Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kakeknya Abdul Mutthalib setelah Ibunya Aminah meninggal. Dia menyantuninya dan sangat sayang kepadanya, bahkan belum pernah dia lakukan terhadap salah satu dari anaknya, dia mendudukkannya dekat tempat duduk Abdul Mutthalib.
Abdul Mutthalib sebagai seorang tokoh memiliki tempat duduk tempat Ka’bah yaitu anak-anaknya duduk disekitar kasur itu sambil menanti ayahnya datang. Tidak ada satupun di antara anak-anaknya yang duduk di atas kasur tersebut sebagai tanda penghormatan baginya, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu masih kecil datang dan duduk di atasnya, para pamannya mengangkat dan melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib yang menyaksikan itu berkata, “Biarkan saja anak saya melakukan itu, karena dia akan menjadi orang besar.” Kemudian Abdul Mutthalib mendudukkannya bersamanya di atas kasur, sambil mengusap punggungnya dengan tangannya sambil bergembira dan menikmati apa yang dia lakukan.
Namun, pemeliharaan itu tidak berlangsung lama, karena setelah dua tahun kemudian Abdul Mutthalib meninggal, di saat usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah delapan tahun. [1]
Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Mutthalib, ibu mereka adalah Fathimah bin Amr bin ‘Aidz. Oleh karena itu sebelum Abdul Mutthalib meninggal, dia berpesan kepada Abu Thalib untuk memelihara Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]
Abu Thalib adalah orang yang miskin dan memiliki tanggungan yang sangat banyak. Dia sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia tidur bersamanya dan pergi bersamanya.
Nanti (penulis buku Fikih Sirah) akan menjelaskan sebuah hadits yang menjelaskan pemeliharaan Abu Thalib terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu kecil dan perlindungannya pada waktu besar. Hal tersebut berlangsung selama empat puluh tahun lebih. Dia melawan kaumnya di Mekah karena membelanya, hingga dia meninggal pada tahun kesepuluh kenabian. Penjelasan tersebut datang tatkala membahas tentang wafatnya Abu Thalib pada pembahasan yang ketiga dari pasal yang ketiga dari buku Fikih Sirah. Pada kesempatan itu, kami akan memberikan komentar dan pembahasan yang lebih jauh lagi dalam masalah ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Menggembala Kambing
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggembala kambing bersama saudara sesusuannya di perkampungan Bani Sa’ad telah dijelaskan, tatkala ada dua malaikat yang datang dan membedah dada beliau.
Al Bukharu meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada Nabi kecuali telah pernah menjadi penggembala kambing.” Mereka, para Shahabat bertanya, “Engkau juga ya Rasulullah?”, Beliau berkata, “Iya, saya telah menggembala dengan imbalan beberapa Qirath[3] dari Penduduk Mekkah.”[4]
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kami pada suatu saat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat bernama Marr az Zhahran, kami memetik buah yang matang dari pohon Al Araak,[5] Nabi berkata, “Pilihlah yang berwarna hitam”, kami berkata, “Wahai Rasul Allah, sepertinya baginda pernah menggembala kambing”, Beliau berkata, “Iya, tidak ada seorang Nabi kecuali telah menjadi penggembala kambing.” Atau sekitar itulah maksudnya.[6]
Foot Note:
[1] Ibnu Hisyam, As Siirah An Nabawiyah 1/180, Al Qashthalani, Al Mawahib Al Laduniah 1/184, Adz Dzahabi, As Sirah An Nabawiyah hal.56
[2] Ibnu Hisyam, As Siirah An Nabawiyah 1/193
[3] Qarariith jamak dari Qiiraath artinya bagian dari Dinar, Ibnu Al Atsir, An Nihayah fi Garibi Al Hadits, 4/42
[4] Bukhari, kitab Al Ijarah 3/48
[5] Dinamakan juga dengan Al Kibaats, rantingnya dipakai untuk bersiwak. Lihat Ibnu Jauzi, Gharibul Hadits 2/278, Ibnu Hajar, Hadyu As Sari Muqaddimah Fathu Al Bari hal.78
[6] Muslim, 3/1621 no.2050
Sumber: Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Penerbit Darussunnah
Artikel: www.KisahIslam.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar