kepada penduduk Jerusalem.

Bahwa Umar  telah memberi jaminan mengenai keamanan bagi jiwa mereka, untuk harta mereka, untuk gereja dan salib mereka, untuk sakit dan sehatnya kota, serta untuk ibadah mereka.

Gereja gereja mereka tidak akan ditempati oleh orang orang Muslim, juga tidak akan pernah dirusak, tidak boleh ada satu apapun yang dikurangi dari dalam gereja itu atau dari lingkungan disekitarnya, baik Salib, harta benda, dan semua harta milik mereka.

Kaum Nasrani tidak akan dipaksa untuk beralih memeluk agama Islam, dan tidak pula orang Yahudi yang hidup bersama mereka di Jerusalem. Penduduk Jerusalem harus membayar Jizyah (pajak) sebagaimana penduduk kota lainnya.

Jerusalem harus mengusir orang orang Byzantium dan para perampok. Para penduduk Jerusalem yang ingin pergi membawa harta mereka akan dijamin sampai tujuan dengan selamat.

Para penduduk desa boleh tinggal di kota bila mereka menginginkannya, dengan ketentuan membayar Jizyah sebagaimana warga lainnya. Jizyah mereka tidak boleh ditarik sebelum tiba masa panen.

Yang tertera dalam surat ini adalah perjanjian Allah, dibawah tanggung jawab Nabi, sang Khalifah, dan orang orang Mukmin.
---------------------------------------

Umar benar benar menatap Uskup Sophoronus dengan penuh perhatian. "Teruskanlah hidup dan beribadah sesuka kalian, tetapi ketahuilah bahwa mulai sekarang, kami umat Islam akan hidup diantara kalian. Beribadah dengan cara kami, dan menetapkan contoh yg baik. Jika kalian menyukai yang kalian lihat, bergabunglah dengan kami, jika tidak tak mengapa, Allah telah mengatakan kepada kami, tidak ada paksaan dalam Agama"

Siang itu Umar sholat di sebuah tempat dimana terdapat reruntuhan Haikal Nabi Sulaiman. Reruntuhan Khenizah Allah telah begitu dilupakan, padahal dia mendengar Nabi berkisah tentang diri Nya menjadi imam bagi para nabi dalam sebuah mesjid ditempat itu yang disebut Nabi sebagai Mesjid Aqsha.

Umar segera membersihkan tempat itu dan sholat di tempat itu. Ditanah Kristen itu, Umar menemui Tuhan nya dengan cara sang Nabi mengajarinya.

SELESAI

Sebagai informasi tambahan :

Beru baru ini saya berkesempatan mengunjungi Palestina / Jerusalem di Negara Israel. Dan berkesempatan juga sholat di Mesjid Al Aqsha.

Mesjid al Aqsha ternyata ber kubah warna hitam, sedangkan di dekat mesjid ada Bangunan berkubah emas yg dikenal dengan nama Bangunan As Shakra (kubah Batu / Dome Of The Rock). Kedua bangunan tsb, mesjid dan qubah batu berada di dalam reruntuhan Haikal Nabi Sulaiman yg skrg di sebut sbg wilayah Al Haram Al Syarif.

Banyak umat muslim zaman sekarang menyangka bahwa bangunan ber kubah emas itulah yg merupakan mesjid Al Aqsha. Padahal ketika saya kesana, melihatndengan mata kepala sendiri tak ada ruangan didalam bangunan kubah emas itu yg cukup besar utk melakukan Shalat berjemaah.

Wktu Umar bin Khattab berniat membangun kembali Mesjid Al Aqsha, beliau menarik poros antara Mesjid Al Haram di Mekkah dan Batu As Shakrah (saat itu belum ada bangunan kubah emas, yang ada hanyalah batu yang dijadikan tempat berpijak nabi ketika mau melaksanakan perjalanan Miraj.

Dinporos antara mesjid al Haram (mekkah) dan batu As shakrah itulah Umat membangun Mesjid al Aqsha. Dan mengarahkan kiblat nya ke Mesjid al Haram (Kabbah). Krm menghadap ke Mesjid al Haram di Mekkah maka otomatis memunggungi As-Shaqrah Bangunan berkubah emas.

Dengan demikian orang yg sholat di dalam Mesjid Al Aqsha mengarah ke Kabbah sbg kiblat nya. 
Share:

Hafshah binti Umar bin Khaththab

Mawar, Bunga yang Indah Dipandang dan Enak Dimakan
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”

Sayyidah Hafshah radhiallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalarn membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Memeluk Islam

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksu

d Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam, serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi put

rinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Berada di Rumah Rasulullah

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah radhiallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.

Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang t

ersebar.

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

Cobaan Besar

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karen

a anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Sumber: Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Share:

Perjalanan Hidup Seorang Tokoh Reformis Arab Saudi


Pelajari Semua Tentang Sahara, Desert Hot Terbesar di DuniaPertolongan Dari 

Setelah terusir dan dikhianati di Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pergi menuju Dir’iyyah. Saat itu tahun 1157 M, Dir’iyyah dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Di Dir’iyyah, Syaikh bertamu di rumah Abdullah bin Suwailim dan Ahmad bin Suwailim. Dua orang ini merupakan kerabat sekaligus muridnya. Awalnya kedua orang ini takut kalau Amir Muhammad bin Saud akan menyakiti atau menghukum mereka karena menerima Syaikh sebagai tamu (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/11).Tapi Syaikh meyakinkan mereka dengan pertolongan dan penjagaan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Allah akan menjadikan untuk aku dan kalian jalan keluar.” (Ibnu Bisyr:Unwanul Majdi, 1/11).

Pemimpin Dir’iyyah, Muhammad bin Saud, memiliki dua orang saudara; Tsunyan dan Misyari. Keduanya telah mendengar dan menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibnu Saud juga memiliki seorang istri yang cerdas dan religius. Namanya Maudha binti Abi Wahthan rahimahallah. Sang istri juga meyakini bahwa materi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran pemurnian Islam. Kedua saudara Muhammad bin Saud datang menemuinya dan mengatakan, “Laki-laki ini (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah ‘durian jatuh’ yang Allah berikan padamu. Manfaatkanlah apa yang khusus Allah anugerahkan padamu ini (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24).

Keduanya memotivasi Muhammad bin Saud untuk menyambut kedatangan Muhammd bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Saud juga dikenal sebagai seorang yang berakhlak baik dan mudah dalam menerima kebenaran. Tak menunggu lama, ia segera pergi bersama dua orang saudaranya menemui Muhammad bin Abdul Wahhab di rumah Ahmad bin Suwailim.

Ibnu Saud mengucapkan salam dan menunjukkan penghormatannya. Ia kabarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ia akan membelanya seperti membela istri-istrinya dan anak-anaknya. Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan materi dakwahnya. Semuanya adalah apa yang diajarkan dan didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Yang ia ajarkan adalah apa yang Rasulullah perintah dan larang. Ia jelaskan bahwa bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Ia juga sampaikan bahwa Allah akan memuliakan orang-orang yang berjihad. Dan persaudaraan yang hakiki hanyalah dengan Islam. Setelah Muhammad bin Saud mengetahui apa itu tauhid. Mengetahui juga maslahat yang dibawanya di dunia dan akhirat. Ia berkata kepada Syaikh, “Syaikh, sesungguhnya agama Allah dan Rasul-Nya ini tak ada keraguan di dalamnya. Bergembiralah dengan pertolongan untukmu dan untuk apa yang kau dakwahkan. Dan jihad bagi mereka yang menyelisihi tauhid.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 87).

Allah membuat dada Muhammad bin Saud lapang menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhb. Tidak hanya menerima, bahkan ia nyatakan sikap tegas untuk membantunya dan melawan mereka yang menentangnya. Namun, Ibnu Saud memberikan dua syarat. Pertama: Muhammad bin Abdul Wahhab harus berjanji agar tidak menikungnya (merebut kekuasaannya) jika Allah telah memenangkannya dan mengokohkan dakwahnya. Kedua: Syaikh tidak boleh melarangnya memungut pajak bumi (kharaj) yang telah ia tetapkan untuk penduduk Dir’iyyah di waktu panen.

Syaikh menanggapi, “Poin pertama, darah dengan darah. Pengkhianatan dibalas kehancuran. Dan poin kedua, aku berharap Allah memberikan kepadamu penaklukkan. Dan memberikan padamu banyak ghanimah. Dan itu lebih baik dari kharaj tersebut.”

Artinya, Syaikh menyepakati poin pertama dan menolak poin kedua. Perhatikanlah akhlak beliau. Beliau tolak dengan sopan. Bahkan dengan optimisme, harapan, dan doa agar diberikan yang lebih baik. Beliau tidak membenarkan pajak tersebut. Beliau tidak menoleransi kesalahan walaupun dalam keadaan membutuhkan bantuan. Beliau bukanlah penjilat yang menghalalkan segala cara untuk mendapat simpati. Memaklumi kesalahan demi tercapai tujuan dakwah. Tidak.

Muhammad bin Saud pun membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk sama-sama berdakwah kepada Allah. Berjihad di jalan-Nya. Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramar makruf nahi mungkar. Dan menegakkan syariat Allah di tengah masyarakat (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 88).

Setelah peristiwa pembaiatan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tinggal selama dua tahun di Dir’iyyah. Ia berdakwah dan membimbing masyarakat di sana. Dalam masa itu pula datang orang-orang dari Uyainah yang juga mendukung dakwahnya. Di anatara mereka: Abdullah bin Muhsin. Kemudian dua orang saudaranya; Zaid dan Sulthan alu Ma’mar. Hadir pula Abdullah bin Ghanam dan saudaranya Musa. Bersama mereka juga turut hijrah tokoh-tokoh keluarga Ma’mar yang berbeda pendapat dengan Utsman bin Ma’mar di Uyainah. Selain itu datang juga utusan-utusan dari penjuru wilayah Nejd.

Penduduk Dir’iyyah yang terdepan dalam mendukung dakwahnya adalah Tsunyan bin Saud, Misyari bin Saud, Farhan bin Saud, Syaikh Ahmad bin Suwailim, Syaikh Isa bin Qasim, Muhammad al-Hazimi, Abdullah bin Dughaitsir, Sulaiman al-Wusyaiqiri, Hamd bin Husein, dan saudaranya Muhammad bin Husein, dll.  Seorang orientalis, Harry St John Bridger Philby, menyebut mereka dengan mengatakan, “Mereka ini adalah tokoh-tokoh utama wahabi. Nama-nama mereka disebutkan dengan pemuliaan. Anak keturunan mereka mendapat penghormatan dan pemuliaan di istana kerajaan.”

Penyesalan Utsman bin Ma’mar

Perkembangan pesat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terdengar oleh Utsman bin Ma’mar, pemimpin Uyainah. Ratusan orang telah mengikuti dakwahnya. Utsman pun menyesali apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia telah menodai hak Syaikh Muhammad. Akhirnya, ia datang menemui Syaikh dengan membawa para pembesar Uyainah. Ia meminta maaf. Dan memintanya agar bersedia kembali ke Uyainah. Syaikh menjawab bahwa ia telah berjanji untuk bersama Muhammad bin Saud. Janji wajib ditunaikan. Muhammad bin Saud pun menolak kalau Syaikh kembali ke Uyainah. Utsman pulang dengan kecewa. Ia telah menyia-nyiakan kebaikan yang ada di tangannya (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24-25).

Dakwah semakin tersebar. Para pelajar pun berdatangan menuju Dir’iyyah untuk menimba ilmu dari Syaikh. Mereka mempelajari ilmu akidah, Alquran, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadits dan mustholahnya, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan sejarah, dll.

Dir’iyyah Ibu Kota Dakwah

Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawa berkah bagi Dir’iyyah. Bukan hanya bagi penduduknya, tapi juga bagi kehidupan kota itu sendiri. Bukan hanya dari sisi religius, tapi juga dari sisi duniawi. Kota itu menjadi hidup dengan banyaknya orang datang untuk belajar. Geliat aktivitas ekonomi tumbuh seiring kedatangan para perantau. Tata hukum yang menggunakan pemahaman Asy’ariyah diganti dengan hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pajak dihapuskan dan zakat dihidupkan. Kekacauan pun berganti keamanan. Budaya pengajian agama semakin semarak.

Di saat itu pula Dir’iyyah memerangi buta huruf. Diharuskan bagi masyarakat untuk belajar membaca dan menulis berapapun usia mereka. Betapapun tinggi kedudukan mereka. Harus sama-sama duduk belajar. Masyarakat juga diajarkan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama dengan pengkajian yang mendalam. Semangat jihad dihidupkan. Pemikiran-pemikiran khurofat, semangat ibadah tanpa dalil, dan budaya taklid diberangus. Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah pemahaman Islam yang sahih. Sebagaimana pemahamannya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keadaan Dir’iyyah kala itu mengingatkan kita akan momen-momen saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membangun Kota Madinah setelah hijrah (Muhammad Hamin al-Faqi: Atsar ad-Da’wah al-Wahabiyah, Hal: 6-7).

Berjihad

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak hanya berdakwah dengan ceramah dan menulis buku. Tapi ia juga menempuh metode nabawi dengan cara surat-menyurat. Ia kirimi surat kepada kepala daerah, negara, dan kabilah tetangga. Menyeru mereka untuk menauhidkan Allah. Berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan yang tersebar di tengah mereka. Beliau jelaskan dengan dalil-dalil yang mudah ditangkap. Yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Respon mereka terhadap dakwah tersebut beragam. Bahkan sampai ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin. Tidak cukup dengan tuduhan, mereka nyatakan permusuhan. Mereka siapkan pasukan untuk memerangi dakwahnya. Hal ini karena kemarahan mereka saat melihat sebagian kabilah menerima dakwahnya.

Muhammad bin Abdul Wahhab tidak meragukan kesungguhan Muhammad bin Saud dalam memperjuangkan dakwah sunnah. Namun, ia belum mengetahui bagaimana keadaannya kalau harus sampai berperang. Akhirnya ujian ini datang, musuh menantang untuk berperang. Dan Muhammad bin Saud tetap memegang teguh janjinya. Membela dakwah tauhid ini. Padahal Dir’iyyah adalah negeri kecil. Penduduknya tidak lebih dari 1000 orang. Jumlah rumah yang ada di sana tidak lebih dari 70 rumah. Meskipun sedikit, tapi mereka tetap berani membela akidah yang benar.

Tidak menunggu lama, hanya dua tahun saja Syaikh tinggal di Dir’iyyah, kampung tersebut diserang oleh negeri-negeri lainnya. Jihad pun dimulai sejak tahun 1160 H. Mereka menghadapi Diham bin Duwas yang memimpin penduduk Riyadh dan Duba. Dalam pertempuran ini, dua orang purta Muhammad bin Saud, Faishal dan Saud, gugur.

Masa Kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud

Muhammad bin Saud terus menunjukkan loyalitasnya terhadap dakwah tauhid. Ia menghadapi musuh-musuh dakwah dengan kekuatannya hingga ia wafat pada tahun 1179 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Kepemimpinan pun diserahkan kepada putranya, Abdul Aziz. Abdul Aziz tetap meneruskan perjuangan sang ayah. Setiap permasalahan yang ia hadapai, selalu ia ajak Muhammad bin Abdul Wahhab diskusi untuk mencari solusi. Bahkan ia tidak akan memutuskan suatu masalah kecuali dengan persetujuan Syaikh (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 96-97).

Peperangan dengan Riyadh dan wilayah-wilayah yang memusuhi dakwah terus berlangsung hingga di masa pemerintah putra Muhammad bin Saud, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Hingga akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun berperang dengan Riyadh, Abdul Aziz bin Muhammad berhasil menalukkan Riyadh pada tahun 1187 H. Setelah berhasil menaklukkan Riyadh, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Isi surat tersebut sebagai berikut:

أُحِبُّ لك ما أحبُّ لنفسي، وقد أراك الله في عَدُوِّك ما لم تؤمِّل، فالذي أراه لك أن تُكثر من قول الحسن البصري؛ كان إذا ابتدأ حديثه يقول: اللهم لك الحمد بما خلقتنا ورزقتنا وهديتنا وفرَّجْتَ عنَّا، لك الحمد بالإسلام والقرآن، ولك الحمد بالأهل والمال والمعافاة، كبَّتَّ عَدُوَّنَا، وبسطت رزقنا، وأظهرتَ أمننا، وأحسنتَ معافاتنا، ومِنْ كل ما سألناك ربنا أعطيتنا، فلك الحمد على ذلك حمدًا كثيرًا طيِّبًا حتى ترضى، ولك الحمد إذا رضيت”.

Aku menyukai hal-hal baik untukmu sebagaimana aku suka kalau hal itu untukku. Dalam permasalahan musuh-musuhmu ini, Allah telah menunjukkan padamu sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Menurutku, sepantasnya Anda memperbanyak ucapan seperti yang diucapkan Hasan al-Bashri, ‘Ya Allah, untukmulah pujian karena Engkau telah menciptakan kami. Memberi kami rezeki. Memberi kami hidayah. Memberi kami jalan keluar. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat Islam dan Alquran. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat keluarga, harta, dan kesehatan. Engkau kalahkan musuh kami. Engkau lapangkan rezeki kami. Engkau berikan kami keamanan. Engkau sempurnakan kesehatan kami. Dan segala puji bagi-Mu hai Rab kami, atas segala permintaan yang kami ajukan dan Kau kabulkan. Segala puji bagi-Mu pada semua itu. Pujian yang banyak dan yang baik sampai Kau meridhainya. Dan segalah puji juga bagi-Mu yang telah meridhainya’.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 139).

Surat ini mengandung pelajaran akidah yang agung. Syaikh mengajarkan hanya kepada Allah sematalah rasa syukur diajukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nikmat besar kemenangan ini. Beliau ajarkan ini sebagai praktik dari apa yang dipelajari selama ini. Jangan sampai rasa bangga diri sempat masuk di hati Abdul Aziz. Karena itu, ia nasihati langsung setelah Abdul Aziz dikaruniai kemenangan besar.

Musuh lainnya adalah Urai’ir bin Dujain, penguasa Ahsa’. Sebelumnya, pada tahun 1172 H, Urai’ir berhasil menaklukkan Huraimila. Urai’ir dikenal sebagai seorang yang bengis. Kalau dia membunuh, maka semua orang yang terlibat melawannya akan ia habisi walaupun sudah menyerah. Ia senantiasa mengintai Dir’iyyah dan menunggu kesempatan untuk menyerang wilayah kecil itu.

Pada tahun 1178 H, ia memimpin pasukan besar menuju Dir’iyyah. Banyak penduduk desa-desa dan kota-kota bergabung dengannya menuju ibu kota dakwah tauhid itu. Setiap pasukan ini melewati kampung atau kabilah, maka semuanya mendukung pasukannya. Dir’iyyah pun dikepung selama 20 hari bahkan lebih. Namun, pasukan-pasukan dakwah memberikan perlawanan dan tak mau menyerah. Sampai akhirnya Allah memasukkan rasa takut di dada-dada pasukan Urai’ir. Berkat pertolongan Allah, mereka pun berbalik mundur dan menderita kerugian (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 94-96).

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Saudaranya, Sulaiman

Sebagaimana yang masyhur, dan sempat kita singgung di awal tulisan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berselisih paham dengan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Perselisihan ini muncul karena tuduhan-tuduhan bohong dan hasad kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Biasanya para penentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab akan membawakan kisah perseteruannya dengan saudaranya, Sulaiman. Agar terkesan dakwah ini tertolak sejak awal. Namun mereka menutupi apa yang terjadi antara keduanya di kemudian hari. Pada tahun 1190 H, Sulaiman bin Abdul Wahhab rujuk dari kesalahannya atas saudaranya. Ia menulis sebuah risalah yang juga sudah dicetak dengan judul ash-Shawa-iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Musuh-musuh dakwah tauhid tutup mulut, tak pernah menyebut risalah ini. Mereka malu untuk menyebutkan fakta sejarah tentang rujuk dan taubatnya Sulaiman bin Abdul Wahhab atas tuduhannya terhadap saudaranya (an-Nadwi: Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 61).

Para musuh dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab sadar, dakwah ini terus besar dan tumbuh. Sulit bagi mereka menghadapinya dengan kekerasan. Karena itu, mereka menempuh cara lainnya. Mereka membuat-buat fitnah jahat atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara mereka yang menempuh cara itu adalah Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim. Ia kirim surat berisi fitnah ke Ahsa dan daerah-daerah di Teluk. Dan tuduhan itu dibantah oleh Syaikh dengan risalah-risalah yang berisikan argumentasi yang kuat. Selain Sulaiman bin Muhammad, banyak para penguasa dan pemimpin Arab yang turut serta memfitnah dakwah Muhammad bin Abdullah Wahhab. Mereka lakukan itu untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 80-85).

Akhlak dan Ibadah Muhammad bin Abdul Wahhab

Di antara kebiasaan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menghidupkan sebagian besar waktu malam untuk mengerjakan shalat. Ia adalah seorang yang tenang dan teliti dalam memutuskan hukum. Tidak mengedepankan hawa nafsu dari wahyu. Kalau ia mendapati ada keterangan dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu permasalahan, ia berpegang pada keduanya dan tidak condong pada selainnya. Kalau tidak mendapati keterangan dari Alquran dan hadits, ia merujuk kepada pendapat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Kemudian mengkajinya, mana yang lebih mendekati Alquran dan sunnah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang zuhud dan afif(menjaga kehormatan diri). Seorang dermawan yang tak pernah menolak orang yang meminta. Meskipun harta Baitul Mal berlimpah, ia tidak sembronodalam mengelolanya. Ia tetap makan dari hasil yang halal. Bahkan ia memiliki utang yang besar untuk membiayai hidup para pelajar. Pernah ada sejumlah perantau yang hendak belajar padanya, kemudian ia menanggung utang yang banyak demi memberikan perbekalan dan mencukupi kebutuhan mereka. Ia juga terbiasa mencukupi kebutuhan para musafir. Saat Kota Riyadh dikuasai, ia menghabiskan 40.000 Najdiah untuk menghidupi kebutuhan orang-orang miskin (Ibnu Bisyr: Unwanul Najdi, 1/15).

Wafatnya

Setelah menempuh perjalanan panjang, berjihad dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Berjihad membela tauhid dan menghadapi para penentangnya. Allah mewafatkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada hari Senin akhir bulan Syawwal 1206 H. Saat itu usianya menginjak 92 tahun. Ia habiskan lebih dari separuh usianya, lebih dari 50 tahun, untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Memasukkannya ke dalam surga. Dan membalas jasa-jasanya dengan balasan yang terbaik.


Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

 
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages