Perjalanan Hidup Seorang Tokoh Reformis Arab Saudi


Pelajari Semua Tentang Sahara, Desert Hot Terbesar di DuniaPertolongan Dari 

Setelah terusir dan dikhianati di Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pergi menuju Dir’iyyah. Saat itu tahun 1157 M, Dir’iyyah dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Di Dir’iyyah, Syaikh bertamu di rumah Abdullah bin Suwailim dan Ahmad bin Suwailim. Dua orang ini merupakan kerabat sekaligus muridnya. Awalnya kedua orang ini takut kalau Amir Muhammad bin Saud akan menyakiti atau menghukum mereka karena menerima Syaikh sebagai tamu (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/11).Tapi Syaikh meyakinkan mereka dengan pertolongan dan penjagaan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Allah akan menjadikan untuk aku dan kalian jalan keluar.” (Ibnu Bisyr:Unwanul Majdi, 1/11).

Pemimpin Dir’iyyah, Muhammad bin Saud, memiliki dua orang saudara; Tsunyan dan Misyari. Keduanya telah mendengar dan menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibnu Saud juga memiliki seorang istri yang cerdas dan religius. Namanya Maudha binti Abi Wahthan rahimahallah. Sang istri juga meyakini bahwa materi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran pemurnian Islam. Kedua saudara Muhammad bin Saud datang menemuinya dan mengatakan, “Laki-laki ini (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah ‘durian jatuh’ yang Allah berikan padamu. Manfaatkanlah apa yang khusus Allah anugerahkan padamu ini (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24).

Keduanya memotivasi Muhammad bin Saud untuk menyambut kedatangan Muhammd bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Saud juga dikenal sebagai seorang yang berakhlak baik dan mudah dalam menerima kebenaran. Tak menunggu lama, ia segera pergi bersama dua orang saudaranya menemui Muhammad bin Abdul Wahhab di rumah Ahmad bin Suwailim.

Ibnu Saud mengucapkan salam dan menunjukkan penghormatannya. Ia kabarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ia akan membelanya seperti membela istri-istrinya dan anak-anaknya. Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan materi dakwahnya. Semuanya adalah apa yang diajarkan dan didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Yang ia ajarkan adalah apa yang Rasulullah perintah dan larang. Ia jelaskan bahwa bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Ia juga sampaikan bahwa Allah akan memuliakan orang-orang yang berjihad. Dan persaudaraan yang hakiki hanyalah dengan Islam. Setelah Muhammad bin Saud mengetahui apa itu tauhid. Mengetahui juga maslahat yang dibawanya di dunia dan akhirat. Ia berkata kepada Syaikh, “Syaikh, sesungguhnya agama Allah dan Rasul-Nya ini tak ada keraguan di dalamnya. Bergembiralah dengan pertolongan untukmu dan untuk apa yang kau dakwahkan. Dan jihad bagi mereka yang menyelisihi tauhid.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 87).

Allah membuat dada Muhammad bin Saud lapang menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhb. Tidak hanya menerima, bahkan ia nyatakan sikap tegas untuk membantunya dan melawan mereka yang menentangnya. Namun, Ibnu Saud memberikan dua syarat. Pertama: Muhammad bin Abdul Wahhab harus berjanji agar tidak menikungnya (merebut kekuasaannya) jika Allah telah memenangkannya dan mengokohkan dakwahnya. Kedua: Syaikh tidak boleh melarangnya memungut pajak bumi (kharaj) yang telah ia tetapkan untuk penduduk Dir’iyyah di waktu panen.

Syaikh menanggapi, “Poin pertama, darah dengan darah. Pengkhianatan dibalas kehancuran. Dan poin kedua, aku berharap Allah memberikan kepadamu penaklukkan. Dan memberikan padamu banyak ghanimah. Dan itu lebih baik dari kharaj tersebut.”

Artinya, Syaikh menyepakati poin pertama dan menolak poin kedua. Perhatikanlah akhlak beliau. Beliau tolak dengan sopan. Bahkan dengan optimisme, harapan, dan doa agar diberikan yang lebih baik. Beliau tidak membenarkan pajak tersebut. Beliau tidak menoleransi kesalahan walaupun dalam keadaan membutuhkan bantuan. Beliau bukanlah penjilat yang menghalalkan segala cara untuk mendapat simpati. Memaklumi kesalahan demi tercapai tujuan dakwah. Tidak.

Muhammad bin Saud pun membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk sama-sama berdakwah kepada Allah. Berjihad di jalan-Nya. Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramar makruf nahi mungkar. Dan menegakkan syariat Allah di tengah masyarakat (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 88).

Setelah peristiwa pembaiatan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tinggal selama dua tahun di Dir’iyyah. Ia berdakwah dan membimbing masyarakat di sana. Dalam masa itu pula datang orang-orang dari Uyainah yang juga mendukung dakwahnya. Di anatara mereka: Abdullah bin Muhsin. Kemudian dua orang saudaranya; Zaid dan Sulthan alu Ma’mar. Hadir pula Abdullah bin Ghanam dan saudaranya Musa. Bersama mereka juga turut hijrah tokoh-tokoh keluarga Ma’mar yang berbeda pendapat dengan Utsman bin Ma’mar di Uyainah. Selain itu datang juga utusan-utusan dari penjuru wilayah Nejd.

Penduduk Dir’iyyah yang terdepan dalam mendukung dakwahnya adalah Tsunyan bin Saud, Misyari bin Saud, Farhan bin Saud, Syaikh Ahmad bin Suwailim, Syaikh Isa bin Qasim, Muhammad al-Hazimi, Abdullah bin Dughaitsir, Sulaiman al-Wusyaiqiri, Hamd bin Husein, dan saudaranya Muhammad bin Husein, dll.  Seorang orientalis, Harry St John Bridger Philby, menyebut mereka dengan mengatakan, “Mereka ini adalah tokoh-tokoh utama wahabi. Nama-nama mereka disebutkan dengan pemuliaan. Anak keturunan mereka mendapat penghormatan dan pemuliaan di istana kerajaan.”

Penyesalan Utsman bin Ma’mar

Perkembangan pesat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terdengar oleh Utsman bin Ma’mar, pemimpin Uyainah. Ratusan orang telah mengikuti dakwahnya. Utsman pun menyesali apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia telah menodai hak Syaikh Muhammad. Akhirnya, ia datang menemui Syaikh dengan membawa para pembesar Uyainah. Ia meminta maaf. Dan memintanya agar bersedia kembali ke Uyainah. Syaikh menjawab bahwa ia telah berjanji untuk bersama Muhammad bin Saud. Janji wajib ditunaikan. Muhammad bin Saud pun menolak kalau Syaikh kembali ke Uyainah. Utsman pulang dengan kecewa. Ia telah menyia-nyiakan kebaikan yang ada di tangannya (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24-25).

Dakwah semakin tersebar. Para pelajar pun berdatangan menuju Dir’iyyah untuk menimba ilmu dari Syaikh. Mereka mempelajari ilmu akidah, Alquran, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadits dan mustholahnya, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan sejarah, dll.

Dir’iyyah Ibu Kota Dakwah

Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawa berkah bagi Dir’iyyah. Bukan hanya bagi penduduknya, tapi juga bagi kehidupan kota itu sendiri. Bukan hanya dari sisi religius, tapi juga dari sisi duniawi. Kota itu menjadi hidup dengan banyaknya orang datang untuk belajar. Geliat aktivitas ekonomi tumbuh seiring kedatangan para perantau. Tata hukum yang menggunakan pemahaman Asy’ariyah diganti dengan hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pajak dihapuskan dan zakat dihidupkan. Kekacauan pun berganti keamanan. Budaya pengajian agama semakin semarak.

Di saat itu pula Dir’iyyah memerangi buta huruf. Diharuskan bagi masyarakat untuk belajar membaca dan menulis berapapun usia mereka. Betapapun tinggi kedudukan mereka. Harus sama-sama duduk belajar. Masyarakat juga diajarkan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama dengan pengkajian yang mendalam. Semangat jihad dihidupkan. Pemikiran-pemikiran khurofat, semangat ibadah tanpa dalil, dan budaya taklid diberangus. Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah pemahaman Islam yang sahih. Sebagaimana pemahamannya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keadaan Dir’iyyah kala itu mengingatkan kita akan momen-momen saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membangun Kota Madinah setelah hijrah (Muhammad Hamin al-Faqi: Atsar ad-Da’wah al-Wahabiyah, Hal: 6-7).

Berjihad

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak hanya berdakwah dengan ceramah dan menulis buku. Tapi ia juga menempuh metode nabawi dengan cara surat-menyurat. Ia kirimi surat kepada kepala daerah, negara, dan kabilah tetangga. Menyeru mereka untuk menauhidkan Allah. Berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan yang tersebar di tengah mereka. Beliau jelaskan dengan dalil-dalil yang mudah ditangkap. Yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Respon mereka terhadap dakwah tersebut beragam. Bahkan sampai ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin. Tidak cukup dengan tuduhan, mereka nyatakan permusuhan. Mereka siapkan pasukan untuk memerangi dakwahnya. Hal ini karena kemarahan mereka saat melihat sebagian kabilah menerima dakwahnya.

Muhammad bin Abdul Wahhab tidak meragukan kesungguhan Muhammad bin Saud dalam memperjuangkan dakwah sunnah. Namun, ia belum mengetahui bagaimana keadaannya kalau harus sampai berperang. Akhirnya ujian ini datang, musuh menantang untuk berperang. Dan Muhammad bin Saud tetap memegang teguh janjinya. Membela dakwah tauhid ini. Padahal Dir’iyyah adalah negeri kecil. Penduduknya tidak lebih dari 1000 orang. Jumlah rumah yang ada di sana tidak lebih dari 70 rumah. Meskipun sedikit, tapi mereka tetap berani membela akidah yang benar.

Tidak menunggu lama, hanya dua tahun saja Syaikh tinggal di Dir’iyyah, kampung tersebut diserang oleh negeri-negeri lainnya. Jihad pun dimulai sejak tahun 1160 H. Mereka menghadapi Diham bin Duwas yang memimpin penduduk Riyadh dan Duba. Dalam pertempuran ini, dua orang purta Muhammad bin Saud, Faishal dan Saud, gugur.

Masa Kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud

Muhammad bin Saud terus menunjukkan loyalitasnya terhadap dakwah tauhid. Ia menghadapi musuh-musuh dakwah dengan kekuatannya hingga ia wafat pada tahun 1179 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Kepemimpinan pun diserahkan kepada putranya, Abdul Aziz. Abdul Aziz tetap meneruskan perjuangan sang ayah. Setiap permasalahan yang ia hadapai, selalu ia ajak Muhammad bin Abdul Wahhab diskusi untuk mencari solusi. Bahkan ia tidak akan memutuskan suatu masalah kecuali dengan persetujuan Syaikh (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 96-97).

Peperangan dengan Riyadh dan wilayah-wilayah yang memusuhi dakwah terus berlangsung hingga di masa pemerintah putra Muhammad bin Saud, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Hingga akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun berperang dengan Riyadh, Abdul Aziz bin Muhammad berhasil menalukkan Riyadh pada tahun 1187 H. Setelah berhasil menaklukkan Riyadh, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Isi surat tersebut sebagai berikut:

أُحِبُّ لك ما أحبُّ لنفسي، وقد أراك الله في عَدُوِّك ما لم تؤمِّل، فالذي أراه لك أن تُكثر من قول الحسن البصري؛ كان إذا ابتدأ حديثه يقول: اللهم لك الحمد بما خلقتنا ورزقتنا وهديتنا وفرَّجْتَ عنَّا، لك الحمد بالإسلام والقرآن، ولك الحمد بالأهل والمال والمعافاة، كبَّتَّ عَدُوَّنَا، وبسطت رزقنا، وأظهرتَ أمننا، وأحسنتَ معافاتنا، ومِنْ كل ما سألناك ربنا أعطيتنا، فلك الحمد على ذلك حمدًا كثيرًا طيِّبًا حتى ترضى، ولك الحمد إذا رضيت”.

Aku menyukai hal-hal baik untukmu sebagaimana aku suka kalau hal itu untukku. Dalam permasalahan musuh-musuhmu ini, Allah telah menunjukkan padamu sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Menurutku, sepantasnya Anda memperbanyak ucapan seperti yang diucapkan Hasan al-Bashri, ‘Ya Allah, untukmulah pujian karena Engkau telah menciptakan kami. Memberi kami rezeki. Memberi kami hidayah. Memberi kami jalan keluar. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat Islam dan Alquran. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat keluarga, harta, dan kesehatan. Engkau kalahkan musuh kami. Engkau lapangkan rezeki kami. Engkau berikan kami keamanan. Engkau sempurnakan kesehatan kami. Dan segala puji bagi-Mu hai Rab kami, atas segala permintaan yang kami ajukan dan Kau kabulkan. Segala puji bagi-Mu pada semua itu. Pujian yang banyak dan yang baik sampai Kau meridhainya. Dan segalah puji juga bagi-Mu yang telah meridhainya’.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 139).

Surat ini mengandung pelajaran akidah yang agung. Syaikh mengajarkan hanya kepada Allah sematalah rasa syukur diajukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nikmat besar kemenangan ini. Beliau ajarkan ini sebagai praktik dari apa yang dipelajari selama ini. Jangan sampai rasa bangga diri sempat masuk di hati Abdul Aziz. Karena itu, ia nasihati langsung setelah Abdul Aziz dikaruniai kemenangan besar.

Musuh lainnya adalah Urai’ir bin Dujain, penguasa Ahsa’. Sebelumnya, pada tahun 1172 H, Urai’ir berhasil menaklukkan Huraimila. Urai’ir dikenal sebagai seorang yang bengis. Kalau dia membunuh, maka semua orang yang terlibat melawannya akan ia habisi walaupun sudah menyerah. Ia senantiasa mengintai Dir’iyyah dan menunggu kesempatan untuk menyerang wilayah kecil itu.

Pada tahun 1178 H, ia memimpin pasukan besar menuju Dir’iyyah. Banyak penduduk desa-desa dan kota-kota bergabung dengannya menuju ibu kota dakwah tauhid itu. Setiap pasukan ini melewati kampung atau kabilah, maka semuanya mendukung pasukannya. Dir’iyyah pun dikepung selama 20 hari bahkan lebih. Namun, pasukan-pasukan dakwah memberikan perlawanan dan tak mau menyerah. Sampai akhirnya Allah memasukkan rasa takut di dada-dada pasukan Urai’ir. Berkat pertolongan Allah, mereka pun berbalik mundur dan menderita kerugian (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 94-96).

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Saudaranya, Sulaiman

Sebagaimana yang masyhur, dan sempat kita singgung di awal tulisan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berselisih paham dengan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Perselisihan ini muncul karena tuduhan-tuduhan bohong dan hasad kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Biasanya para penentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab akan membawakan kisah perseteruannya dengan saudaranya, Sulaiman. Agar terkesan dakwah ini tertolak sejak awal. Namun mereka menutupi apa yang terjadi antara keduanya di kemudian hari. Pada tahun 1190 H, Sulaiman bin Abdul Wahhab rujuk dari kesalahannya atas saudaranya. Ia menulis sebuah risalah yang juga sudah dicetak dengan judul ash-Shawa-iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Musuh-musuh dakwah tauhid tutup mulut, tak pernah menyebut risalah ini. Mereka malu untuk menyebutkan fakta sejarah tentang rujuk dan taubatnya Sulaiman bin Abdul Wahhab atas tuduhannya terhadap saudaranya (an-Nadwi: Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 61).

Para musuh dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab sadar, dakwah ini terus besar dan tumbuh. Sulit bagi mereka menghadapinya dengan kekerasan. Karena itu, mereka menempuh cara lainnya. Mereka membuat-buat fitnah jahat atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara mereka yang menempuh cara itu adalah Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim. Ia kirim surat berisi fitnah ke Ahsa dan daerah-daerah di Teluk. Dan tuduhan itu dibantah oleh Syaikh dengan risalah-risalah yang berisikan argumentasi yang kuat. Selain Sulaiman bin Muhammad, banyak para penguasa dan pemimpin Arab yang turut serta memfitnah dakwah Muhammad bin Abdullah Wahhab. Mereka lakukan itu untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 80-85).

Akhlak dan Ibadah Muhammad bin Abdul Wahhab

Di antara kebiasaan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menghidupkan sebagian besar waktu malam untuk mengerjakan shalat. Ia adalah seorang yang tenang dan teliti dalam memutuskan hukum. Tidak mengedepankan hawa nafsu dari wahyu. Kalau ia mendapati ada keterangan dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu permasalahan, ia berpegang pada keduanya dan tidak condong pada selainnya. Kalau tidak mendapati keterangan dari Alquran dan hadits, ia merujuk kepada pendapat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Kemudian mengkajinya, mana yang lebih mendekati Alquran dan sunnah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang zuhud dan afif(menjaga kehormatan diri). Seorang dermawan yang tak pernah menolak orang yang meminta. Meskipun harta Baitul Mal berlimpah, ia tidak sembronodalam mengelolanya. Ia tetap makan dari hasil yang halal. Bahkan ia memiliki utang yang besar untuk membiayai hidup para pelajar. Pernah ada sejumlah perantau yang hendak belajar padanya, kemudian ia menanggung utang yang banyak demi memberikan perbekalan dan mencukupi kebutuhan mereka. Ia juga terbiasa mencukupi kebutuhan para musafir. Saat Kota Riyadh dikuasai, ia menghabiskan 40.000 Najdiah untuk menghidupi kebutuhan orang-orang miskin (Ibnu Bisyr: Unwanul Najdi, 1/15).

Wafatnya

Setelah menempuh perjalanan panjang, berjihad dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Berjihad membela tauhid dan menghadapi para penentangnya. Allah mewafatkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada hari Senin akhir bulan Syawwal 1206 H. Saat itu usianya menginjak 92 tahun. Ia habiskan lebih dari separuh usianya, lebih dari 50 tahun, untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Memasukkannya ke dalam surga. Dan membalas jasa-jasanya dengan balasan yang terbaik.


Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

 
Share:

JAHANNAM SETELAH 300 KM

Gurun Sahara Bisa Menghijau jika 2 Jenis Pembangkit Listrik Didirikan -  kumparan.comAku mengenal seorang pemuda yang dulu termasuk orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Dulu dia bersama dengan teman-teman yang buruk sepanjang masa mudanya. Pemuda itu meriwayatkan kisahnya sendiri:

“Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, aku dulu keluar dari kota Riyadh bersama dengan teman-temanku, dan tidak ada satu niat dalam diriku untuk melakukan satu ketaatanpun untuk Allah, apakah untuk shalat atau yang lain.”

“Alkisah, kami sekelompok pemuda pergi menuju kota Dammam, ketika kami melewati papan penunjuk jalan, maka teman-teman membacanya “Dammam, 300 KM”, maka aku katakan kepada mereka aku melihat papan itu bertuliskan “Jahannam, 300 KM”. Merekapun duduk dan menertawakan ucapanku. Aku bersumpah kepada mereka atas hal itu, akan tetapi mereka tidak percaya. Maka merekapun membiarkan dan mendustakanku.

Berlalulah waktu tersebut dalam canda tawa, sementara aku menjadi bingung dengan papan yang telah kubaca tadi. Selang beberapa waktu, kami mendapatkan papan penunjuk jalan lain, mereka berkata “Dammam, 200 KM”, kukatakan “Jahannam, 200 KM”. Merekapun menertawakan aku, dan menyebutku gila. Kukatakan: “Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, sesungguhnya aku melihatnya bertuliskan “Jahannam, 200 KM”.” Merekapun menertawakanku seperti kali pertama. Dan mereka berkata: “Diamlah, kamu membuat kami takut.” Akupun diam, dalam keadaan susah, yang diliputi rasa keheranan aku memikirkan perkara aneh ini.

Keadaanku terus menerus bersama dengan pikiran dan keheranan, sementara keadaan mereka bersama dengan gelak tawa, dan candanya, hingga kemudian kami bertemu dengan papan penujuk jalan yang ketiga. Mereka berkata: “Tinggal sedikit lagi “Dammam, 100 KM”.” Kukatakan: “Demi Allah yang Maha Agung, aku melihatnya “Jahannam, 100 KM”.” Mereka berkata: “Tinggalkanlah kedustaan, engkau telah menyakiti kami sejak awal perjalanan kita.” Kukatakan: “Turunkan aku, aku ingin kembali.” Mereka berkata: “Apakah engkau sudah gila?” Kukatakan: “Turunkan aku, demi Allah, aku tidak akan menyelesaikan perjalanan ini bersama kalian.” Maka merekapun menurunkanku, akupun pergi ke arah lain dari jalan tersebut. Akupun tinggal di jalan itu beberapa saat, dengan memberikan isyarat kepada mobil-mobil untuk berhenti, tetapi tidak ada seorangpun yang berhenti untukku. Selang beberapa saat, berhentilah untukku seorang sopir yang sudah tua, akupun mengendarai mobil bersamanya. Saat itu dia dalam keadaan diam lagi sedih, dan tidak berkata-kata walaupun satu kalimat.

Maka kukatakan kepadanya: “Baiklah, ada apa dengan anda, kenapa anda tidak berkata-kata?” Maka dia menjawab: “Sesungguhnya aku sangat terkesima dengan sebuah kecelakaan yang telah kulihat beberapa saat yang lalu, demi Allah aku belum pernah melihat yang lebih buruk darinya selama kehidupanku.” Kukatakan kepadanya: “Apakah mereka itu satu keluarga atau selainnya?” Dia menjawab: “Mereka adalah sekumpulan anak-anak muda, tidak ada seorangpun dari mereka yang selamat.” Maka dia memberitahukan kepadaku ciri-ciri mobilnya, maka akupun mengenalnya, bahwa mereka adalah teman-temanku tadi. Maka akupun meminta kepadanya untuk bersumpah atas apa yang telah dia katakan, maka diapun bersumpah dengan nama Allah.

Maka akupun mengetahui bahwa Allah  telah mencabut roh teman-temanku setelah aku turun dari mobil mereka tadi. Dan Dia telah menjadikanku sebagai pelajaran bagi diriku dan yang lain. Akupun memuji Allah yang telah menyelamatkanku di antara mereka.”

Syaikh Abu Khalid al-Jadawi berkata: “Sesungguhnya pemilik kisah ini menjadi seorang laki-laki yang baik. Padanya terdapat tanda-tanda kebaikan, setelah dia kehilangan teman-temannya dengan kisah ini, yang setelahnya dia bertaubat dengan taubat nashuha.”

Maka kukatakan: “Wahai saudaraku, apakah engkau akan menunggu kehilangan empat atau lima teman-temanmu sampai kepada perjalanan seperti perjalanan ini? Agar engkau bisa mengambil pelajaran darinya? Dan tahukah kamu, bahwa kadang bukan engkau yang bertaubat karena sebab kematian teman-temanmu, melainkan engkaulah yang menjadi sebab pertaubatan teman-temanmu karena kematianmu di atas maksiat dan kerusakan.” Na’udzu billah.

Ya Allah, jangan jadikan kami sebagai pelajaran bagi manusia, tetapi jadikanlah kami sebagai orang yang mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada mereka, dan dari apa saja yang terjadi di sekitar kami. Allahumma Amin.”

(Abu Khalid al-Jadawy)

Sumber : Majalah Qiblati Edisi 5 Volume 3
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

_"Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."_

(Hadits ini shahih.Diriwayatkan oleh Imam Muslim) 
Share:

NABI DITOLAK ORANG KAFIR, NDAK EMOSI, KOK…

3 Jenis Gratifikasi yang Harus Ditolak dan Beberapa yang Tidak Harus  Dilaporkan oleh Karyawan
Sobat, anda berdakwah lalu ditolak itu adalah satu hal yang wajar, anda bukan korban pertama namun demikianlah dinamika dakwah sepanjang masa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami hal yang serupa bahkan lebih parah, demikian pula dengan nabi nabi sebelumnya.

Pada tahun keenam hijriah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menunaikan ibadah umrah bersama para sahabatnya. DIperkirakan beliau membawa sekitar 1.400 orang sahabat dengan berbagai perlengkapan perang untuk mempertahan diri.

Kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan segitu banyak menyebabkan orang-orang Quraisy kebakaran kumis. Betapa tidak, kemarin, enam tahun silam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar meninggalkan kota Makkah hanya ditemani oleh seorang sahabat, yaitu Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, sedangkan kini beliau kembali dengan membawa pasukan besar.

Secara fsikologi, ini merupakan pukulan berat bagi orang-orang Quraisy, bagi mereka kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kali ini mereka anggap sebagai show of power, yang dapat berdampak pada runtuhnya wibawa Quraisy yang selama ini berperan sebagai super power di negri arab.

Karenanya, dengan segala kekuatan dan daya yang dimiliki, Quraisy berusaha mempertahankan kedudukan sosialnya sebagai super power di negri arab. Mereka menolak kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Makkah yang tanpa “kulo nuwun” terlebih dahulu kepada mereka. Quraisy ingin membuktikan kepada bangsa arab bahwa mereka tetap memiliki power untuk memimpin dan mempertahankan mahkota “super powernya”.

Negoisasi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan delegasi Quraisy terus terjadi, hingga akhirnya dicapai kesepakatan bahwa :

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seluruh sahabatnya kembali ke Madinah dan menunda umrahnya hingga tahun depan.

2. Setiap penduduk Makkah yang melarikan diri ke kota Madinah harus dikembalikan ke Quraisy dengan suka rela, walaupun dia adalah orang Iaslam. Sedangkan setiap penduduk Madinah yang elarikan diri ke Makkah tidak wajib dikembalikan ke Madinah, walau di adalah orang Islam.
Dua poin ini sekilas bentuk kekalahan dan kehinaan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Tak ayal lagi para sahabat geram dan merasa terhina dengan kesepakatan ini, sampai-sampai sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ قَالَ « بَلَى ». قَالَ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى ». قَالَ فَفِيمَ نُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا

“Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran sedangkan mereka di atas kebatilan. ? Beliau menjawab: Tentu. Lalu sahabat Umar kembali berkata: Bukankah orang yang terbunuh dari kita akan masuk surga sedangkan korban dari mereka pasti masuk neraka? beliau menjawab: Tentu. Selanjutnya sahabat Umar berkata: Bila demikia, mengapa kita rela menerima kehinaan dalam urusan kebenaran (agama) kita, sedangkan Allah belum memberikan keputusan-Nya antara kita dan mereka (belum terjadi peperangan) ? beliau menjawab: Wahai putra Al Khatthab, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan selamanya Allah tiada mungkin menyia-nyiakan aku.

Merasa belum puas, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu mendatangi sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu untuk menumpahkan kekecewaannya, dan terjadilah komunikasi seperti di atas anatara mereka berdua.” (Bukhari & Muslim)

Ya, dalam kondisi penuh dengan kekecewaan dan sakit hati seperti ini sangatlah berat untuk menggunakan nalar sehat, apalagi hanya bermodalkan iman semata. Kebanyakan orang akan hanyut dalam amarah, kekecewaan dan ambisi membalas, apalagi bila merasa mampu dan kuat. Namun tentu sekedar perasaan mampu dan kekecewaan tidaklah cukup untuk menghadai masalah besar dan dalam kondisi susah seperti ini. Sepatutnya dalam kondisi seperti ini, ilmu dan iman kepada pertolongan Allah haruslah lebih di dahulukan.

Langkah yang diambil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menerima persyaratan Quraisy ternyata terbukti efektif untuk mengakhiri perseteruan dengan Quraisy. Karena diantara poin kesepakatan antara mereka ialah kedua belah pihak berkomitmen untuk tidak lagi saling mengganggu dan memberi kebebasan kepada seluruh kabilah untuk bergabung dengan siapapun dari kedua kelompok ini.

Poin kesepakatan ini menjadi kredit poin penting dan sekaligus titik balik dari perseteruan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Quraisy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat keleluasaan untuk mendakwahi kabilah kabilah lain, tanpa gangguan yang berarti dari Quraisy. Dan sebaliknya qabilah lain mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berinteraksi dan mengenal Islam lebih dekat, hingga akhirnya banyak dari mereka masuk Islam. Berbagai qabilah yang sebelumnya mendukung Quraisy, kini berbalik arah dan masuk Islam, sampaipun berbagai qabilah yang ada di sekitar Makkah.

Qabilah berbondong bondong menyatakan keislamannya, hingga akhirnya Quraisy terkucilkan dan kehilangan dukungan dari banyak qabilah, dan akhirnya kekuatan Quraisypun melemah. Kondisi inilah yang Allah Ta’ala sebutkan sebagai pertolongan Allah Ta’ala dan sekaligus kemenangan kaum Muslimin. Allah berfirman :

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ {1} وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” (An Nasher 1&2)

Pada kisah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pelajaran bahwa mundur selangkah bukan berarti kekalahan selamanya. Sebagaimana diantara strategi yang sepatutnya kita terapkan dalam mewujudkan kemenangan ialah merontokkan kekuatan penopang dan basis dukungan yang dimiliki oleh lawan.

Walaupun kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memiliki pasukan yang kuat dan tangguh, namun beliau memilih untuk mundur selangkah, guna menempuh jalur lunak, yaitu dengan mengikis dukungan lawan, sebelum benar-benar berkonfrontasi degan musuh utamanya. Secara kalkulasi kala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya mampu melawan Quraisy dan mengalahkan mereka, namun tentu saja membutuhkan waktu panjang, biaya besar, korban jiwa yang banyak dan… dan …

Namun dengan mundur selangkah, beliau berhasil mengikis basis dukungan Quraisy, sehingga setelah dirasa waktunya tepat beliau mengumumkan peperangan terbuka, dan berterus terang hendak menyerang kota Makkah tanpa kawatir akan dihadang oleh qabilah loyalis Quraisy yang sebelumnya betebaran di sepanjang jalan menuju kota Makkah.

Belumkah tiba saatnya anda meneladani strategi dakwah dan perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas? Mengapa kita begitu bernafsu dengan berbagai kegiatan yang bernuansa show of power ?

Tidakkah akan lebih bijak bila dakwah dengan cara gerilya, dari masjid masjid kampung terus digiatkan, dari rumah ke rumah dilipat gandakan, dari instansi ke instansi lain terus disemarakkan, hingga suatu saat nanti, bila telah kondusif maka acara yang beraroma show of power dapat dilaksanakan tanpa ada kekawatiran akan ada gangguan yang perlu dikawatirkan. Toh, tanpa kegiatan yang bernuansa show of power dakwah anda tetap berjalan dengan lancar. Dengan demikian gengsi sebagian orang yang selama ini merasa sebagai “raja hutan”, atau sebagai super power di tengah ummat Islam, dapat dikikis atau taringnya dijadikan tumpul dan aumanya dibuat merdu sehingga tidak lagi menakutkan.

Mengapa ada kesan bahwa bila kegiatan yang bernuansa show of power ditolak, berarti dakwah berhenti dan berakhir? Apalagi kehormatan dakwah tercoreng? Mengapa para punggawa dakwah lupa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من تواضع لله رفعه الله

“SIapapun yang merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah meninggikan derajatnya.” (Abu Nuim dan lainnya)

Sobat, ingat, dan sekali lagi ingat, anda hidup di tengah tengah saudara anda sendiri sesama ummat Islam, sejauh apapun perbedaan anda dengan mereka toh mereka tetap saudara anda sesama ummat yang bersyahadat :
لا إله إلا الله ومحمد رسول الله

Sobat, mari kita semua menjadi perekat di tengah tengah Ummat Islam, dan jangan sampai kita menjadi pemecah di tengah tengah saudara kita. Ummat kita yang sudah terpecah jangan ditambah pecah, kalaupun sebagian saudara kita bersikap lancang dan melampaui batas, bukan berarti itu alasan untuk bersikap yang serupa

Dan kalau anda berkata: negara kita negara hukum, kita tempuh saja jalur hukum, kita gugat, kita perkarakan, kita memiliki para pungawa peradilan dan lainnya, maka dengar pesan khalifah Umar bin Al Khatthab tentang penyelesaian masalah melalui jalur hukum:

رُدُّوا الْخُصُومَ حَتَّى يَصْطَلِحُوا ، فَإِنَّ فَصْلَ الْقَضَاءِ يُورِثُ بَيْنَ الْقَوْمِ الضَّغَائِنَ.

“Upayakan agar kedua orang yang bersengketa menempuh jalur perdamaian, karena menyelesaikan persengketaan melalui jalur hukum pasti menyisakan dendam dan kebencian antara keduanya.” (Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan lainya)

Ini pesan beliau padahal peradilan di zaman beliau peradilan Islam dan benar-benar adil, bagaimana halnya dengan peradilan zaman kita yang seperti ini?

Lalu solusinya bagaimana dong? Ya, kembali lagi solusinya sabar, dan sabar, dan terus sabar.

Maaf saudaraku, status ini mungkin terlalu panjang untuk anda baca, namun maafkan saudaramu ini, yang sedang dihantui oleh kemungkinan adanya “tikus tikus penyusup” yang sengaja menghendaki adanya gesekan dan benturan di tengah-tengah ummat Islam.

Muhammad Arifin Badri,  حفظه الله تعالى 
Share:

Kisah Istri Sholehah…” (Berhak Untuk Dibaca…!!)

40 Jenis Bunga Cantik (Menawan dan Bermanfaat)
Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :

Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.

Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa’) tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya…

Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut.

Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.

Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal al-Qur’an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.

Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.

Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya.
Pada suatu hari di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku…
Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.

Putriku bercerita :

Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.

Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, “Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??”

Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do’aku, “Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa ‘Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Mut’aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…”

Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.

Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., “Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?”. Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…

Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, “Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!”. Maka aku berkata kepadanya, “Aku ini putrimu Asmaa'”. Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.

Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- : “Subhaanallahu…”. Dokter yang lain dari Mesir berkata, “Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…”. Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, اللهُ خُيْرًا حًافِظًا وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِيْنَ Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??

          Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa’ akhirnya kembali lagi bagi kami sebagaimana biasanya yang aku mengenalinya, sementara usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra, Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…

Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do’a…, sesungguhnya tidak ada yang menolak qodoo’ kecuali do’a…barang siapa yang menjaga syari’at Allah maka Allah akan menjaganya.

Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut mengatur…

Ini adalah kisahku sebagai ‘ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup…

Maka ketuklah pintu langit dengan do’a, dan yakinlah dengan pengabulan Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil ‘Aaalamiin (SELESAI…)

          Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
          Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
          Hiaslah do’amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
          Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya…

(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 19-11-1434 H / 25 September 2013 M
www.firanda.com

Read more https://firanda.com/898-kisah-istri-sholehah-berhak-untuk-dibaca.html

Barakallahu Fiikum... 
Share:

KISAH LAKI LAKI TIDAK PERNAH SHOLAT NAMUN HUSNUL KHOTIMAH

Santai Sejenak, Menyaksikan Pemandangan Lain Berpaling dari Kesumukan Kota  Kita Sehari-hari | Konfrontasi
Seorang lelaki di Saudi memiliki tetangga yang tak pernah sholat dan berpuasa. Suatu hari, dia bermimpi kedatangan lelaki. Dalam mimpinya itu, lelaki tadi memintanya agar mengajak tetangganya yang tak pernah shalat untuk umrah.


Ia dikejutkan oleh mimpinya namun ia tak hiraukan. Anehnya mimpi yang sama terulang. Akhirnya ia mendatangi seorang syaikh untuk bertanya tentang mimpi tsb. Syaikh berujar bhw jika mimpi terulang lagi, ia mesti merealisasikan mimpinya itu.

Dan benar saja, ia bermimpi lagi. Lantas ia mengunjungi tetangganya untuk menawarkannya umrah bersama.

“Ayo umrah bersama kami.”

“Bagaimana aku akan umrah sementara aku tak pernah sholat.”

“Tenang saja. Aku akan mengajarkanmu sholat.”

Ia pun mengajarkannya kemudian lelaki itu mengerjakan sholat.

“Baik, aku sudah siap. Mari berangkat. Tapi, bagaimana aku umrah sementara aku tak tahu caranya.”

“Nanti di mobil kuajari.”

Keduanya dgn senang hati berangkat untuk umrah dengan menggunakan mobil. Setelah tiba, mereka melakukan tuntunan yang disyariatkan.

Selesailah prosesi. Keduanya akan kembali pulang.

“Sebelum balik, adakah engkau ingin melakukan sebuah amal yang engkau anggap penting?” Tanyanya kepada tetangganya.

“Iya. Aku ingin shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim.”

Sang tetangga pun sholat dan terjadilah hal yang menakjubkan. Ia meninggal dalam keadaan bersujud.

Lelaki yang membawanya kaget dan tersentak. Bagaimana mungkin lelaki yang hadir dalam mimpinya dan diajak umrah meninggal seolah-olah dia adalah wasilah kematiannya.

Akhirnya, jenazah dibawa pulang ke rumah istrinya. Ia bertanya dalam hati, bagaimana mungkin lelaki yang tak pernah shalat dan puasa meninggal saat umrah dalam keadaan sujud husnul khatimah? Ia berpikir pastilah ada amal spesial dan rahasia yang dilakukannya.

Kepada istri lelaki tadi, ia bertanya ttg ini. Istri tsb menjawab:

“Kami memiliki tetangga seorang wanita tua renta. Suamiku begitu menyayanginya. Suamiku selalu membuat sendiri sarapan, makan siang dan makan malam lalu mengantarkannya kpd wanita tua itu. Wanita itu kerapkali mendoakan husnul khatimah untuk suamiku.”

_____
Kisah di atas kami terjemahkan dari akun seorang ikhwah (Mesir).

Kami teringat nasehat syaikh Rajihi di kelas:

“Usahakan ya ikhwan,” kata syaikh, “kalian mesti memiliki amal rahasia yang hanya Alloh dan engkau saja yang tahu. Ini akan membantu kalian mengarungi dunia dan negeri akherat.”

Pemuda dalam kisah di atas memiliki amal rahasia yaitu memberi makan wanita tua yang merupakan tetangganya. Ia pun berteman dgn orang shalih yang merupakan wasilah menuju husnul khatimahnya.

“Sungguh,” tutur syaikh Sami di hadapan kami, “banyaklah berteman dengan orang-orang sholeh, penghafal alquran, dan lainnya.”

____
Alih bahasa: Yani Fahriansyah (2014) 
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages